- rintik, 00

302 43 0
                                    

Yoichi sejak tadi bergulat dengan selimut, seperti ulat, kebingungan mau melakukan apa. Tidak bisa tidur juga malas melakukan sesuatu. Berakhir terjun bersama pikiran mengelilingi lembaran lama, kemudian terhenti di lembar paling menyebalkan. Pada lembaran itu, katanya, dunia Yoichi Isagi hanya untuk Rin Itoshi. Tetapi, tulisannya buram, berarti hati masih tak menyetujui. Kata hati, ia tak sudi bersama dengan lelaki menyebalkan yang hanya tahu caranya merendahkan, tidak peduli dengan sekitar bahkan kaku saat diajak bicara; simpelnya, tidak asik. Walaupun begitu, ada beberapa sisi milik sang pemuda yang membuat si mata biru gelap membuat tulisan pada lembaran menjadi semakin terang. Contohnya seperti kemarin, Yoichi sedang haus, ia tak mengatakan apapun, namun suaranya terdengar jelas sangat serak. Lantas, dengan sigap Rin mengambil minuman yang selalu dia bawa kampus. Tanpa basa-basi juga mengatakan kalimat penuh perhatian, ia langsung menyodorkan botol tersebut.

"Minum." Yoichi dibuat menelan ludah, alisnya mengernyit, ragu-ragu menerima minuman yang diberikan. Tidak biasa, hanya itu isi dari pikiran si mata biru gelap. Pada akhirnya dia meneguk air pemberian Rin juga, bahkan hampir menuju titik penghabisan. Namun, si pemilik mata cantik tak sedikitpun terlihat keberatan, malahan terus berfokus dengan buku bacaannya Kaka itu. Yoichi sudah mengatakan maaf, tidak ada respon berlebihan, hanya kata 'ya' yang membuat lelaki dengan marga Isagi semakin kalap; dikarenakan hati terus berdegup kencang.

Aduh, bisa gak, 'sih, diem bentar?!

Mengelus dada perlahan, matanya tertutup rapat, sekuat tenaga mencoba menenangkan diri. Memalukan, baginya. Ekspresi bosan itu kini beralih menjadi kerutan pada dahi, diri yang awalnya hanya bergulat dengan selimut berakhir dengan berguling-guling tak karuan. Jika hari ini saja Yoichi sudah terlihat tak karuan, bagaimana dengan besok?

"Malas, malas kuliah." Yoichi membenamkan wajahnya pada bantal dan berakhir tertidur dalam keadaan tengkurap.

Yoichi tidak suka hujan, karenanya ia sering tak bisa pulang. Kebiasaan buruk tidak membawa payung sampai dewasa masih mengiringi, mengeluh pada diri sendiri tanpa memperbaiki sama sekali. Tetapi, ada satu alasan mengapa hujan kali ini tak begitu buruk. Tatkala lelaki jangkung itu berdiri di sampingnya, tanpa suara, hanya membuka ransel sebelum mengambil sebuah payung; membukanya, lalu menarik pemilik iris biru kelam mendekat—memberi tanda jangan menjauh. Yoichi hanya dibuat melongo, pribadi Itoshi bungsu yang kerap bertindak dulu baru berkata seakan memaksa pemuda tersebut 'tuk mencerna sendiri arti dari perilaku. Seperti saat ia mengungkap cinta, hari paling menyebalkan dalam hidup Yoichi terjadi kala itu. Sebagaimana Rin Itoshi menggunakan diksi-diksi diluar kuasa otak si iris biru kelam, menatapnya dalam seakan merasa tak bersalah setelah membuat ia mematung. Pelangi itu indah, makanya sama aku, lagipula, sepertinya kakak tidak sedang berjalan lurus, katanya saat itu. Yoichi hanya menggaruk kepala sebelum memiringkannya, ia dibuat bertanya-tanya, sungguh. Lantas dengan otak berkapasitas kecil dia mencoba mencerna setiap arti kata yang diucapkan Itoshi bungsu; ternyata, itu berarti ia adalah kaum pelangi yang tengah jatuh hati dengan seorang Yoichi Isagi dan berpikir bahwa pemuda tersebut juga bukan lelaki lurus. Yoichi dengan kesadaran masih terisi setengah hanya bisa menjawab tidak secara spontan, sembari berteriak. Mimik terkejut Rin membuatnya gelagapan kala itu dan berakhir mengatakan bahwa mereka bisa terus menjadi teman. Namun, ujung-ujungnya Yoichi dibuat salah tingkah oleh pria yang malu-malu mengungkap cinta.

"Kak, dekat-dekat, biar enggak kehujanan." Mereka masih berada di bawah atap gedung, lantas mengapa harus takut terkena hujan? Yoichi dengan kesadaran menipis setelah melamun sesaat tak bisa mencerna dengan baik maksud dari kalimat yang keluar dari mulut empunya.

Butuh beberapa saat bagi pemilik marga Isagi untuk mengatakan, "Ayo." Ya, maksud kalimat Rin ialah mengajaknya untuk pulang bersama, di bawah hujan yang masih mengguyur deras.

Derap langkah terdengar saling beradu, tak ada kata yang keluar membuat Yoichi berpikir untuk segera sampai halte, tak nyaman. Terkadang sengaja melirik walaupun yang ditemukan hanya wajah datar, dalih dari alasan mengapa ia tak begitu percaya bahwa Itoshi bungsu sedang jatuh hati. Menatap lekat saja tidak, atau … dia sedang malu-malu? Tatkala iris biru kelam mendapati langkah adik tingkatnya tersebut terhenti, ia pun mengikuti. Baru saja berniat untuk mendongak sebelum bertanya dalih dari perilaku, pipinya sudah lebih dulu merasakan dingin kulit beradu. Tangan Rin berada pada wajah Yoichi, wajah pemuda tersebut mendekat, seakan tak peduli sekitar deru napas itu makin terasa hangat karena tipisnya jarak. Tangan mulai mengepal, bersiap-siap memukul jikalau ada tindakan di luar batas kelumrahan.

"Kak, masih enggak mau sama aku?" Dahi Yoichi berkedut, tak menyangka hal seperti itu yang akan ia ucapkan pertama kali.

Kenapa harus disaat seperti ini sih?

Dia paling tak suka jika Rin telah mengatakan hal seperti ini, masih kebingungan dengan keputusan pasti. Sudah pasti suka ada dalam hati, namun rasa tak terima pun masih ada di sana. Berpikir keras, apakah hal buruk atau baik jika ia jujur dengan diri sendiri? Lelaki dengan marga Itoshi tersebut jelas baik, tetapi membingungkan. Dia pun jatuh hati, namun masih merasa ragu-ragu.

Yoichi tersentak tatkala Itoshi bungsu mulai makin mendekat, tangan sudah siap untuk memukul, namun yang terjadi hanya kepala tengah bersandar pada bahu. Rin terlihat sedang frustasi, tak biasanya, apa karenanya yang masih menggantung hubungan mereka? Di bawah hujan yang masih tersisa rintik-rintik, ia mencoba untuk meraih sisa sebelum matahari terlihat kembali. Jika diumpamakan perasaan pemilik marga Isagi layaknya hujan, penuh kegundahan, Rin pun sama, mungkin. Pria tersebut dibuat kalut, terlihat letih menggapai sesuatu gak pasti. Layaknya Yoichi yang berusaha keras untuk menggapai rintik, padahal belum tentu akan jatuh tepat di atas telapak tangan.

Huh? Apa seperti ini perasaan Rin Itoshi setiap hari, ketika bertemu dengannya?

"Aku … aku juga, tidak, maksudku. Aku mau." Pernyataan dengan suara bergetar tersebut berhasil membuat Rin mendongak dengan spontan, menghiraukan rintik-rintik hujan, payung ia jatuhkan sembarang. Seakan tak sabaran, ia mencoba merengkuh tubuh Yoichi. Pemuda itu tak menolak, membiarkan adik tingkatnya menggelayut manja dalam pelukan. Malu-malu memberikan timbal balik, mendongak menatap matahari yang mulai terlihat kembali. Bersemu bersama mentari yang baru saja datang, ia tak menyangka akan semenyenangkan ini. Berawal dari enggan, berujung salah tingkah tak karuan.

Jatuh hati itu indah, jika jatuhnya bersama-sama.

"Aku senang, kak."

Rintik ›› Rin. I & Yoichi. ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang