Someone easy to read

16 1 0
                                    

Siang itu sejuk sekali di pelataran rumah. Aku sedang membaca buku saat kamu tiba-tiba datang meminta untuk menemanimu ke ladang. Aku bertanya-tanya untuk apa siang bolong seperti ini ke ladang? Ayahku malah baru saja melepas sepatu boot nya dari ladang. Katamu di lapangan di atas bukit di dekat ladang kamu ingin menunjukkan sesuatu. Aku menolak. Kamu seperti tak sabar dan memaksaku ikut. Jadi, dengan berat hati ku tutup bukuku dan berdiri.

"Ayo", kamu terlihat sumringah. Aku mengikuti dari belakang. Sesekali aku perhatikan cara jalanmu yang seperti bebek berlari. Hihi itu lucu, aku tergelitik. Kamu sesekali menengok ke belakang dan menarik tanganku dan bicara, "cepat, cepat, aku ingin kau segera melihatnya". Aku iya-iya saja, mempercepat langkah.

Di lapangan di dekat ladang ada dua pohon kersen besar dan tua. Kemungkinan akarnya memang sudah sangat besar menjalar di dalam tanah sehingga mencuat keluar. Kita sampai. Aku tidak melihat apapun yang ingin kamu tunjukkan.

"Kita sampai," katamu tersenyum dan matamu hilang. Tapi aku masih heran. Lalu apa? ini memang tempat bermain kita. Lalu apa?

"Lihat ke atas! Lihat!" kamu menunjuk ke langit dan...

"oh, oh, oh astaga. Apa ini? Ini keren. Wah, siapa yang membuatnya?" Lihatlah! Di atas salah satu pohon kersen itu dibangun sebuah rumah pohon. Terlihat sangat kokoh dan indah. Atapnya terbuat dari kayu-kayu dan menjalar daun-daun buatan. Ada pintu dan jendela bulat. Astaga itu sangat indah. Jangan lupa, disana ada balkon dengan dua kursi berjajar.

"Tentu saja aku. Dan Ayahku hehe, aku sudah tau kau pasti akan takjub," tetap saja itu sangat keren, kan. Maksudku, itu ide paling brilian seperti kisah-kisah dalam buku yang ku baca.

"hmm, mungkin nanti kita bisa menanam anggur sungguhan di atas sana" dan kamu mengajakku naik ke atas melewati pijakan-pijakan kecil tapi kokoh di pinggir pohon. Kalau dilihat dari arahku datang, dua pohon kersen ini tidak berdiri sejajar tapi saling berbaris ke belakang. Tentu kersen kembar satunya tidak terlihat. Tapi begitu berada di atas, terpampanglah bagaimana kondisi kersen kembar itu.

Aku melongo. Ada jembatan kayu yang menghubungkan pohon kembar itu. Dan di pohon seberang sana satu hammock disangga tiang-tiang dengan lampu. Meja dan kursi terpasang rapih di sudut. Lampu-lampu gantung terpasang di tiap batang. Benar-benar indah.

"Aku bisa seharian berada di sini," dan kamu tertawa.

"Aku tau kau akan seperti ini" dan kamu memang selalu bilang begitu.

"Jadi ini alasanmu beberapa minggu ini tidak menggangguku?"

"Aku buatkan tempat yang bagus untukmu membaca," aku ingat kamu tersenyum kecil. Aku tidak tau apa maknanya. Jadi, kukira kamu bercanda. Ku bilang, terimakasih.

***

Kamu selalu begitu. Dan aku selalu begini.

"Kau mau aku kesana dan kembali dengan tulip merah?" Kamu tau padahal aku hanya fokus pada bacaanku dan sama sekali terlihat tidak tertarik dengan kumpulan penjual bunga itu. Aku tidak keberatan jika kamu tidak keberatan. Tapi kubilang tidak usah.

"Aku membuat kue ini dengan kakakku. Percayalah ini kue susu terenak yang pernah ku buat. Kau harus mencobanya." Kamu datang dan menyodorkan kue itu ke hadapan wajahku. Aku selalu heran, tapi kemudian tetap memakannya. Ini lebih enak dari yang kemarin-kemarin. Aku berterimakasih lagi.

Atau saat kucingku kabur entah kemana. Kamu muncul dan ikut berjongkok di depanku. "Aku tau kau akan begini. Hei, sudahlah. Kucing itu sudah tua, biarkan dia mencari 'tempat' lain yang dia mau" Kamu mencabut-cabut rumput kecil yang tidak panjang sambil bicara. Haruskah? Maksudku, haruskah kau mengatakannya? Tapi terimakasih karena sedikitnya ternyata kehadiran kamu saat itu membuatku senang.

Jika sudah malam tapi aku belum juga pulang, orangtuaku pasti kelimpungan mencariku kemana-mana. Dan memintamu ikut membantu mencariku. "Aku tau kau pasti ke sini. ke rumah pohon ini." Saat itu aku hanya sedang membaca buku di atas hammock di atas rumah pohon sesekali memandang langit. Aku tidak terkejut dengan kehadiranmu. Aku tau kau akan tau.

Aku selalu begitu. Dan kamu selalu begini.

***

Dalam hidup, seseorang pasti selalu merasa perlu untuk menghargai siapapun dan apapun yang mereka lakukan. Sekecil duduk diam menemani membaca buku di beranda rumah saat siang hari. Itulah yang awalnya aku lakukan. Kamu selalu hadir dan aku mempersilahkan. Kemudian kamu mulai membuat hal remeh di sampingku, seperti mahkota bunga dan memakaikannya kepadaku. Aku tentu berterimakasih, apalagi? Dan kamu mulai datang ke rumahku dengan membawa berbagai eksperimenmu. Aku senang karena kamu berteman denganku. Kamu mulai mengetahui hal-hal yang aku suka dan tidak suka. Dan kamu sering berlagak sok tau tiap harinya. Tidak pernah kukatakan bahwa aku sangat senang kamu hadir jadi temanku, selalu.

Hari itu, pada siang yang terasa sejuk kesekian. Kamu datang mengajakku bermain di rumah pohon. Aku membawa bukuku dan kamu memimpin jalan. Ku kira kamu hanya mengajakku bermain tebak lagu atau apapun, mengobrol, menatap langit. Seperti yang biasa kita lakukan. Aku duduk atas hammock dan kamu akan membiarkanku. Siang ini kamu memintaku duduk dikursi berhadapan denganmu. Baik. kamu bilang ingin bicara. Ya, baik, katakan.

"Aku mencintaimu. Maaf,"

Hening.

"Aku mencintaimu dan aku menyayangimu," Lalu?

"Ya, aku juga menyayangimu,"

"Kau tidak mencintaiku?" Kamu tampak gugup dan kecewa.

"Tiba-tiba?" Aku bertanya-tanya, situasi macam apa ini?

"Tidak, itu tidak tiba-tiba. Sembilan belas tahun adalah waktu yang lama. Bukankah selama ini kau juga mencintaiku?" Aku diam mencerna kalimatnya. Bagaimana bisa kamu menyimpulkan begitu saja? Dan kamu seperti biasa sok tau dengan pikiranku mulai merangkai kalimat dari kejadia-kejadian dan kenangan-kenangan dan menarik kesimpulan bahwa aku juga mencintaimu selama ini. Katamu, aku terlalu mudah dibaca.

Ku bilang, "Kamu terlalu cepat bicara."

Kamu tampak kecewa dan marah dan pasrah. Aku membuang muka.

***

Di bawah pohon kersen, mataku berair, 'Aku juga'

Tentu saja dia tidak akan dengar.

Dia tiada.



-Inspired by Firnita dalam Shorter Stories; "You say I'm easy to read, You speak too soon"-

(Pict by Pinterest)

Terimakasih sudah membaca!

Histoire de AleatoireWhere stories live. Discover now