"ingatan detik terakhir"

14 2 0
                                    

Dain memberi senyum ramah saat penjual memberikan pesanannya, dua kopi dan dua porsi makanan hangat. Dia pergi dari tempat begitu tuntas membayar.

Hiruk pikuk manusia benar-benar menghidupkan suasana malam. Jalanan dipenuh; penjual mencari keuntungan, kerabat dan keluarga saling bercengkrama dan pasangan saling bergandengan.

Dain tersenyum, dapat merasakan hangatnya suasana meski malam musim dingin benar-benar menusuk kulit dibalik jaketnya.

Dain tiba-tiba berhenti berjalan, tatapannya lurus ke depan. Sebuah helaan nafas hangat keluar dari mulutnya dan membumbung ke udara.

Ah, Dain sudah terlalu lama, ia harus segera kembali. Ia berlari kecil meninggalkan jejak kaki diatas salju, tangannya yang bebas terulur untuk meraih pergelangan seseorang, menarik perhatian dari orang tersebut.

"Oh, halo" Kata dia tersenyum hangat, mata emas menyipit. "Apa yang bisa ku bantu?"

Sejenak Dain terteguk, ia memaksakan senyum canggung. "Ah, maaf.. Sepertinya saya salah orang"

"Oh.. Begitukah?"

Namun tangan Dain masih menggengam pergelangannya.

"Maaf..." Kata Dain. "Saya sepertinya kehilangan teman saya, saya sudah membeli makanan dan tidak bisa menghabiskannya sendiri.. Maukah kamu ikut dengan saya untuk.. Menghabiskannya?"

Harap-harap cemas, ia sangat ingin orang asing itu menerima ajakannya. Sejenak dia diam berpikir, terlihat memproses sesuatu.

Dain berkata sekali lagi. "Ah, maaf.. Apa kamu sedang menunggu seseorang?"

Ditanyakan hal demikian malah membuat orang itu linglung, dia berkedip-kedip seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan tersulit didunia.

"Aku... Aku tidak tau." Dia menggaruk belakang lehernya "kurasa aku bisa ikut denganmu"

Dain tersenyum lebar "terima kasih"

"Ngomong-ngomong... Namaku Kieran"

"Nama saya Dainsleif.."

Dia tertegun. "Dainsleif.. Nama yang indah"

"Terima kasih"

"Jadi... Kemana kita akan pergi?" Kieran dapat memperhatikan pergelangan tangannya masih digenggam oleh Dainsleif, tapi ia merasa tak masalah. "Ingin mencari tempat duduk?" Tawarannya.

Dain menggangguk dengan senyuman lembut, "boleh"

Mereka berdua berjalan perlahan, beriringan, dan Dain masih juga berpegangan. Jalanan terasa begitu ramai, namun suasana diantara keduanya begitu sunyi; Kieran menyimpulkan Dainsleif sebagai tipe yang pendiam, dia jadi ikut diam. Hal tersebut ternyata tak bertahan begitu lama.

"Dainsleif?"

"Dain saja cukup"

"Kalau begitu Ran juga sudah cukup" Kieran terkikik, Dain terlihat tersenyum.

"Baiklah Ran, ada apa?"

"Temanmu yang kau maksud.. Kenapa dia meninggalkanmu?"

Sebuah respon diam terjadi beberapa saat. "Dia... Mungkin sedang menggandeng seseorang untuk diajak makan bersama"

"Hahaha, apa dia seorang playboy?"

Dainsleif tertawa kecil, "mungkin."

"Mungkin?"

"Hm.. Sebenarnya tidak. Aku tidak ingin membicarakan dia sekarang"

"Oh, baiklah" Dia terkekeh. "Aku menghormati keputusanmu"

"Thank you"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang