Halo Indonesia!

710 47 10
                                    

"Kau serius, Will?"

William tidak menjawab. Tangannya sibuk mengepak baju dan barang penting lain yang akan dibawanya sore ini.

Suasana hatinya kini sedang buruk. Ia tak berniat untuk menanggapi laki-laki yang tengah duduk di tepi ranjangnya.

Laki-laki berdarah asli Kanada itu terdiam. Mengamati pergerakan William dengan mulut terkunci setelah pertanyaan yang ia lontarkan tak ada jawaban sama sekali.

Louis, laki-laki itu menatap sendu punggung temannya. William dan dirinya sudah berteman sejak sekolah dasar, hingga kini mereka sudah berada di tingkat dua menengah atas.

Sesuatu yang dirasakan Louis sepertinya cukup wajar. Kehilangan William sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Bukannya tanpa alasan. Sejauh ini temannya hanya William dan satu perempuan. Maka mendengar William yang akan terbang ke Indonesia dan entah kembalk atau tidak, malah membuat hati Louis berdenyut nyeri.

Tidak ada yang mengerti Louis sebaik William. Tidak ada yang mengurusi serta perhatian sebaik laki-laki itu. Sepertinya suasana hatinya saat ini adalah yang terburuk sepanjang ia hidup.

William yang sudah selesai dengan kegiatannya, kemudian melirik Louis dengan ekor matanya. Laki-laki dengan tinggi 180 sentimeter itu kini berdiri, lalu duduk di sisi Louis.

"Aku janji akan sering mengabarimu setelah tiba di Indonesia, Lu," ucap William mencoba untuk menenangkan hati sahabatnya.

Luois mendesah kasar. Kepalanya menunduk, enggan untuk sekedar melirik William.
"Itu tentunya berbeda, Will. Bahkan perbedaan waktunya saja sudah sangat berbeda."

William kembali terdiam. Kondisi ini juga sama berat untuk dirinya. Tetapi ketika surat cerai kedua orang tuanya ada ditangan, laki-laki 17 tahun itu tanpa banyak pertimbangan memutuskan untuk tidak ikut siapa-siapa. Tidak Ayah, juga tidak Ibunya.

Siapa sangka bahwa situasi ini terjadi pada dirinya. Rumah yang ia pikir begitu hangat dan nyaman. Nyatanya neraka untuk kedua orang tuanya. Ia pikir cinta dan kasih sayang yang didapatkannya merupakan ketulusan. Namun betapa naif William, ia bahkan tak menyadari bahwa banyak kebohongan di dalam rumah ini.

Pertengkaran dan perang dingin orang tuanya bahkan tak pernah sedikit pun terendus dari William. Ternyata Ayah dan Ibunya sudah tak lagi cinta sejak 5 tahun lalu.

Betapa malang nasib William. Terlebih ia hanyalah anak semata wayang. Tak ada tempat untuk ia berkeluh kesah dengan saudara sekandungnya. Emggan untuk menceritakan masalahnya pada Louis. Karena ia tahu bahwa ini aib keluarganya dan itu tidak baik untuk diceritakan ke luar.

"Kau harus paham posisiku saat ini, Lu." William akhirnya angkat bicara setelah terdiam cukup lama. "Aku juga membenci situasi ini, tapi tak ada yang bisa ku lakukan. Tempat teraman saat ini adalah menjauh dari mereka."

Mereka yang William sebut tentu adalah kedua orang tuanya. Dua orang tua yang kini menginjak fase pubertas mereka kedua kalinya.

William berdecak miris. Ayah dan Ibunya dengan bangga memberitahukan bahwa mereka kini sudah mempunyai teman kencan masing-masing. Tanpa tahu bagaimana luluh lantaknya hati anak semata wayang mereka.

Beruntung William bukan anak cengeng. Walaupun sering dimanja, ia tumbuh menjadi lebih dewasa. Maka tak heran, ketika mendengar keputusan orang tuanya untuk bercerai William tak meneteskan air mata sedikitpun. Ia begitu pandai menutupi emosi yang bergejolak keras dalam dadanya.

Di sisi lain, Louis masih tidak terima kenyataan ini. Jika bisa, ia ingin menahan William untuk tetap berada di negara ini. Louis juga dengan senang hati berbagi tempat tinggal dengan William.

GRAVITASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang