SATU

33 9 6
                                    

"Besok, bawa surat pengunduran diri kamu. Saya enggak mau restoran ini kehilangan banyak pelanggan gara-gara sifat pemarah kamu. Sekarang kamu pulang. Saya enggak mau melihat wajah kamu lagi hari ini." Pria tambun pemilik restoran itu langsung melenggang pergi setelah mengusir salah satu karyawannya itu.

Pelayan perempuan yang mengenakan atasan bewarna cosmik latte itu menunduk sambil meremas celemek merah hati yang melingkar di pinggangnya untuk melampiaskan kemarahan. Setelah mengembuskan napas dari mulut beberapa kali, gadis itu pun melangkah pergi menuju ke ruang loker yang terletak di ruang belakang.

"Dasar sial. Siapa juga yang enggak marah kalau disiram air dingin sama dilempar sendok garpu begitu? Dasar kampret!" Pelayan perempuan itu melempar celemek ke dalam loker sebelum mengeluarkan tas punggung hitam yang biasa dia bawa.

"Kak Dara, Sorry, ya. Padahal yang salah Tika. Gara-gara Tika lupa sama pesanan di meja itu, nenek lampir itu jadi emosi." Tika, salah satu pelayan junior mendekati perempuan yang baru saja menutup loker dengan kasar itu.

"Dah, lah. Anggap aja gue yang lagi sial." Perempuan yang dipanggil Dara itu melewati juniornya tanpa menoleh sedikit pun.

"Kakak maafin Tika, kan, Kak?" Suara Tika terdengar begitu memelas.

"Kalau gue enggak maafin emang lu mau ngapain? Mecat si Gendut itu? Atau ngegampar pelanggan berengsek itu?"

Tika memberengutkan wajah sambil berjalan perlahan dengan kedua tangan terbuka lebar. "Sorry banget, Kak. Tika beneran enggak mikir kalau Kakak bakal dipecat cuma gegara gantiin Tika bawa pesenan orang itu." Tika memeluk Dara dengan erat. Perempuan yang usianya lebih muda tiga tahun dari Dara itu meletakkan dagunya di bahu seniornya itu.

Dara mendengkus kasar. "Iya, Tika. Gue juga enggak nyalahin elu, kok. Emang dasar gue aja enggak bisa nahan emosi."

"Tapi, Tika beneran merasa bersalah karena Kakak sampai dipecat begitu." Perempuan yang suka mengubah-ubah warna rambut itu masih bergelayut di bahu Dara dengan manja.

"Ya, udah, sih. Emang kerjaan di sini doang," ucap Dara sambil mendorong tubuh Tika yang lebih tinggi darinya itu.

Tika pun kembali memasang wajah cemberut. Kali ini bibirnya dibuat lebih manyun dari sebelumnya.

"Da, ah. Kelamaan di sini entar gue emosi lagi. Cabut, ya. Salam sama yang lain." Dara melambaikan tangan tanpa memandang wajah juniornya yang hampir menangis saat membalas lambaian tangannya.

Kerjaan emang enggak di sini doang, tapi gue yakin bakal susah cari pekerjaan baru. Apalagi di zaman ekonomi morat-marit kayak begini. Ditambah ijazah gue yang SMA doang.

Dara terus menggerutu di tengah perjalanan pulang. Ia benar-benar merasa kehilangan arah begitu meninggalkan restoran tempatnya mencari nafkah.

Terus gimana adik gue? Bokap gue juga? Gimana kalau gue belum dapat kerjaan sampai bulan besok? Kontrakan rumah siapa yang bayar?

Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Dara sampai menabrak orang yang berdiri di depannya. "Sorry. Sorry." Dara mundur sambil membungkukkan badan sebelum mengangkat wajahnya.

"Dara?"

Alis hitam Dara langsung tertaut saat melihat pria tinggi yang berdiri di depannya. Meskipun mengingat dengan baik nama pria berhidung mancung itu, Dara tetap enggan untuk menyebutnya. "Maaf, ya. Saya enggak sengaja." Sekali lagi Dara membungkuk sebelum melangkah pergi dengan cepat.

"Dara, kamu lupa sama aku?" Suara berat milik pria itu terdengar lantang di belakang Dara.

Dara mengipas lehernya dengan telapak tangan tanpa menghiraukan pria yang mengikutinya itu. "Udah panas. Emosi. Ditambah lagi dia. Mimpi apa, sih, gue semalam?" gerutu Dara dengan kesal.

"Dara, please. Aku mau minta tolong sama kamu." Pria itu menarik lengan kanan Dara tanpa ragu.

"Ih, SKSD banget, sih, lu." Dara menyemburkan kemarahannya sambil melepaskan diri dari pria berambut hitam lurus itu.

"Kamu lupa sama aku? Ini aku Haikal. Kita dulu-"

Sebelum pria yang mengaku bernama Haikal itu melanjutkan perkataannya, Dara buru-buru melangkah pergi. Namun, pria yang tingginya lebih dari 180 cm itu tak berniat melepaskannya sama sekali.

"Dara." Haikal terus mengikuti Dara. "Aku janji akan kasih kamu posisi enak di perusahaan tempat aku kerja kalau kamu mau bantuin aku."

Langkah kaki Dara otomatis terhenti setelah ia mendengar kata 'kerja'.

"Sorry. Tadi aku enggak sengaja lihat kejadian di resto tempat kamu kerja."

Dara langsung memejamkan mata sambil menarik napas dalam begitu mendengarnya. "Ya, ampun. Bener-bener, ya, hari ini." Dara mendesah kesal.

"Aku mau kasih kamu tawaran kerja di tempat aku." Haikal mengatakannya sekali lagi. "Please," tambahnya dengan penuh penekanan juga harapan.

Mata Haikal terbuka lebar saat melihat Dara berbalik badan ke arahnya. "Apalagi sekarang? Lu kalah taruhan lagi? Atau lu lagi dijodohin buat dapetin harta warisan keluarga lu? Atau lu mau balas dendam sama mantan istri lu yang selingkuh sama teman dekat lu sendiri yang lebih kaya?" Dara berusaha menebak alasan pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan tawaran manis itu.

"Nomor dua. Tapi alasannya bukan buat harta warisan. Aku capek terus dijodoh-jodohin sama mama." Haikal tampak serius menanggapi sindiran dari Dara.

"Emang enggak ada cewek lain di sekitar lu yang bisa diajak kerja sama?" Dara melipat tangannya.

"Karena kamu butuh kerjaan, makanya aku mau minta tolong sama kamu," aku Haikal jujur.

Dara menarik napas sambil menatap langit sebelum kembali memandang aspal untuk menghembuskan napas guna meredam amarah. "Lu pikir karena gue butuh kerjaan jadi gue rela jual diri sama lu?" Dara berusaha mengendalikan emosinya sebisa mungkin.

"Setelah gue menghadapi pelanggan terkampret sejagat raya, sekarang gue mesti berhadapan dengan bajingan satu ini. Fiks, ini hari tersial dalam hidup gue," pikir Dara.

"Aku enggak pernah mikir sejauh itu tentang kamu," bantah Haikal. "Tapi, cuma kamu perempuan yang enggak neko-neko yang aku kenal. Cuma kamu perempuan yang bisa aku percaya selain mama aku." Mata Haikal yang gelap memandang Dara lekat-lekat. "Kamu boleh ketawa. Tapi, itu kenyataannya." Ada nada putus asa di dalam suara Haikal.

Dara mengubah posisi tangannya. Kini ia mengaitkan jempol kanan dan kirinya di tali tas punggung yang ada di sisi pinggulnya. "Tenang saja. Sesulit apa pun hidup gue, gue yakin bisa ngatasin semuanya. Tanpa bantuan lu." Dara sengaja mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan agar Haikal tak lagi menganggunya.

Namun, bukannya menyingkir, pria itu malah mendekati Dara. Dari dalam saku kemeja berwarna kunyit yang ia kenakan, Haikal mengeluarkan selembar kartu nama.

"Aku tahu kamu masih marah sama aku. Aku beneran minta maaf, Dara. Dan, aku harap kamu bakal berubah pikiran buat ngehubungin aku." Pria itu mengenggamkan kartu namanya di telapak tangan Dara.

Dara sama sekali tak melawan. Perempuan berambut pendek sebahu itu hanya terus memandangi Haikal dengan tatapan penuh kebencian sampai pria itu pergi meninggalkannya untuk naik ke sebuah mini bus yang berhenti di pinggir jalan tak jauh dari mereka.

Dara menyeringai saat melihat bagian belakang mobil hitam itu berjalan menjauhinya. Seringai itu pun semakin melebar waktu perempuan itu membaca posisi Haikal di kartu nama itu.

"Direktur Perencanaan."

Tanpa sadar, Dara meremas kartu nama itu. Sebulir air mata pun merayap turun dari ujung matanya. "Bagaimana bisa hidup gue seburuk ini?"

BERSAMBUNG

LANGGENG [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang