Malam itu, aku berjalan di tengah kota yang sesak akan kebisingan. Itu adalah malam tergelap yang pernah aku alami. Sebuah malam panjang, tanpa sinar bulan dan bintang. Sumber cahaya hanya berasal dari gemerlapnya kota yang tak pernah mengalami tidur. Lampu-lampu yang sengaja manusia temukan untuk membunuh malam selamanya, setidaknya di kota-kota.
Kebisingan kota kala itu bukan karena kendaraan yang ramai macet maupun kerumunan orang di setiap sisi jalan. Melainkan berasal dari kata. Kita telah mencapai zaman di mana semua bebas berkata. Tentu itu bagus, sebab pelaku pembungkaman akan terlihat jelas sebagai sosok yang berkebelakangan dan mendorong kemunduran. Entitas yang lebih rendah dari hewan dengan isi kepala kosong. Namun, di lain sisi kata itu sendiri tiba membawa momok berkehidupan.
Aku sampai di pusat kota. Tempat yang sangat padat akan manusia berlalu lalang. Tutur mereka berucap silih berganti. Menimbulkan getaran yang sampai di telinga, sebuah suara yang kita dengar sebagai kata. Setiap kata yang keluar dari corong bibir mereka masing-masing berarti. Tetapi, ada satu hal yang mengutuk kepala. Aku tidak menemukan apa itu sebuah makna.
Spontan kedua tanganku menutup telinga. Segala kata yang terucap sangat berbeda dengan penuturnya. Kata yang sahut menyahut di udara itu berkelok jauh dari keasliannya. Semakin sering ditangkap lalu dilemparkan kembali, perubahannya semakin abstrak. Namun, tetap maknanya tak terdengar, tak terbaca, tak terlihat.
Melihat sebuah bangku kosong di ujung taman, aku segera menuju ke sana. Aku duduk termenung. Meraih sebuah botol yang aku temukan saat pendakian.
...
"Akhirnya, sampai juga di puncak!" seruku. Aku telah memimpikan untuk menaklukkan gunung ini sejak kecil. Gunung yang mitosnya mustahil untuk ditaklukkan, meski oleh pendaki terhebat sekalipun. Tetapi, detik ini aku menjadi orang pertama yang mampu melakukannya. Kini gunung itu telah berdiri kokoh di bawah kakiku.
Kemudian sejenak aku termenung. Seraya semilir angin dingin berhembus, dan terangnya rermbulan dan bintang menghias langit-langit, aku tertegun sejenak. Diam, kaku seribu bahasa. Benar, seolah badanku sungguh membeku.
Waktu itu sudah sangat malam, bahkan mungkin memang tengah malam. Tapi, aku tak merasakan gelap. Sungguh indah bumi dari atas sini. Namun, apa setelah itu?
Kilauan cahaya dari atas bebatuan mencuri perhatian. Aku menghampirinya dan menemukan sebuah botol. Di dalamnya terdapat sebuah kertas, dengan tulisan. Tapi bukan itu sisi menariknya. Kertas itu bercahaya selayaknya bulan di langit sana.
"Siapa yang meninggalkan benda ini di sini? Apakah sebelumnya sudah pernah ada orang ke mari?" gumamku.
Hendak aku buka botol itu. Namun, seketika sesuatu menahanku. Tanganku tak jadi menarik penutup botolnya. Aku belum mengetahui pasti isinya. Tapi, yang pasti di dalam sana ada kertas dengan tulisan. Tulisan adalah simbol kata. "Siapa yang akan melihat, membaca, dan mendengarmu di atas sini?"
Aku segera masukan botol itu ke dalam tasku. Kemudian, lelah telah mencuri ingatanku.
...
Kembali di kebisingan kota, tak ada habisnya kata itu bertabrakan. Aku pun sampai tak menegerti akan seberapa lama kata kosong ini akan terus berkeliaran.
Silahkan ungkapkan segala yang ada dalam benak. Silahkan saja ceritakan apa yang dirasakan. Bangunlah susunan-susunan indah akan kata-kata itu. Atau sampaikamn secara terus terang tanpa berbelit-belit. Sederhana saja sebetulnya. Namun, apa yang aku temukan adalah kisah yang sama, karya yang sama, kata-kata yang sama. Serta, semua itu tanpa makna.
Kata yang terlontar dari senyuman telah mengungkap sebuah kebencian. Kata yang terlontar dari kebahagiaan telah menampakkan kesedihan. Kenapa kata kehilangan makna? Mengapa kata tanpa makna?
Botol di genggaman tanganku mulai lagi bercahaya. Sinarnya kali ini sangat terang. Orang di stasiun angkasa pun dapat merasakan hangatnya sinar itu. Netra semua orang kini tertuju padaku. Manik kelopak mereka terpaut tanganku.
Aku sigap membuka botol itu. Aku keluarkan kertas di dalamnya. Kemudian aku baca perlahan. Pertama kalinya setelah sekian lama aku berhasil memahami sungguh-sungguh. "Inikah rasanya melihat, membaca, dan mendengar?" ujarku lirih. Aku rasa kini aku mengerti.
Waktu seolah berhenti. Cahaya telah membuat waktu tak lagi berarti. Kata adalah ruang kosong elastis yang kini tengah diisi penuh dengan makna.
Raut wajahku menunjukkan kekaguman hebat. "Luar biasa!" ungkapku. Bagaimana ada kata di tempat tinggi sana yang masih bersih sangat tidak bisa aku pahami. Lalu kini kata itu turun melewatiku. Kata yang membawakan cahaya terang benderang di tengah kegelapan siang fana. Esok, cerita akan terus diucapkan turun temurun.
Sebuah cerita akan keindahan kata di dunia atas. Yang lalu keindahan itu dibawa oleh seseorang turun. Sehingga kata pun kembali bermakna. Kata-kata baru lahir, bertumbuh kembang sesukanya. Selayaknya bahasa. Kata yang benar-benar membawakan mati dan hidup seseorang. Kata yang akan menjadi perjuangan dan kenangan. Kata kosong berarti yang perlahan melahirkan makna baru.
...
"Kata sendiri itu apa?"