PERINGATAN!
Berikut cerita diperuntukkan kepada pembaca berusia 18+ tahun, ditulis dalam bahasa indonesia, berisi sebanyak 2222 kata, penyebutan tentang : kosakata kasar, jorok, isu keluarga, pembunuhan, homoseksual, DLSB, dan memiliki akhir sedih.
Kebijakan pembaca sangat diperlukan. Jadi, mohon kebijakannya dan selamat membaca!
.
.
.
.
.
.
METALARA
Bagi Meta, mengabdi kepada orang tuanya adalah sebuah keharusan yang mutlak. Sejak kecil, hidupnya sudah ada dalam jalur yang dibuat sang orang tua. Memang seperti begitu kebanyakan nasib anak tunggal. Satu-satunya tumpuan utama harapan keluarga.
"Papa lagi, ya, Den?" Seorang pria dengan sapu lidi di tangannya duduk menghampiri Meta yang tengah menangis dalam diam di taman belakang rumahnya. Itu adalah Vachi, seorang tukang kebun di rumah orang tua Meta sejak tiga tahun yang lalu.
Meta mengelap air matanya kasar. Lalu menengok ke arah Vachi yang duduk di sampingnya. "Ih, apa, sih, Bang Vachi! Tidak perlu Den segala. Memang aku Aden-Aden?"
Vachi tergelak. Lalu menirukan suara laki-laki yang dibuat seolah mirip perempuan. Khas seperti hantu yang dimaksud Meta.
"Ya, nanti kedengaran Tuan sama Nyonya. Memang kalian berantem kenapa lagi?"
Meta tersenyum, dia serasa beruntung bisa mengenal Vachi. Pria yang terpaut cukup jarak usia dengannya itu selalu ada menemani dia meski dunia memusuhinya.
"Ya, begitu. Papa maksa aku buat masuk fakultas kedokteran, sedangkan aku udah mau daftar ke teknik, ambil tata boga."
"Trus, kenapa tadi heboh banget?"
Meta terkekeh. Lalu dia menyibakkan bajunya, menampakkan punggung dia. Terlihat beberapa bekas lebam akibat hantaman sesuatu. "Tadi aku cukup tinggi nada bicaranya. Mama marah dan hendak menamparku, saat aku menghindar, kaki mama terkilir dan jatuh hingga kepalanya membentur meja. Alhasil pelipis kiri mama luka dan papa marah besar. Dia memukuliku dengan ikat pinggang."
Mendengar penuturan Meta, Vachi menahan emosinya. Rahang dia bergemeletuk. Kemudian dengan perasaan hangat memeluk Meta.
Ah, memang Meta tak salah menjalin kasih dengan Vachi. Pria dengan bekas luka di bibir kirinya ini selalu ada untuk dia kapanpun. Iya, Meta sudah menjalin kasih dengan tukang kebun papanya itu sejak setahun yang lalu. Dia begitu tertarik dengan pribadi sang kekasih yang penuh kasih dan kelembutan.
"Nanti Abang pulang ke rumah?" tanya Meta sesaat setelah melepaskan pelukan.
"Iya, pulang, kok."
"Aku ikut boleh tidak? Rasanya pusing kalau harus di rumah sekarang ini."
"Boleh."
.
.
.
Tunggang gunung, sebuah istilah untuk menunjukan waktu di sore hari menjelang terbenam matahari. Sekitar jam 4.23 Vachi dan Meta sudah berjalan keluar komplek perumahan melewati jalan pintas. Mereka kini tengah membeli jajanan jalanan sebelum pulang ke rumah kontrakan Vachi, orang tua Meta tidak membiarkan para pekerjanya untuk tinggal di rumah. Selain karena tidak begitu percaya dengan orang luar, mereka juga tidak mau mengikat pekerjanya dengan aturan di rumah. Jadi mereka membebaskan pekerjanya untuk mencari kontrakan asal jam kerja mereka sesuai dengan kesepakatan.