jesse sebagai ilham
nakajo ayami sebagai jihan**
Melipat Waktu, Hati-Hati
(2316 words.)**
Kalau aku diberi kesempatan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, mungkin pertemuanku di persimpangan dengan si Badut Kelas lebih baik dihapus saja. Satu fragmen memori tentang bagaimana senyumnya selalu merekah setiap kali kami bertemu belakangan ini membuatku terjaga di malam-malam sepi—ada sedikit hasrat untuk meraih ponsel dan menghubunginya kembali.
Akan tetapi, semua itu telah menjadi kemustahilan yang absah. Terlalu banyak yang tidak mungkin akan terjadi di antara kami, setelah sejarah membuat aku dan dirinya berusaha menghilangkan satu sama lain.
Andai aku bisa amnesia dalam semalam.
**
Ilham bukan tipikal anak laki-laki yang akan berubah demi disukai semua orang: dia hanya menjadi dirinya sendiri dan ajaibnya, seperti magnet, semua orang akan datang menghampiri. Aku adalah salah satunya.
Meski satu kelas sepanjang SMA, lingkaran pertemanan kami tidak begitu tumpang tindih sehingga interaksi di antara aku dan Ilham begitu minim. Aku tahu namanya, polah tingkahnya, dan senyum meringisnya tiap kali dihukum guru karena nilai matematikanya jelek lagi. Namun, pengetahuanku hanya jatuh sampai di situ—hingga suatu hari, persimpangan lampu merah dekat sekolah mengubah segalanya.
Bandung itu tidak lengkap kalau tidak macet. Meski terbilang kontur buminya dekat dengan dataran tinggi, nampaknya krisis iklim dan kepadatan penduduk berhasil menyihir kota yang diromantisasi banyak orang ini menjadi ladang kemacetan yang sumpak. Hawa siang itu panas, dan aku baru keluar sekolah, tergopoh-gopoh berlari ke halte persimpangan karena takut ketinggalan bus gratis untuk pulang. Kabarnya, percobaan bus gratis ini berlaku sampai beberapa bulan ke depan—tentu aku tidak mau kelewatan memanfaatkannya.
Sayang, pemerintah belum pernah merilis secara resmi jadwal bus tersebut sehingga kini aku terjebak panas di bawah kanopi halte yang tidak menolong banjir keringatku sama sekali. Sesekali aku melihat kawanku lewat dengan kendaraan pribadinya, pulang duluan. Enaknya.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain meratapi nasib. Dengan bibir maju beberapa senti, aku mengipas-ngipaskan tanganku, menciptakan angin kecil-kecilan dan berharap suhu badanku terbantu. Aku cuma mau pulang, mandi, lalu tidur siang. Tidak muluk-muluk.
Entah apakah aku memang terlihat seperti anjing malang yang kepanasan di pinggir jalan atau bagaimana, tetapi ketika Ilham tiba-tiba muncul dan menempelkan es kiko di jidatku, aku cuma bisa megap-megap. Mendadak jadi ikan koi. Otakku tahu-tahu membeku di tengah panas.
"Jangan manyun terus. Nih, es,"
Sebenarnya, itu cuma es kiko seribuan yang bisa dibeli di warung Bi Ijah tiap kali ada jam istirahat. Anehnya, barangkali karena disertai dengan senyuman tengil khas Ilham, aku tidak pernah bisa lupa rasanya. Gelato di Italia kalah dengan es berperisa sintetis itu.
YOU ARE READING
and i think, i'll fall in love.
Fanfictionenam kisah, duabelas hati, dan satu perkara: jatuh cinta. ** a sixtones fanfiction han © 2022 written in bahasa