Dari sekian ribu hari, sekian ratus bulan dan sekian puluh tahun, Satria tidak akan pernah berhenti bersyukur. Syukur untuk hidup enak setelah perjuangan lama yang ia tempuh, dan syukur untuk memiliki seseorang yang selalu ada untuknya di kala susah maupun senang.
Alam bahkan seolah bersaksi bagaimana naik turun hidup Satria ditemani sahabatnya itu.
Aksara Sukma, lelaki yang hanya dua bulan lebih tua darinya. Menjadi satu-satunya seseorang yang mampu menjadi rumah, dan menjadi tumpuan seorang Satria kala jauh dari pangkuan bunda.
Lelaki berparas manis dengan mata sabit yang menawan. Satria tidak akan pernah lupa seperti apa wajah Aksara ketika tertidur.
Begitu menenangkan dan membawa kedamaian.
Ia juga tak akan pernah lupa, kedua mata sabit itulah yang menangis bersama ketika Satria merasa gundah. Senyum manis itu juga yang berucap bangga dan selalu mengalun doa untuknya.
Satria selalu berjanji, ia segenap jiwa dan raga akan menjaga salah satu sukma semesta ini dengan bersungguh-sungguh.
Bukankah pencipta dunia ini begitu baik? memberi seorang Satria, Sukma yang begitu bersinar?
Satria akan sangat bersyukur untuk itu.
Tapi sejatinya seorang prajurit, Satria mungkin hanya diciptakan semesta untuk sekedar menjaga, tanpa memiliki. Rela berkorban, dan merasa sakit seorang diri.
"Aksara, kalau dulu luka yang Aku rasa selalu Aku bagi. Sekarang, izinkan Aku untuk menanggung semuanya sendirian ya?"
Lisan yang begitu berani, dan tanpa keragu-raguan. Aksara menjawab tanpa menoleh.
"Kenapa?"
"Karena, Aku pikir sudah saatnya belajar menjadi satria yang sungguhan. Satria tidak boleh bergantung dengan orang lain, kan? lagipula, selama ini Kamu sudah berperan begitu besar dan berarti buatku Aksara. Kamu, seharusnya mulai memikirkan tentang Kamu sendiri. Aku, anggap saja Aku anak kecil yang sudah bisa berjalan sendirian. Tanpa kamu gandeng. Tugas Kamu, melihatku berjalan." jawab Satria.
Aksara kali ini menoleh, ditatapnya rupa bak dewa itu lalu tersenyum manis.
"Aku sama sekali nggak masalah dengan itu, Satria. Kalau dulu Kamu perlu cari Aku dan bercerita segalanya, mungkin sekarang Kamu lebih nyaman langsung menyelesaikannya sendirian. Aku nggak akan merasa Kamu menjauhiku atau apa. Justru sebaliknya, Aku akan sangat bangga."
Aksara masih tersenyum, ditatapnya langit cerah hari ini seolah memberinya dukungan dan kepercayaan.
"Tapi seperti yang Kamu bilang. Tugasku melihat Kamu berjalan. Kamu boleh berjalan sejauh apapun yang Kamu mau. Kalau Kamu lelah, Kamu boleh istirahat. Aku akan masih tetap melihat Kamu. Dan kalau sampai di titik, apa yang Kamu bawa di pundakmu sangat berat, Aku juga akan tetap ada di belakangmu. Aku tetap Aku, dan Kamu juga. Kamu boleh kembali dan bercerita sejenak. Aku akan selalu ada."
Satria tersenyum dengan kepala menunduk. Kedua tangannya saling meremas. Terkadang ia merasa bahwa dunia tak adil.
Mengapa sesuatu yang bisa ia genggam, belum tentu bisa dimiliki?
Jika digenggam terlalu kuat, seperti kau menggenggam pasir, ia pasti akan hilang.
Tapi jika tak dijaga benar-benar, ia pun bisa pergi.
Namun, satu hal yang pasti dan Satria percaya. Bukan tanpa alasan ia tak bisa memiliki Aksara. Pasti, ada orang lain yang lebih layak dan pantas mendapatkan seseorang seperti sahabatnya itu.
"Aksara."
Seseorang yang memang ditakdirkan dan digariskan.
"Mas Pandu."
"Satria, makasih ya sudah antar Aksara sampai sini. Maaf Kamu harus repot, padahal ini Minggu."
Satria memasang senyuman terbaiknya. Menepuk pundak seseorang yang menjadi tempat berlabuh hati seorang Aksara Sukma.
"Nggak masalah Mas Dewa. Aksara kan sahabatku." jawabnya.
Satria tetap mempertahankan senyuman kala melihat Aksara menghambur memeluk Pandu di depan mata.
Walau hati sedikitnya terbakar api cemburu, namun Satria sadar diri. Ia bukan siapa-siapa, hanya sahabat yang sudah seharusnya tidak memiliki perasaan lebih.
"Oh iya Satria, kebetulan. Aku juga sebelumnya mau minta maaf."
Tutur kata Pandu mengundang atensi penuh dari Satria. Ia mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya ke kiri.
"Soal apa?" tanyanya berhati-hati.
"Kesalahpahaman kita. Antara Aku, Akasara dan Kamu. Aku yang waktu itu kelewat cemburu karena kalian kelihatan dekat satu sama lain. Sampai Aku pukul Kamu hari itu, maaf. Aku terbawa emosi. Ternyata kalian memang sudah sangat dekat sebelum kenal Aku."
Satria melihat dan mendengarnya. Bagaimana seorang Pandu Dewa Dinarsa berucap tanpa ragu, dan mengakui kesalahannya bahkan sampai menundukkan kepala.
Satria menunduk. Terasa seperti seorang raja yang meminta maaf pada prajuritnya. Ia sedikitnya tak enak.
"Aku juga minta maaf Mas Dewa. Mungkin waktu itu Aku seharusnya peka dengan kondisimu. Bukan malah memperburuk sampai memancing emosi." jawab Satria.
Aksara merasakan ada sedikit rasa canggung di antara kekasih dan sahabatnya ini, maka dari itu ia berniat mencoba menghangatkan suasana.
"Dewa dan Satria maaf-maafan. Dua orang hebat seperti di dalam novel, ya? lain kali kalian jangan cepat mengambil kesimpulan sendiri. Tidak bagus. Oh iya, Satria mau langsung pulang?"
Satria langsung mengangguk. "Iya."
Selain tidak ada urusan di sana, Satria juga tak mau membuat hatinya semakin terluka. Lebih baik pulang dan melampiaskannya sendirian.
"Hati-hati di jalan kalau begitu." pesan Aksara seperti biasa.
"Padahal dulu waktu masih berteman biasapun dia sering menasehati Aku begitu. Kenapa bisa-bisanya sekarang Aku terbawa perasaan ya?"
Satria pamit dan berjalan pulang. Walaupun sudah berbaikan dengan Pandu, ia masih merasa tak tahu diri dan tidak seharusnya ada di sekitaran dua orang itu. Satria merasa tak pantas.
Kalau saja, kalau saja dulu dirinya berani mengungkapkan perasaannya lebih awal. Dan mencoba memahami bagaimana Aksara dan Pandu selama ini, Satria tidak akan merasakan bersalah dan selalu merasa canggung setiap berada di depan kekasih sahabatnya itu.
Semuanya terasa seperti kacau baginya. Ia seperti tak punya muka.
"Maaf Aksara, sejelas apapun hubungan kamu dengan Mas Dewa sekarang. Dan sekuat apa Aku mencoba membuang rasaku. Aku tetap masih menyayangi Kamu. Aku sadar, Aku nggak pantas. Tapi, rasaku ini sulit Aku kendalikan. Padahal, seandainya Aku bisa, hubungan kita bertiga nggak akan secanggung dan serumit sekarang. Mas Pandu juga nggak perlu naruh rasa curiga ke Kamu lagi. Maaf Aksara, maafin Aku karena ngebuat kita ada di kondisi sekarang ini."
Sore itu, di tengah taman yang mulai dihiasi gerimis, Satria duduk di atas ayunan sendirian. Membiarkan air matanya terbilas gerimis yang membahasi wajahnya.
Berharap hujan membawa pergi jauh-jauh rasa bersalah dan perasaan Satria yang tidak seharusnya ada untuk Aksara.
Hello
💜Akhirnya^^
Yuk tinggalkan pesan buat sahabat kita Satria biar nggak galau
⬇️....
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry For Being Me
Fanfiction[ Summary ] Atas apa yang terjadi padamu, padaku dan pada kita berdua, aku minta maaf. Warning! • bxb • vmin most (yoonmin) • bukan untuk homophobic • boyslove • local name ©Mina-noona