Gara-gara bolu kukus Ibu

10 3 0
                                    

Hari ini aku membeli kue kesukaan Ibu!

Bukan, bukan karena beliau ulangtahun. Tapi semata-mata untuk rasa terimakasihku telah diberi ponsel baru. Aaaa, senang sekali rasanya. Sudah dari Februari handphoneku mati total. Kalau dihitung-hitung, hampir 5 bulan aku tidak pegang benda canggih tersebut. Iya, sekarang bulan Agustus. Tepatnya tanggal 20, sehari setelah kemarin aku membeli ponsel ini dengan Abang di salah satu store.

Warnanya merah. Sesuai yang diingin Ibu. Padahal 'kan aku yang pakai. Tapi aku ikuti saja maunya, hahaha. Ingat, ya. Nurut sama orangtua pasti banyak baiknya.

"Pompa dulu, ih," ujar sahabatku dari boncengan belakang. Ia sedari tadi mengomel karena merasakan motornya turun, kasar menyentuh aspal, alias kempes! "Pak, pompa ban depan belakang, ya." Katanya kepada tukang tambal ban pinggir jalan, usai kami menepi. Aku yang siaga langsung mengeluarkan uang, tahu diri karena bagaimanapun juga, aku nebeng.

"Loh, Hp baru?!" Seru Nilam kaget. Matanya melongok ke dalam tas hitam kesayanganku ketika melihat benda pipih tersebut. "Anjayyy, makan-makan nih bos."

"Gasss." Kataku, menimpalinya.

Kami kemudian melesat ke rumah setelah beres dengan urusan ban motor, mengantarkan bolu kukus yang tadi kami beli untuk Ibu, lalu memutuskan mencari makan.

Sore itu masih pukul empat kurang. Terik masih ada, tapi tidak menyilaukan. Petang yang ceria. Langit-langit berwarna biru terang, berkebalikan dengan kemejaku yang biru gelap. Pakaian ternyaman menurutku sejauh ini. Karena selain simple, cocok juga buat segala aktivitas. Kalau Nilam sama casualnya, ia memakai cardigan hitam yang menutupi kaos garis-garis biru terangnya pula.

Hadehhh..

Nggak tahu kenapa, aku dan dia selalu saja samaan soal penampilan; entah warna tonenya, modelnya, atau coraknya. Astaga.. padahal kami nggak pernah janjian. Kalau sudah sama begitu, kadang aku kesal sekali. Tapi ketawa juga. Bayangkan saja, tiap Nilam jemput di depan gang, aku selalu keluar dari tikungan dengan mengendap-edap. Takut-takut melihat baju yang dipakai. Kalau sama, reaksi kami pasti;

"HADUHHHHHH," iya, frustasi banget. Tapi sedetiknya, "HAHAHAHA bego kenapa sama terus sih!!!"

Mungkin ini yang dinamakan real bestie, ya?

Kini aku melaju pelan ke arah Manyar sambil berbincang tipis dengan Nilam. Kami mau menuju resto mie pedas yang katanya nomor satu di Indonesia itu, tentunya telah melalui kesepakatan alot bersama. Errrr.. untuk informasi saja, tempat ini adalah tempat favorit Nilam. Aku sampai bosan kalau di ajak nongkrong ke sini melulu. Kayak nggak ada tempat lain aja..

"Murah, bego."

Aku yang agak hemat kadang membenarkan juga.

"Lagian mau cari tempat dimana lagi? Yang cuma bisa dibuat makan terus nongkrong lama." Lanjutnya. Aku ketawa. Memang betul begitu, mau dari chat janjian ke A, B, C, ujung-ujungnya pasti ke sini.

Seperti biasa, Nilam yang mengantre sedang aku sibuk mencari duduk. Resto hari ini tidak sepi, tapi tak ramai juga. Aku memilih kursi yang menghadap luar sembari menunggu Nilam. Kuletakkan tas di atas meja, lalu sibuk bermain ponsel. Hitung-hitung belajar menggunakan deveice baru. Aku masih agak kagok soalnya. Hehe..

Tenggelam dalam keasikan sendiri, tak lama kemudian Nilam datang dengan plang berisikan nomor meja 64. Dia duduk di sisi sebelah kiriku, lalu kami sibuk berbincang banyak hal. Tapi kalau Nilam, mah, pasti nggak jauh soal laki-laki. Tuh, kan, dia benar bilang;

"Kangen Agi, sakit hati bangettt."

"Alah udah lah," sahutku, melirik notif ponsel yang muncul tapi tetap kuabaikan saja. "Laki-laki kayak gitu ngapain diberatin sih? Udahlah, mau sedih terus sampai kapan? Nanti bakal nyesel dia. Percaya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Untuk Kali PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang