Berlepas Dari Rasa Memiliki

12 2 0
                                    

Waktu berjalan seolah lebih lambat dari biasanya. Matahari masih saja temaram dengan sinar jingganya. Sementara burung-burung terlihat lambat sekali menjangkau peristirahatannya. Langit tak segera menenggelamkan matahari, seolah bulan tak diinginkan untuk malam ini. 

Mungkin benar saja bahwa penderitaan selalu tampak lama, sedangkan hari-hari menyenangkan selalu berakhir dengan begitu cepatnya.

Di pojokkan kamar, dengan duduk memeluk lutut, Khaula masih dengan kesedihannya, menangis tak bersuara. Sementara itu, di luar kamarnya masih riuh suara orang silih berganti untuk ikut mengantarkan duka, atas kepergiaan bunda yang sangat ia sayangi. 

Waktu setelah ashar tadi pemakaman Bunda Maksum telah dilaksanakan, menyisakan tangis yang cukup lama, tak hanya bagi anak-anak dan sanak saudaranya saja, tetapi juga orang-orang yang merasa terbantukan atas kebaikannya yang luar biasa. 

“Semoga beliau khusnul khatimah, mendapat tempat terbaik di sisi Allah..” Ucap mereka yang muslim.

“Di berkatilah Unni Maksum, dan di tempatkan di tempat mulia di sisi Tuhan” Ucap mereka yang non-muslim.

Ucapan duka tak henti-hentinya berdatangan, dan baru surut setelah sepekan kepergian Bunda Maksum. Sementara kesedihan bagi Khaula masih mendalam, belumlah surut rasa kehilangan yang dialaminya atas kepergian bunda yang begitu ia cintai. Ia menjadi lebih pendiam dan mengurung diri di kamar, dan terlihat makin kurus saja badan gadis itu.

“Assalamu’alaikum, Khaula” suara terdengar dari daun pintu. “Kak Faqih masuk, boleh?” Lanjut suara itu.

“Wa’alaikumussalam, masuk saja, Kak” Jawab gadis itu, dengan tak beranjak dari posisinya.

Assadullah Al Faqih membuka pintu, mendapati kamar adiknya yang berantakan dan kondisi adiknya yang memprihatinkan.

“Aku tidak apa-apa” Khaula seolah tau, apa yang difikirkan Faqih.

Sementara Faqih masih bergeming diujung pintu, menatap adiknya dengan begitu haru. Hingga ia mendudukkan diri di ranjang adiknya, tepat di samping Khaula.

“Khaula, kehilangan bunda seolah mimpi buruk bagi…” Perkataan Faqih terhenti.

“Kak, ini bukan sekedar mimpi buruk, tapi kehidupan nyata dan menyedihkan yang harus kita jalani” Susul ucapan Khaula.

Faqih menghela nafas panjang. Bagaimanapun menyedihkan kondisi ini, ia harus menjadi sosok yang kuat di depan adik semata wayangnya.

“Kakak mengerti. Tapi ini sudah takdir, Khaula. Kamu harus terus melanjutkan hidup. Bunda akan sangat kecewa kalau anak-anaknya tidak bisa melanjutkan hidup dengan baik sepeninggalnya. Bukankah Bunda selalu mengajarkan kita untuk berlepas diri dari ‘rasa memiliki’?” Faqih berusaha menatap adiknya, seakan tatapannya menyusuri seluruh susunan mata gadis itu, tatapan yang mantap dari seorang Kakak yang penyayang.

“Agar kita bisa memaknai, bahwa semua adalah milik Allah” lanjut Faqih lagi.

Tangis Khaula pun pecah, seisi kamar itu penuh akan kesedihan.

“Innalillahi wa innailaihi rooji’uun…” Khaula mengucapkannya hingga tiga kali dan menangis semakin tersedu-sedu.

Tangan Kakaknya menepuk punggung gadis itu, mereka sama-sama tenggelam dalam duka yang mendalam.

Selaksa Kisah Milik Khaula [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang