Suara riuh rendah, tawa, canda, dan gumam cemas ribuan calon siswa yang mendaftar ke SMA yang sama dengannya. SMA Bhakti Nusantara adalah salah satu SMA favorit di Jakarta. SMA yang bagus akan menentukan seberapa besar peluangmu untuk masuk ke universitas-universitas terbaik di negeri ini. Maka orang tua pun begitu antusias mendaftarkan putra-putri mereka di SMA favorit yang terkenal berhasil mencetak lulusan-lulusan terbaik dengan nilai fantastis. Di antara keriuhan itulah Amanda Aviena berada. Ia berdiri di bawah terik matahari dengan keringat menetes-netes di lehernya yang seputih susu.
"Vien, nunggunya di mobil saja yuk. Biar adem." Seorang perempuan tampak kegerahan mengipas-kipasi lehernya dengan tangan. "Lagian kenapa sih harus panik? Mama yakin kok kamu bakalan lolos."
"Bukan masalah lolosnya, Ma." Jawab Vien setengah merengek manja.
"Terus?"
Vien terdiam. Tidak mungkin ia memberitahu alasan di balik kegelisahannya. Tidak mungkin ia menunjukkan ketakutannya di hadapan musuhnya. Di seberang sana, di antara kerumumanan siswi-siswi perempuan yang terkikik-kikik genit, seorang pemuda bertubuh tegap tinggi bersandar pada tembok bangunan sekolah. Ia tampak menonjol di antara siswa lainnya. Tampang blesteran Timur Tengahnya begitu kental, dengan hidung mancung, alis tebal, mata dalam, dan jambang tipis yang mulai tumbuh di sisi sisi rahangnya yang tegas. Siswi-siswi yang hormon ganjennya mulai bangkit cekikikan sambil mencuri-curi pandang. Pemuda itu bernama Javian Derry. Ia memasang tampang cool yang dibuat-buat. Vien tahu betul sifatnya seperti apa. Sifat aslinya pecicilan dan caper. Mereka satu SMP selama tiga tahun.
Sepertinya tatapan tajamnya menyalurkan gelombang listrik atau apa, pemuda yang biasa dipanggil Ry itu menemukan tatapannya. Ia langsung melempar senyum miring yang terkesan sinis. Vien lekas membuang muka.
"Eh, pengumumannya sudah keluar!" teriak salah seorang siswa dengan suara cempreng.
Seorang dari pihak sekolah membawa gulungan kertas di tangannya. Langkahnya diikuti oleh tatapan cemas ratusan calon siswa. Ketika orang tersebut berdiri di depan papan pengumuman dan mulai menempelkan lembar pengumuman, tubuh-tubuh merangsek maju, berusaha mengintip. Ketika orang itu selesai menempel lembar pengumamn dengan selotip dan pergi, seluruh calon siswa tidak sungkan-sungkan untuk merangsek maju dan saling senggol. Termasuk di antaranya, Vien, yang tidak mengindahkan teriakan mamanya."Vien, nanti aja liatnya kalau sudah sepi! Vien, hati-hati, Sayang! Duh!"
Vien tidak peduli. Tubuh kurusnya terus merangsek maju di sela-sela siswa lainnya. Hingga akhirnya ia berhasil berdiri paling depan dan membaca nama itu di urutan pertama, calon siswa dengan nilai ujian masuk tertinggi tahun ini. Dan itu bukan namanya. Namanya tertera di bawahnya, berada pada urutan nomor dua dengan skor 135,5. Sementara Javian Derry berada pada urutan pertama dengan skor 140.
Seketika sekujur tubuh Vien lemas. Ia merasa dunianya runtuh. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Tidak, ia sedang bermimpi. Ia sering memimpikan hal ini. Javian Derry selalu jadi monster dalam mimpi buruknya. Ini hanya bagian dari rentetan mimpi buruknya. Ketika ia membuka mata ia akan terbangun di tempat tidurnya dengan keringat dingin dan napas lega. Karena semua tidak benar-benar terjadi. Ia masih tetap yang terbaik."Aku sudah bilang kamu harus berhati-hati denganku." Suara Ry yang khas terdengar begitu jelas, seakan-akan keluar dari dalam kepalanya sendiri. Ry punya suara dalam yang khas. Suara yang selalu membuat perasaannya tidak nyaman.
Ketika Vien membuka mata, rupanya semua tetap sama. Ia tetap berdiri di depan lembar pengumuman. Namanya tetap tertera di nomor dua. Nama musuh bebuyutannya berada di nomor satu. Mimpi buruknya mencapai klimaks, ketika Vien menyadari Ry berdiri tepat di sebelahnya dan membisikkan kata-kata barusan di telinganya.Keinginannya untuk pingsan berubah 180 derajat menjadi keinginan untuk mencakar wajah Ry.
Vien menegakkan tubuhnya dan menengadah menatap Ry tajam-tajam. Senyum sinis membingkai wajah gadis itu. "It's just beginner's luck.""What you say?"
"It'll never happen twice. Keberuntungan tidak akan terjadi dua kali. Ini akan jadi saat pertama dan terakhir kamu mengalahkanku, Ry." Sahut Vien dengan suara tegas dan lantang.
"Woooooh." Teman-teman mereka yang dulunya satu SMP dengan Vien dan Ry bersorak. Mereka menyaksikan percakapan keduanya dengan seloroh senang.
Menyadari percakapan mereka disaksikan banyak orang, Ry memasang tampang menyebalkan. "Loser's weeping."
"Woooo....!!!" lagi-lagi mereka menyoraki.
Mata Vien menyipit menatap Ry, seakan ingin memakannya bulat-bulat. Suasana semakin memanas menyaingi udara siang hari ini. Vien ingin mencakar wajah itu. Jari-jari tangannya tiba-tiba terasa gatal.
"Ry!" seseorang menyibak kerumuman. Wajah oriental berkacamata muncul dan langsung menengahi. "Wah, may day, may day!" ia bergumam kemudian langsung menyeret Ry pergi. Itu adalah Leo, sahabat dekat Ry. Mereka terkenal sebagai dua cowok blasteran yang bersahabat sejak lahir. Leo memiliki darah Korea. Ayahnya adalah orang Korea asli yang bekerja di Kedutaan Korea Selatan. Ayahnya menikah dengan seorang Jaksa Penuntut Umum keturunan asli Indonesia. Ibunya Leo bersahabat dengan Ibunya Ry.
Selepas kepergian Ry dan Leo, semua kembali normal. Mereka yang lolos menjerit kegirangan, sementara yang gagal langsung melaju ke SMA lainnya tempat mereka mendaftar. Vien menghela napas panjang dan berjalan lunglai ke tempat Mamanya berdiri. Mamanya tersenyum menatapnya.
"Kenapa, Sayang?"
"Vien di urutan nomor dua, Ma."
Mamanya berambut sedikit ikal dan Vien memiliki rambut yang sama. Hanya saja mamanya lebih suka menggelung rambutnya. Sementara Vien lebih suka jika memotong rambutnya pendek sebahu. Menurutnya rambut ikalnya akan jatuh dengan natural dan rapi jika tidak terlalu panjang.
"Vien, lebih mudah merebut daripada mempertahankan. Jadi semangat yah habis ini tinggal rebut!"Vien menatap mamanya dengan tidak mengerti.
"Kamu sudah mempertahankan gelar siswa terbaik selama tiga tahun di SMP, sudah saatnya kamu kalah. Masih ada semester depan untuk membuktikan bahwa tantangan sebenarnya adalah konsistensi. Semua orang bisa jadi nomor satu, tapi nggak semua orang bisa mempertahankannya."Senyum Vien seketika merekah mendengarnya. Ia mengangguk mantap. Apa yang dikatakan Mamanya seratus persen benar. Ry hanyalah pemain baru. Ia baru menunjukkan kemampuan akademisnya di semester akhir SMP. Sebelumnya dia hanya anak badung yang sok populer hanya karena ayahnya seorang selebriti.
"Yuk, Papa udah nungguin makan siang bareng. Kita makan enak buat merayakan kekalahanmu, Sayang, hahaha...," kekeh mamanya jahil sambil berlalu.
Spontan Vien merengek kesal. Ia menggelayuti lengan mamanya dengan manja. Mamanya semakin getol mengejek kekalahannya. Dari kejauhan Ry berdiri memperhatikan keduanya berjalan beriringan dengan akrab. Ia menggenggam ponsel yang di layarnya tertera tulisan dialing ke nomor mamanya. Panggilannya tidak juga terjawab meski Ry sudah meneleponnya berulang kali.Leo mendatanginya dengan dua kantung es teh dan memberinya satu. "Nih, minum es biar adem!"
Ry menerimanya dengan sedikit enggan. Leo membaca kesedihan di mata sahabatnya. Mata Leo melirik ke arah layar ponsel Ry. Terdengar suara operator yang menyatakan bahwa nomor telepon yang dihubungi sedang tidak bisa menerima panggilan. "Mungkin lagi persidangan." Kata Leo.Ry menghela napas berat dan memasukkan ponselnya ke saku. Ia ikut-ikutan menyedot es tehnya tanpa mengatakan apa-apa. Matanya masih terus memperhatikan Vien. Gadis itu berjalan menuju mobil. Sessat sebelum gadis itu masuk, pandangan mata mereka bertemu. Seakan-akan tidak percaya, mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Ry tidak mengelak sedikit pun, ia membiarkan dirinya tertangkap basah sedang mengawasi gadis itu.
Vien menyeringai dan menghadiahinya jari tengah. Ry tertawa melihatnya. Vien langsung masuk ke dalam mobil dan mobil itu pun melaju pergi.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Metafora Luka
RomanceTentang Amanda Aviena yang bangkit dari kehilangan ibunya. Dan tentang Javian Derry yang menjadikan gadis itu Muse-nya terlepas dari masalah keluarga yang ia hadapi.