Ada dua ciptaan Tuhan tak bisa lepas dari genggaman semesta, Bagaskara dan Candra. Si kembar namun hanya satu memiliki pendar, menyinari ruang-ruang kegelapan di tengah kebahagiaan yang pudar. Terang menerangi semesta yang gelap gulita, dan Bagasakara mewarnai hari tak berwarna.
Namun, Candra tak bisa menyamainya, hanya bisa meminta sedikit cahaya kepada Bagaskara demi menyinari malangnya malam.
Mereka ditakdirkan dengan bentuk serupa, namun Bagaskara tetap terikat pada puncak kebanggaan, sementara Candra bagian ketidaksempurnaan menampung suramnya kehidupan.
Sebab ada ketetapan yang tak bisa disamakan, layaknya matahari dan bulan, serupa namun memiliki peranan yang berbeda, dan semesta menolak mereka untuk bersama.
Seperti sekarang ini, Candra hanya bisa menyaksikan betapa bangganya kedua orang tuanya melihat kakak Bagaskara menjadi juara satu umum di semester ganjil ini, menerima piala bertingkat dengan punggung yang tegap menghadap mama papa mereka.
Candra yang dibarisan paling belakang semakin menyembunyikan tubuh kecilnya diantara punggung temannya di depan. Malu tidak bisa berdiri disamping kakak Bagaskara di depan.
Sudah biasa Candra saksikan, bagaimana bangganya orang tua mereka datang ke sekolah menjeput rapor kakak Bagaskara, sementara Candra hanya menunggu namanya dipanggil ke depan tanpa bisa membuat kedua orang tuanya bangga.“Hebat, ya, Bagaskara. Selalu jadi juara pararel. Bangga banget aku liatnya, apalagi orang tuanya.”
“Iya, Jeng. Mamanya aja kalau setiap arisan pasti selalu banggain Bagaskara. Sampai kami hapal dia mau ngomong apa.“
Percakapan ibu-ibu yang tak jauh dari tempatnya berbaris, sedikit menyesakkan hati Candra. Memang tidak ada yang salah ucapan mereka, kakak Bagaskara kebanggaan keluarga, baik mama ataupun papa selalu membanggakan kakak Bagaskara tanpa ada diselipkan nama Candra dibelakangnya.
Tibalah pengumuman juara kelas, kakak Candra sudah pasti juara satu, hingga berlanjut ke peringkat ke tiga yang dipanggil membuat Candra menundukkan kepalanya.
“Juara tiga kelas XI IPS jatuh kepada Candra Pratama dengan nilai rata-rata ….”
Tak lama setelah itu guru yang bertugas menyampaikan juara kelas mempersilahkan Candra naik ke depan, bersama deratan kakak Bagaskara.
Candra berjalan lambat tampak seperti pincang, memicu bisik-bisik melukai hatinya.“Eh itu kan kembarannya Bagaskara, kok pincang gitu, ya, jalannya? Beda banget kembarannya.”
“Kasihan banget, ya, Bagaskara punya kembaran cacat.”
Candra berusaha menulikan telinganya, menghalau rasa sesak memeluknya erat. Dengan sedikit keberanian, Candra mengangkat wajahnya ke depan, melihat tatapan kecewa dan malu kedua orang tuanya. Candra sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sentuhan lembut di punggung Candra sedikit menyentaknya dari bisikan meributkan pikirannya, melihat ke samping, kakak Bagaskara tersenyum meyakinkan untuk tidak berkecil hati.
Selesai membagikan lapor, semua siswa diperbolehkan pulang. Kedua orang tuanya sudah masuk ke dalam mobil, tinggal Bagaskara dan Candra yang masih berdiri di samping pintu mobil.
“Bagaskara masuk,” ajak mama si kembar, Welly Ananda.
Bagaskara melirik Candra yang sedang memainkan jarinya. “Masuk, Dek. Kita pulang.” Memegang tangan Candra dengan lembut, membawanya masuk ke dalam mobil.
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, mereka hanya diam dalam perjalanan. Sesampainya di mansion. Welly langsung memegang tangan Bagaskara. “Kakak laparkan? Ayok kita keruang makan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...