"Aku move on kalo Dito nikah."
Dan pagi itu, sebuah surat undangan tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan nama Dito tercetak tebal di cover surat sebagai pengantin pria.
Tentunya dengan orang lain sebagai pengantin perempuannya.
Hela nafas terdengar samar. Awal yang buruk untuk memulai hari, ia rasa.
Bel pelajaran pertama berbunyi. Ia bergegas mengambil perlengkapan mengajarnya. Tanpa lupa menyelipkan undangan itu di sembarang tumpukan kertas.
*
"Pusing banget. Minggu depan harus udah ngumpulin RPP selama satu semester," keluhnya.
"Lah tinggal bikin. Selama ini kamu nggak bikin?" tanya Sora.
"No. Mager. Aku ngajar nggak pake rencana. Langsung masuk kelas."
Kafe baru saat itu tidak terlalu ramai. Kalau ia asumsikan, sepinya kafe bukan karena hidangan yang tidak sesuai di lidah, hanya saja tidak sesuai di kantong warga kota yang pendapatan per bulannya tidak mencapai dua juta.
Kalau ia asumsikan lagi dengan simpulan yang lebih jahat, pemilik kafe yang bodoh karena tidak berpikir keuangan warga yang minim. Maka dari itu, berpikir untuk tidak mengeluarkan uang lebih demi ngemil di kafe adalah keputusan paling benar.
Bagaimana dengan dirinya? Tentu saja tidak berlaku untuk hari ini. Dengan pikiran yang ruwet, sesekali ia ingin menghamburkan uang agar hatinya agak lega.
"Sini kubantu. Siapa tau kamu mau nyontek dikit-dikit dari RPP-ku."
"Thanks, bestie. Cuma kamu yang ngertiin aku."
Keduanya sibuk dengan laptop masing-masing. Suara mengetik dibiarkan mengisi kekosongan kafe, alih-alih percakapan ringan di antara keduanya.
Latte sudah tersisa sedikit. Sora bergegas menemui barista guna memesan minuman yang sama. Sang barista dengan cekatan membuatkan pesanan Sora agar pelanggannya itu tidak menunggu terlalu lama dan dapat kembali mengerjakan tugas pentingnya.
Kini cup baru telah berada di genggaman. Setelah mengucapkan terima kasih, ia kembali ke kursinya dan bersiap menghadapi rangkaian kalimat pada halaman Microsoft Word di depan matanya.
Sora sempat memperhatikan teman sekelasnya saat duduk dibangku SMA tersebut yang masih saja asyik menggerutu sambil mengetik. Sora teringat sesuatu.
"By the way." Satu kalimat itu berhasil menginterupsi kesibukan sosok di depannya. Melihat sepasang mata dengan sorot kelelahan, Sora memilih untuk urung. "Nggak jadi."
Tentu saja, dengusan menjadi respon pertama. "Anying."
Tugas RPP hampir membuat persahabatan mereka agak retak rupanya.
*
Kembali ke rutinitas belajar mengajar. Sejujurnya ia jengah melihat pemandangan di depannya. Bukan karena siswa yang ia ajar menyebalkan, hanya saja ia tidak suka dengan pekerjaan yang ia tekuni.
Ah, mungkin belum ia akui saja.
Dibanding dengan kondisinya saat ini yang masih belum bisa menerima nasibnya sebagai guru, ia lebih menyayangkan siswa-siswanya diajar oleh guru seperti dirinya.
Kalau kata Sora, ia sedang difase denial.
Seminggu lebih sejak diumumkannya penugasan untuk mengumpulkan RPP selama satu semester. Pagi tadi, RPP-nya sudah ia serahkan lebih dulu, melebihi guru-guru yang ia anggap rajin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day
FanfictionMove on tidak sesederhana mencari yang baru, lalu melupakan. Bukan. Menerima keadaan merupakan cara terakhir yang mampu ia pikirkan. The day. Hari ketika ia menerima keadaan dan mengikhlaskan bahwa cinta pertamanya, cinta masa SMA-nya, selamanya tet...