“Packingmu masih lama ya, Na? Udah sejam sendiri kamu gak selesai-selesai! Dan ... Tuhaaaaan? Masih utuh baju-bajumu?!” kalimat mendikte setengah jengkel itu mengudara.
Satu anggukan kepala dapat di tangkap di sana. “Kecuali kalau kamu Mayor Jenderal Hadi Bawika. Aku pasti bakalan buru-buru.” malah sahut empunya, kelewat sesukanya.
Renjana dan Kinan. Mereka bak pinang dibelah dua dari segi wajah. Namun, dari segi sikap dan sifat, jangan berharap mereka itu akan sama. Jauh dari kata sama.
Renjana, si bungsu dengan sikap “menangan” sementara Kinan dengan sikap yang “dipaksa sabar” oleh keadaan. Lebih-lebih jika harus menghadapi bagaimana tingkah laku adiknya di keseharian.
Sementara Mayor Jenderal Hadi Bawika adalah ayah mereka. Mestinya kalian sudah tahu apa profesi ayah dari dua Dara tersebut jika dilihat dari nama dan pangkat yang tersemat.
Well, kembali kepada keduanya! Renjana memang bukan anak yang bandel yang sampai membuat satu rumah angkat tangan dengan kelakuannya. Renjana itu pendiam, pendiam sekali malah.
Dan seringnya orang-orang malah menganggap dia kelewat cuek, judes, tidak memiliki jiwa sosial, individualis dan masih banyak lagi.
Tidak. Renjana itu anak yang pendiam namun jika sudah berkumpul dengan keluarganya, dia bisa jadi anak yang banyak maunya. Cerewet sekali dan manja sekali.
Ya, seperti baru saja. Sudah satu jam lamanya, lembar-lembar kain itu masih utuh di atas ranjang tidur sementara yang punya masih asyik tidur di atasnya dengan manik menatap langit-langit kamar. Tidak memikirkan hal yang aneh-aneh, kadang hanya ingin melamun saja tanpa ada satu hal pasti yang membuatnya jadi betah berlama-lama menerawang ke atas.
“Nana! Adek!” sekali lagi Kinan berseru.
“Aku malas, Kakaaaaak...” malah balas Renjana seadanya latas dia membuat tubuhnya miring memunggungi pintu di mana ada Kinan di bibir pintu tengah bersedekap tangan dan menyandarkan tubuhnya juga.
“Ya udah, kamu di sini sendiri, ya? Aku sama ayah aja yang pindah ke Bali,” seolah pertegas Kinan.
“Chandra Renjana Bawika!”
Mendengar seruan itu, yang mulanya Renjana tak menggubris. Seketika saja dia terbangun dari rebahnya dan mendudukkan diri dengan rambut setengah berantakan, sementara torsonya tengah menghadap ke arah sumber suara lain. Siapa lagi jika bukan ayahnya.
Lelaki dengan tubuh tegap dan masih terjaga otot-ototnya kendati sudah berumur itu, tengah berdiri persis di belakang Kinan.
“Iya, Ayah,” sahut Renjana dengan nada yang sama sekali tak ada malas-malasnya.
Hadi tak langsung menanggapi sahutan anak terakhirnya. “Kakak sudah selesai, berkemasnya?” tanya Hadi pada Kinan.
“Tinggal dikit, Yah,” jawab Kinan, melepaskan tautan tangannya yang tengah bersedekap tadinya.
“Ya sudah, dilanjut lagi. Adikmu itu biar Ayah yang mengaturnya,”
“Siap, Ayah,” jawab Kinan dengan seulas senyum sementara Renjana yang mendengar itu malah mengangkat setengah dari bibirnya dengan sekilas.
Sepeninggal Kinan. Hadi jelas masuk ke dalam kamar putri terakhirnya itu. “Mau sampai kapan, Cantik?”
Renjana tak menjawab. Dia malah mengerucutkan bibirnya ke depan. “Ayah ‘kan sudah berumur. Kenapa masih ditugaskan ke mana-mana, sih?”
“Nana! Mana bisa seperti itu?” malah balik tanya Hadi sembari merapikan rambut hitam anak gadisnya dengan gerakan lembut.
“Ya, anggap aja bisa, gitu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA
General FictionRenjana itu rumit dan pelik. Namun Nehan mau mengertikannya dengan baik. "Bahkan di kehidupan selanjutnya. Saya hanya ingin bersama kamu, Renjana."--Mayor Nehan Satya. ©️Tersugakan/Her467 -- Jan 2023