PROLOG

6 0 0
                                    

"Ayo kita tunangan!"

"Sekarang?"

"Apa maksudmu? Kau tidak ingin bertunangan denganku?"

Terlihat gelombang garis yang mengukir di kening wanita itu, setelah mendengar bahwa kata-kata tersebut keluar dari mulut Damar, kekasihnya, yang mengajaknya bertemu di rooftof cafe tempat dimana Diana bekerja. Dengan cepat wanita itu memeriksa kesehatan Damar, ia bahkan meletakkan punggung tangannya di kening Damar dan menerka-nerka apakah pria yang tengah berdiri di hadapannya sedang sakit? Damar lekas menarik tangan Diana dari keningnya dan seketika berdecak kesal.

"Aku ini tidak sakit, sayang!"

"Lalu? Mengapa kau tiba-tiba mengajakku bertunangan? Ayo jelaskan?"

Damar menghela nafasnya dalam-dalam, kedua tangannya memegang pipi wanita yang berada di hadapannya. "Kau tidak mencintaiku?" Tanya Damar.

Diana memegang kedua tangan Damar yang masih memegangi pipinya dan menariknya kebawah. Ia tersenyum tipis dan kembali menatap kedua bola mata pria yang sedari tadi sudah menatapnya dengan sangat intens. "Aku mencintaimu, bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu? Kita bahkan sudah lama bersama dan apa kau masih meragukan itu?"

"Maka dari itu, kita sudah lama bersama, dan aku mau serius dengan mu Diana! Apa kau tidak sakit telinga ketika kita pergi bertemu teman-temanku, kita akan selalu di ledek kalian ini sedang berpacaran atau nyicil perumahan? Kok lama banget gak ada kemajuan?"

Diana tertawa, bahkan tawanya tidak langsung berhenti seketika. Butuh waktu beberapa menit bagi Diana tertawa, menertawakan hal hingga sampai membuatnya memegangi perut bagian bawahnya karena sakit. "Jadi, jadi kau mengajakku bertunangan hanya karena disebabkan oleh teman-temanmu yang meledek?" Tanya Diana yang sampai saat ini masih tertawa.

Damar terdiam kesal, apa menurut wanita ini ajakannya hanyalah gurauan semata? Oke, jika Damar adalah pelawak yang handal di setiap harinya itu semata-mata hanya untuk membuat Diana tertawa. Oh ayolah, bahkan di waktu seperti ini pun Diana menganggap bahwa semuanya hanya candaan.

Damar menggelengkan kepalanya. "Jika ini kemauan mamah atau keluarga besar aku?"

BOOM!

Seketika itu, tawa Diana terhenti. Ia langsung terdiam dan mematung, kedua bola matanya membulat sempurna menatap serius mata Damar. "Damar, kau tidak sedang bercanda kan?". Damar menggeleng pelan. "Sama sekali tidak!"

"Aku tidak tahu Dam, aku belum siap!"

"Ta-tapi, ini kan cuma tunangan, belum menikah? Kenapa kamu gak siap?"

Wanita itu berbalik badan dan berjalan menjauhi Damar. Kerutan keresahan di wajahnya tergambar dengan jelas, entah apa yang sedang di rasakan wanita yang seharusnya bahagia karena ada seseorang yang berani memberikan kepastian hubungannya ketika di luaran sana banyak wanita yang menginginkan hal yang sama seperti Diana.

"Kurasa, sebaiknya nanti kita bicarakan lagi mengenai hal ini, aku masih banyak pekerjaan, maaf..." Ucap Diana, yang seketika langsung turun dan meninggalkan Damar sendiri di rooftof cafe


...



Tak ada yang lebih menyibukkan daripada kelas dua belas yang tengah sibuk dengan pendaftaran masuk ke perguruan tinggi. Sama seperti halnya yang sedang dilakukan Naura, siswi kelas dua belas yang sibuk bolak-balik masuk ruang BK untuk mengurus berkas-berkas penting untuk masuk perguruan tinggi. Kebetulan, Naura adalah satu dari satu angkatan kelas dua belas yang diterima salah satu universitas swasta bergengsi di kota. Ternyata prestasinya di bidang akademik mampu memboyongnya ke universitas melalui jalur rapot.

"Kamu jadi ambil tawaran buat kuliah di Bandung, Raa?"

"Jadi. Kenapa?"

"Kamu yakin mau kuliah?"

"Loh, emangnya? Kesempatan ini gak dateng dua kali Dik, lagipula aku juga lagi ngurus beasiswa"

Dhika menghela nafasnya dalam-dalam. "Bukan apa, tapi kuliah itu butuh dana yang besar Ra, emang orang tua kamu sanggup ngebiayain kehidupan kamu di kota?"

Alis Naura terangkat tinggi, mendengar ucapan Mahardhika, kekasihnya, yang seolah-olah meragukan kedua orang tua Naura dalam urusan ekonomi. "Dik, rezeki itu di tangan Allah, kamu gak punya hak buat memvonis rezeki seseorang!". Naura kesal dengan ucapan Mahardhika, sampai ia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Mahardhika yang masih asik mengoceh.

Melihat Naura pergi, Dhika pun segera mengejar kekasihnya yang terlihat dari raut wajahnya, Naura sedang marah. "Raa, nanti kamu kuliah di kota jangan deket-deket sama cowo ya!"

"Hmmm"

"Raa, nanti kamu disana jangan mau keluar malem-malem apalagi sama cowo ya!"

"Hmmmm"

"Raa, nanti kamu kalo di kampus duduknya jauhan sama cowo ya! Kalo bisa pas ada kelompok jangan sama cowo yaa!"

"Manik Margana Mahardhika! Apaan si? Posesif banget sih jadi cowo, aku baru aja mau kuliah, belum mulai apalagi berangkat kamu udah...arghhh" Naura semakin bertambah-tambah kesal dengan Mahardhika, sikap posesif nya yang terlalu over membuat Naura merasa tertekan dan tak nyaman.

"Tapi Ra, ini demi kebaikan hubungan kita"

"Hubungan kita?"

"Iyalah, hubungan kita!"

TERUS AKU GIMANA?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang