LIMA BELAS

3 1 0
                                    

Seiring berjalannya waktu, Dara menjadi semakin kesulitan untuk mengatur perasaannya kepada Haikal. Apalagi, Dara sering kali diundang ke rumah Haikal untuk makan bersama. Seperti hari ini, Dara diundang untuk makan siang bersama dengan Papa dan Mama Haikal. Dara bahkan masak bersama Mama Haikal di dapur yang seluas rumah kontrakannya.

"Inilah kenapa Mama dari dulu kepengin punya anak perempuan. Ada yang bantu masak di dapur. Jadi, enggak sepi," ungkap Mama Haikal.

"Ah, bohong. Bilang saja biar bisa ada yang masak dan bebenah selain Mama," celetuk Haikal yang sejak tadi mengawasi dari pintu dapur.

"Kamu daripada berdiri doang, mending bantuin." Dara menarik tangan Haikal.

"Enggak, ah. Kalau aku gabung, nanti dapurnya jadi lebih sempit." Haikal mulai beralasan.

"Bisa saja kamu. Bilang saja malas," sindir Mama Haikal.

"Nih, bawain ke meja makan." Dara menyerahkan piring besar berisi rendang.

"Oke. Sayangku." Haikal mengembangkan senyumnya saat menerima piring besar itu. Pria itu kemudian menghilang di balik tirai yang menutupi dapur rumahnya.

"Kayaknya dia sudah cinta berat sama kamu, tuh," ucap Mama Haikal begitu anaknya pergi.

Dara tersenyum. "Cuma akting, Bu," sahut Dara di dalam hati.

"Jadi, rencana kalian ke depan bagaimana?" Pertanyaan Mama Haikal membuat Dara menelan ludah perlahan. "Enggak cuma mau main-main terus, kan?" Dara semakin merasa disudutkan.

"Enggak, Ma." Dara mengembuskan napas penuh kelegaan waktu mendengar suara Haikal. "Rencananya aku mau tunangan sama Dara dalam waktu dekat," kata Haikal tanpa basa-basi.

Mama Haikal dan Dara otomatis menatap pria itu lekat-lekat.

"Ya, ampun. Aku tahu aku ganteng, tapi jangan terpesona gitu, dong," canda Haikal waktu melihat keseriusan di wajah Mama dan pacarnya itu.

"Kenapa enggak langsung saja?" tanya Mama Haikal yang sudah tak sabar ingin punya menantu.

"Ya, pelan-pelan, Ma. Aku sama Dara, kan, juga butuh persiapan. Baru satu setengah bulan kita balikan." Haikal mengedipkan sebelah matanya ke arah Dara. "Iya, kan, Sayang?"

Dara tak membalas. Gadis itu mendadak merasa tak enak badan.

"Terserah kamu saja. Kalau kalian sudah sepakat, nanti mama sama Papa bisa kabarin keluarga besar buat datang ke pesta pertunangan kalian nanti," ucap Mama Haikal serius.

"Mama setuju?" tanya Haikal yang merasa tak yakin dengan ucapan mamanya.

"Setuju. Kenapa enggak? Kamu suka Dara dan Dara suka kamu. Lagipula, mama juga suka Dara. Enggak cuma performanya di kantor yang bagus, dia juga telaten di dapur. Masakannya juga enak. Mama suka," komentar Mama Haikal membuat pipi Dara merona.

"Kalau Papa?" tanya Haikal yang tak pernah mendengar papanya berbicara tentang Dara.

"Papa juga setuju."

"Sipp." Haikal tersenyum gembira.

"Kalau Papa kamu bagaimana, Dara?" tanya Mama Haikal penasaran. "Kamu jarang datang ke rumah Dara, kan?" pandangan Mama Haikal pindah ke anaknya.

"Papa setuju-setuju saja, Bu. Papa sepertinya juga menyukai Haikal," jawab Dara.

"Ih, kok, kamu masih panggil Ibu, sih. Panggil saja Mama. Kan, ini bukan di kantor," ucap Mama Haikal sambil menepuk bahu Dara.

"Ih, Mama kebiasaan, deh. Tangannya jangan enteng banget kayak gitu coba. Kasian, Dara." Haikal berjalan mendekati Dara untuk mengusap bekas tangan mamanya.

LANGGENG [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang