O4. Altar

213 45 3
                                    

Harmoni mengalun lembut dalam ruangan luas yang kentara sekali akan kemewahan. Bunga-bunga tersusun indah membelit pilar-pilar menjulang dengan warna putih yang dominan.

Ning Yizhuo berada di bangunan yang sama, dalam sebuah ruangan penuh peralatan yang pada dasarnya cukup lazim dia temukan sebagai seorang penyanyi, namun kali ini dalam jumlah yang lebih banyak.

"Luar biasa, bagaimana mungkin cairan itu dapat menghilangkan kantung hitam di bawah matamu?" Chenle yang sedari tadi menemani Yizhuo tak pernah berhenti berkomentar.

Yizhuo hanya menampilkan tatapan sengit atas komentar sang kakak sepupu perihal kantung matanya yang memang terlihat cukup parah hari ini. Bagaimana tidak, Yizhuo baru tiba di Korea Selatan menjelang tengah malam dan harus berdandan sebelum matahari terbit. Gadis itu tidak mengerti mengapa pernikahan harus menjadi sangat merepotkan seperti ini.

Chenle membuat segalanya bertambah buruk dengan terus berkomentar tentang semua produk yang digunakan untuk mempercantik wajah sang adik. Yizhuo sendiri baru tahu bahwa seorang direktur utama dari agensi hiburan nomor satu di Singapura itu benar-benar tidak tahu sama sekali tentang riasan wajah.

"Aku tidak pernah berpikir Kau akan lebih dahulu menikah." Akhirnya, Chenle berhenti mengomentari riasan wajah adik sepupunya.

"Aku juga tidak pernah berpikir akan menikah lebih dahulu. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menikah."

Percakapan itu pada dasarnya tak lagi penting, sebab takdir telah membawa mereka pada hari yang paling dinantikan. Tidak sampai dua jam waktu tersisa untuk Yizhuo hingga akhirnya gadis itu akan resmi menjadi istri dari seorang pengusaha hebat asal Korea Selatan, Huang Renjun.

Pernikahan yang akan segera dilangsungkan di Kota Seoul itu telah menjadi berita paling panas dalam beberapa hari. Pasalnya, industri hiburan Singapura juga ikut tergoncang dengan pengumuman undur dirinya penyanyi ternama dari negeri mereka. Ning Yizhuo telah pamit dari industri hiburan bersamaan dengan perilisan full album pertamanya.

Berkat keputusannya, Yizhuo mendapat komentar yang cukup seimbang di media sosial. Namun percayalah, orang yang paling merasakan dampak atas pensiunnya Ning Yizhuo secara tiba-tiba adalah Zhong Chenle. Di balik wajah tengil khas pemuda itu, Chenle pasti kewalahan mengamankan kantornya untuk menghindari serangan tak terduga dari beberapa penggemar brutal.

"Kak, apa yang harus kukatakan saat menggandeng tangan Ayah?"

Chenle melirik pada Yizhuo yang terlihat begitu sumringah. "Maki saja. Dia sudah jahat padamu."

"Kak Chenle! Aku serius!"

"Jangan tanyakan hal seperti itu padaku, Yizhuo. Aku tidak sebaik Kau. Yang ingin kulakukan hanyalah membuang ludahku tepat di wajah laki-laki itu."

Yizhuo tidak berniat memperpanjang percakapan yang mulai sengit itu. Lebih lanjut, dia merasa salah untuk bertengkar dengan Chenle saat pernikahannya sendiri akan digelar kurang dari dua jam.

Sejak awal, pikiran Yizhuo sendiri sudah terusik dengan kehadiran sang ayah yang akan mengantarnya hingga sampai di altar. Gadis itu benar-benar tak mengerti apakah semangat atau justru khawatir adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaannya.

Derit pintu membuat dua sepupu dalam ruangan itu menoleh singkat. Chenle segera berdiri, ketidakinginannya yang begitu besar untuk bertemu dengan lelaki paruh baya di ambang pintu membuat pemuda itu lebih lanjut meninggalkan ruangan.

Yizhuo menyambut lelaki itu dengan senyum ramah. "Ada apa, Ayah?"

Tuan Ning lantas menggeleng. "Hanya ingin melihat Nona Ning sebelum menjadi Nyonya Huang."

Pipi si gadis bersemu merah. Entahlah, Yizhuo sendiri bingung mengapa dia tersipu membayangkan sebutan baru yang mau tidak mau akan disematkan dalam namanya itu.

Pada kenyataannya, Yizhuo punya banyak kekhawatiran untuk bergabung dalam keluarga yang bagaikan orang asing dalam sudut pandang gadis itu. Yizhuo benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Keluarga Huang selain bisnis mereka di bidang properti dan tentunya anak tunggal kebanggaan mereka, Huang Renjun yang sebentar lagi akan mempersuntingnya.

"Maafkan Aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu, Nak." Tuan Ning menghela napas.

Yizhuo menggeleng kuat. "Jangan begitu, Ayah. Dengan Ayah mengantarku menuju altar, segalanya sudah lebih dari cukup."

"Aku berhutang budi pada Paman dan Bibimu karena telah merawat putriku dengan sangat baik." Butiran air dari pelupuk mata lelaki itu tidak lagi sanggup dibendung. Maka menangislah Tuan Ning di depan putrinya sendiri.

"Ayah, jangan menangis. Bukankah seharusnya Ayah juga merasakan kebahagiaan yang sama di hari bahagiaku ini?" Segera Yizhuo menyeka air mata sang ayah sebelum menganak sungai. "Kita sudah berjanji untuk hidup dengan bahagia, 'kan? Ayah tidak ingat?"

Tuan Ning telah kalah oleh bujukan putrinya. Sungguh lelaki itu bertanya-tanya, mengapa tidak dari dulu dirinya berusaha menjadi ayah yang baik? Mengapa keinginan itu baru muncul saat Yizhuo akan berada jauh darinya.

"Putri Ayah sudah besar." Tuan Ning tersenyum jahil. "Ayah tinggal menunggu cucu sekarang."

"Ayah! Pernikahan bahkan belum dilangsungkan, tapi Ayah sudah membahas itu?!"

Tuan Ning hanya tertawa kecil melihat Yizhuo yang mengambil langkah menjauh akibat kesal dengan celetukan sang ayah.

• • •

Tamu undangan bersahutan ramai menyambut pengantin wanita dari balik pintu kayu setinggi ruangan. Tidak ada satupun mata yang tak menyiratkan kagum melihat sang pengantin menapaki anak tangga dengan tangannya digenggam sang ayah.

Yizhuo tampil anggun dengan balutan gaun putih menjuntai dan rambut panjangnya yang telah di tata sedemikian rupa. Penampilan yang tidak hanya mendatangkan kagum dari para tamu undangan, tapi juga membuat seorang pria di depan sana tidak kunjung mengedipkan mata sejak pengantinnya memasuki ruangan.

Huang Renjun menerima tangan Ning Yizhuo tanpa mendengar dengan jelas kalimat yang disampaikan dari ayah mertuanya. Segera Renjun membawa tangan halus itu dalam genggamannya sambil lebih lanjut mengagumi ciptaan Tuhan yang sebentar lagi akan secara sah menjadi istrinya.

Renjun dan Yizhuo berdiri berhadapan. Mengikuti setiap aturan hingga pendeta mulai merapalkan janji suci yang diikuti keduanya silih berganti. Dengan itu, maka resmilah Huang Renjun dan Ning Yizhuo sebagai suami istri. Riuh tepuk tangan menyambut dua insan itu dalam kehidupan baru dengan harapan bahagia terus mampir beriringan dengan ucapan selamat yang terucap tiada henti.

Rintik hujan perlahan membasahi rerumputan di luar bangunan besar penuh kebahagiaan itu. Bersama samar suara perjumpaan air dan tanah, dua insan itu mulai mempersempit jarak diantara mereka.

Riuh tamu undangan bersahutan ramai menjadi saksi atas dua benda kenyal yang telah bertemu dalam sekejap akibat sang lelaki lebih dahulu menciptakan jarak.

"Maaf." Sama sekali bukan kalimat yang diharapkan dari seseorang yang lebih dahulu memulai namun mengakhirinya begitu saja.

Yizhuo tersenyum tipis. "Tidak apa-apa."

Bahkan kedua insan itu terlihat sangat canggung untuk sebuah sandiwara bahagia yang sebelumnya pernah mereka sepakati.

Time After TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang