DALAM GELAP

19 12 14
                                    

Tepat ketika Ima keluar dari kontrakan, ia segera menaiki taksi yang telah di pesan. Sekitar sepuluh menit perjalanan, Ima turun dari Taksi, segera ia mengenakan kacamata hitam, dan mengeluarkan tongkat Tunanetra.

Sosok Ima kini telah menjalma sebagai Mawar, seorang gadis tunanetra yang berprofesi sebagai wanita penghibur.  Bukan sekedar wanita penghibur, Ima di bayar sangat tinggi, selain karna paras nya yang cantik dan menawan, Cliennya juga merupakan tokoh tokoh-tokoh berpengaruh, biasanya adalah petinggi petinggi dalam kementrian, atau bahkan kadang seorang artis. Mereka menggunakan jasa Mawar, untuk menghindari skandal yang dapat merusak citra mereka di hadapan publik.

Banyak yang melakukan profesi seperti Ima, tapi kebanyakan dari mereka adalah benar-benar penyandang disabilitas yang tengah putus asa mencari pekerjaan, untuk bertahan hidup, tapi berbeda dengan Ima, Ima melakukannya untuk biaya kuliahnya dan perawatan rumah sakit ibu dan adiknya yang mengalami luka bakar serius di sekujur tubuhnya pada sebuah insiden kecelakaan.

Keterampilan Ima, paras nya yang cantik dan terawat, serta akting yang meyakinkan seolah - olah ia sungguh buta,  menjadikannya populer di kalangan pejabat bejat di kementrian.

Ima menyusuri Guiding Block dengan bantuan tongkat menuju ke arah halte bus, tempat pertemuan dengan sang Clien.

Sengaja Ima turun agak jauh dari halte bus, meminimalisir kecurigaan Clien, tentang identitas aslinya. 

Ia hampir sampai di halte bus, di tengah perjalanan, dari kejauhan Ima melihat seorang Pria tinggi berdiri di sisi Guiding Block, dari belakang tampak bahu yang lebar, serta setelan Kemeja rapi bewarna abu-abu terang. Langkah Ima kian mendekat ke arah Pria tersebut.

"Apa-apaan ini? Dia tidak akan minggir dari sana? Oh atau dia orangnya?, Bagaimana pun tidak sopan untuk berdiri di sana ketika penyandang disabilitas sedang berjalan diarah yang sama. Apa dia tidak menyadarinya?" batin Ima.

Ima memukul keras-keras tongkatnya ke jalan agar Pria tersebut menyingkir dari sana, tapi Pria tersebut bahkan masih tak bergeming. "Apa dia tuli?" pikir Ima. Sengaja Ima mengayunkan tongkatnya hingga mengenai kaki Pria tersebut "Maaf.. apa anda tidak tau bahwa Guiding Block digunakan untuk kami penyandang disabilitas!" ucap Ima setengah membentak.

Pandangan Ima hanya sebatas Pundak Pria tersebut, akan aneh jika tiba-tiba Ima mendongak ke arah wajah Seseorang yang kini di depannya. Tanpa menjawab Pria tersebut hanya bergeser memberi jalan.

"Bukankah harusnya meminta maaf?" Protes Ima dengan suara lirih. Sambil terus melangkah meninggalkan Pria itu.

Setelah sampai di halte Bus Ima mengibas ngibaskan tongkatnya seolah mencari tau apakah itu adalah tempat tujuannya. "Permisi.. apakah ini terminal Bus Kanggan?" tanya Ima, padahal ia tau tak seorang pun di sana, ia hanya sedang mendalami perannya. Setelah tak mendengar satu jawaban pun, Ima hanya berdiri di sisi pojok halte, bersandarkan tiang.

"Apa ini? Dia terlambat?!" Padahal aku sudah memperlambat langkahku, supaya aku yang terlambat" lagi-lagi Ima menggerutu kesal dalam hati.

Dalam lamunannya Ima mengingat-ingat setiap-setiap detail dari pundak hingga sepatu yang di kenakan Pria tadi adalah barang branded. Ima sangat yakin dia adalah Pria kaya, "Andai dia Clienku" batin Ima.

Suara langkah mendekat perlahan ke arah Ima. "Mawar?" suara seorang Pria menyapa.

"Ya.. !" Jawab Ima cepat sambil membenarkan cara berdiri nya, sambil mengulurkan tangan ke sembarang arah, agar lebih meyakinkan.

Pria tersebut tersenyum, dan meraih tangan Ima. "Saya di sini".

Bagai tersulut aliran listrik, Ima terkejut. Setelah akhirnya mereka berhadapan, Ima sadar bahwa Pria ini adalah Pria yang menghalangi jalannya tadi. Ia sadar dari pakaian yang pria tersebut kenakan, itu sama persis. Bahkan Jam tangan Rolex keluaran terbaru yang tadi sempat di lirik oleh Ima, masih melingkar di tangan Pria itu.
"Apa ini? Apa dia sedang menguji ku tadi? Apa dia sangat waspada?" Ima terus bertanya dalam hati, tapi Kemudian Ima tak ambil pusing, pikirnya hari ini ia akan menangkap ikan besar.

"Apa kita bisa pergi sekarang?"

"Ahh.. iya, mohon bimbinganya."

Pria tersebut meraih tangan Ima, dan menuntun Ima untuk mengikuti langkahnya.

Setelah beberapa meter berjalan Ima tak kuasa untuk bertanya. "Apa kita tidak akan berkendara tuan?"

"Aghh.. tidak perlu, Rumahku sudah dekat."

Tak lama mereka akhirnya tiba di sebuah rumah, sepertinya hanya hunian sementara, karna halaman rumahnya tampak tak terawat, hanya saja tetap rapi. Pagarnya pun berkarat, berlapiskan mika hitam.

"Tunggu..." Pria tersebut melepas genggaman Ima, mengambil sebuah kunci dari bawah pot yang tanamannya mulai kering. Dibukanya Pintu tersebut dengnn sedikit dorongan.

Di genggamnya lagi tangan Ima, "Ada dua tangga di depan. Hati-hati."

Baru saja Ima melangkah masuk, udara lembab menyentuh kulitnya, seperti ruangan tersebut tidak di buka beberapa hari.

Pria tersebut menutup dan mengunci pintu, "berjalanlah lurus saja, kemudian belok ke kiri. Jangan sungkan, aku tinggal sendiri."

Ima menurut saja, dia berjalan sesuai dengan intruksi Pria tersebut.

Meraba dinding - dinding halus yang dingin. Gelap, tak terlihat apapun. "Apa ruangan ini kosong? Kenapa ia membiarkanku berjalan sendiri menyusuri kediamannya?" Banyak pertanyaan berkecamuk di hati Ima. Ima masih mengayunkan tongkatnya , menghindari bertubrukan dengan furniture mahal yang kemungkinan bisa iya pecahkan. Karna sekarang Ima adalah Mawar yang buta, akan aneh jika ia meminta untuk tuan rumah menyalakan lampu.

Makin masuk keruangan, hawa aneh mulai menyelimuti, udara di ruangan tersebut seperti sangat minim, membuat sesak. "Sial kenapa gelap sekali?" Batin Ima. Ima mencoba menutup mata beberapa detik untuk mebiasakan pandangannya dalam gelap.  Pria tadi melangkah mendekati Ima, meletakan tangannya di bahu Ima. Ima perlahan membuka mata, kini pandangannya telah beradaptasi dengan kegelapan.

Pria tersebut membelai wajah Ima alias Mawar, kini wajahnya terpampang jelas di hadapan Mawar. "Tampan.. Kenapa lelaki muda dan tampan begini bermain main dengan pelacur?, Apakah ia amat peduli dengan image nya?" Dengan lembut bibir pria tersebut menyentuh bibir Mawar, ciuman tersebut makin liar ketika Mawar mulai melepaskan tongkat yang sedari tadi iya pegang, dan beralih ke dada pria tersebut seolah olah merabanya untuk mencapai leher Pria tersebut.

"Boleh ku lepas kacamatamu?, Itu sangat menganggu."

Ima melepaskan kacamatanya, bulu mata lentik menyapa. Softlens coklat tipis yang telah ia pasang menyamarkan mata aslinya yang Indah. 

"Kenapa memakai lensa kontak?"

"Karna ketika Clien lain melihat mataku, mereka selalu berkata itu mengubah mood mereka". jawab Ima tergagap - gagap. "Maaf Tuan, apa kau tidak berkenan?" lanjut Ima dengan wajah memelas.

"Tidak - tidak, itu cantik." Jawab Pria tersebut menenangkan, dan melanjutkan ciumannya.

Ima membuka satu kancing kemeja pria tersebut, lalu yang kedua, hinga tangan pria tersebut menghentikan Ima. "Tidak di sini".

Pria tersebut menggendong Ima menaiki tangga. Bak pasangan pengantin baru, tak sedetik pun mereka melepaskan tautan bibir satu sama lain, hingga Ima sedikit kesulitan bernapas.

Sayup-sayup pandangan Ima mengamati sekitar, Ruangan ruangan lain sama gelapnya, bahkan di benak, Ima bertanya-tanya, kenapa Pria ini tak menyalakan satu lampu pun.

Setelah tiba di lantai atas, Pria tersebut menurunkan Ima dan menarik tali pemantik lampu, cahaya remang-remang menyilaukan mata Ima yang sudah terbiasa dengan kegelapan.

"Kita lakukan di sini" ucap Pria tersebut mengarahkan tubuh Ima ke sebuah Sofa.

Ima terbelalak! Mulutnya terkunci rapat, tubuhnya seakan membeku. Pandangannya lurus ke arah Sofa.

"𝙈𝙖𝙮𝙖𝙩!! 𝘼𝙙𝙖 𝙈𝙖𝙮𝙖𝙩!!" Teriak Ima dalam hatinya yang seketika menjadi kacau.

Bersambung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝔹𝕃𝕀ℕ𝔻 𝔹𝕆𝕌ℕ𝔻𝔸ℝ𝕐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang