H A P P Y R E A D I N G
--
Berbicara tentang seorang figur pemimpin, adakah pemimpin yang sekarang sedang dibodohi oleh istrinya sendiri. Ini, mungkin masuknya, bukan pemimpin negara, tetapi pemimpin hati istri.
Panggil saja nama pria itu Adijaya Dhaniel. Panggilan dari anak-anak murid sekolah itu biasanya dengan sebutan pak Dhani. Namanya sudah keren, tetapi sejenak seperti orang desa, tidak masalah. Ia senang dengan nama singkat dan terlihat berkesan itu.
Pria itu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. Sawala, yang tak lain adalah putra pertamanya ikut menyembulkan kepala pada jendela rumah, saat melihat mimik wajah sang ayah yang terlihat keruh. Apalagi, Sawala memergoki pak Dhani yang terlampau sering menggaruk kepala. Agaknya pria tua itu tengah dilanda sesuatu.
"Ayah!" teriaknya kencang. Bahkan, burung yang tengah hinggap di atas genting pun, ikut terkejut, sampai kembali terbang dan mungkin tidak akan kembali lagi kesana.
"Ngapain?!"
Dhani merotasikan matanya malas. Sudah tidak ada niat membantu, terlihat mengejek pula anaknya itu.
"Cari biawak! Itu lho mas, tongkat lempar lembing yang ayah simpan di gudang, kemana ya? Mas Wala pernah lihat enggak?"
Sejenak Sawala terdiam, ia mengetuk-ngetuk jari pada dagunya, tanda sedang berpikir. Kilasan tadi tiba-tiba terlintas, sesaat setelah ia membantu Bunda menjemur pakaian, dan kasur.
Kira-kira, seperti ini obrolannya.
"Eh, mas, mas Sawala sini mas!" dengan terpaksa Sawala menghentikan langkah, dan kini berjalan menghampiri Miranda yang tengah berkacak pinggang sambil memegang pakaian basah.
"Apa nda?" Sawala bertanya, seraya menatap malas Miranda yang sebentar lagi membuatnya seperti babu.
"Noh lihat, jemuran nda rusak, itu nya copot satu, coba kamu ambil yang digudang itu lho, yang ujungnya runcing, enggak papa lah, lumayan, yang penting jemuran bunda terselamatkan," ujar bunda. Sawala belum beranjak, masih membayangkan alat yang Miranda suruh ambil di gudang. Batinnya berpikir keras, alat apa yang miranda maksud.
"Mema—"
"Udah jangan banyak tanya, mau bunda lempar air bekas cucian ha?!"
"ASTAGA!" Sawala menggebrak meja, membuat sebagian kopi nya tumpah, dan mengenai ujung kakinya. Laki-laki itu meringis, lalu dengan segera ia melesat keluar menghampiri sang ayah yang masih celingak-celinguk seperti orang bodoh.
"Yah, ayah, anu- tongkat itu, tongkat anu, apa namanya, duh lempar, lempar kambing, eh lempar lembing itu, anu—"
Dhani menimpuk wajah Sawala dengan buku paket PJOK, sesekali kakinya bergerak tidak bisa diam. Ini sudah jam setengah delapan, dan ia belum berangkat ke sekolah untuk mengajar.
"Anu, anu apa sih mas, cepetan kasih tahu ayah! Ini ayah mau praktek lho sama anak kelas dua belas, kalau itu tongkat hilang, mau praktek pake apa? Kamu mau ayah jadiin tongkat, biar dilempar, hah?!"
Sawala meringis, kenapa jadi dia yang diomeli sang ayah tercinta. Ia lantas dengan segera menarik tangan Dhani, dan membawanya pada tempat, di mana ia membantu Miranda menjemur pakaian.
Dua mata Dhani melotot, mulutnya nya menganga, ia melihat jemuran dengan satu alat yang berbeda. Satu alat yang ujungnya runcing, yang ia tebak, itu adalah mata lembing, alat miliknya untuk praktek olahraga hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Al [✓]
ФанфикDisarankan baca lebih dulu book "dibalik nestapa" [Sequel of Dibalik Nestapa] Nawasena Graha Niskala. Tidak pernah berpikir, jika akhir yang menyedihkan, bisa berakhir menyedihkan pula. Nyatanya, kata luka itu tidak akan pernah bisa hilang dari rag...