Mengenali Permukaan

2 0 0
                                    

  Dedaunan di Kamis pagi menyisakan air hujan semalam. Aromanya memberi sentuhan damai kala aku bergegas menuju tempat hari pertamaku bekerja.

  Gugup menyerang, seperti semesta sedang meragukan apakah aku bisa menjalani hari-hari dengan perintah atasan setelah selama ini hidup dengan berwirausaha. Aku pun sebetulnya sama, ragu atas diriku sendiri. Namun, apa boleh buat? Dengan apa yang terjadi beberapa bulan ini, keputusanku untuk mencari pekerjaan adalah jalan buntu.

  Seragam yang memenuhi gedung-gedung bak robot yang dikendalikan, begitu yang kulihat sesampainya di sana. Mengantri menggunakan fingerprint untuk absen, berikutnya merapikan atribut yang dikenakan. Sebagai karyawan baru, aku hanya mengikuti apa yang mereka lakukan.

  "Hei." Sapa gadis di sampingku.

  "Oh, hai."

  "Aku Anna."

  "Mmm, panggil aja Ve," jawabku sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman, "kamu karyawan baru juga?"

  "Ya. Kita akan satu grup."

  Aku mengangguk.

  ~Syukurlah.

  Gugupku melebur kala tahu ternyata karyawan baru ada sepuluh orang. Semua berdiri di hadapan banyak mata yang sedari tadi memusat pada kami. Ada yang sambil berbisik, entah membicarakan penampilan kami atau bukan. Ada yang diam-diam kupergoki menatap Anna dari atas sampai bawah. Ya, memang gadis yang satu itu cantik, tinggi, dan mempunyai senyum tipis yang manis.

  "Anna, laki-laki itu liatin kamu begitu banget." Bisikku pelan pada Anna.

  "Yang mana?"

  "Itu, yang nyender ke pallet."

  "Oh, my God." Anna langsung menaruh lengannya menyilang di dada. "Menurutmu dia kenapa, Dar?"

  "Kayaknya, dia liatin body kamu deh."
  Anna mulai merasa risih.

  "Dasar otak mesum!"

  "Oke, kamu berdiri di belakangku aja, supaya gak begitu kelihatan."

  Kami merasa tidak nyaman. Namun, apalah daya anak baru yang selalu diawasi. Kalau aku menegurnya, itu akan membuat suasana menjadi runyam.

  Anna yang sudah cukup tenang mulai mengamati apapun yang diperintahkan Leader. Sebetulnya, aku tidak begitu suka pada bagian ini. Sebab, selalu ada kalimat "kalau kalian tidak giat bekerja, masih banyak di luar sana yang menginginkan pekerjaan". Kalimat itu memaksa setiap orang harus menjadi budak untuk melancarkan perputaran roda perekonomian kapitalis, menjadikan stereotip di daerahku semakin matang tentang karyawan pabrik adalah pekerjaan yang sangat menjanjikan, itu semakin merendahkan orang-orang yang pekerjaannya tidak di pabrik.

  Ah, sudahlah! Aku cukup yakin bahwa orang-orang yang satu pemikiran denganku di tempat ini sudah tidak ada. Jadi, tujuanku ada di sini cukup untuk mengumpulkan modal usaha nanti.

  "Hei, tunggu!"

  Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang memanggilku.

  "Rizal," katanya sambil membuka telapak tangannya dengan semangat.

  "Oh, hai. Gue Ve." Responku.

  Kami melanjutkan langkah bersama menuju gedung sebelah tempat dimana tubuhku mengabdi beberapa menit lagi, yang lainnya menyusul di belakang.

  "Hari ini kita satu Line. Semoga betah ya di sini."

  "Semoga, deh, hehehe."

  "Kalau masih banyak yang mau dipelajari, panggil gue aja."

  "Wah, siap deh. Thank you, ya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Atas Nama KesadaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang