One

61 5 2
                                    

Ini hanya kisah biasa. Dimana semuanya dimulai dengan perasaan yang dipendam.

So, Enjoy!

Hari ini, satu minggu setelah hari sakral bagi semua murid kelas XII, aku dan teman-temanku berkumpul di kantin. Di saat semua adik kelas berkutat dengan pelajaran, kami tertawa lepas.

Aku senang melihat teman-temanku bercanda, saling mengejek dan juga tertawa tanpa beban. Mereka larut dalam pembicaraan mereka. Aku yang memang paling pendiam diantara mereka, hanya tersenyum dan sesekali tertawa.

Tatapanku teralihkan saat aku melihat beberapa teman laki-laki di kelasku memasuki kantin. Pembicaraan teman-teman di sekelilingku pun terdengar samar.

Aku menatap mereka dengan penuh harap, membasahi bibirku. Dan saat mataku melihat laki-laki dengan jaket warna ungu tua yang selalu ia kenakan, senyumanpun terukir jelas di wajahku. Hanya menghitung minggu aku tidak akan melihatnya lagi. Setelah kelulusan nanti kami sudah pergi dengan cita-cita kami masing-masing.

Dalam hati aku bertanya-tanya siapa kira-kira gadis beruntung yang dapat merebut hati seorang laki-laki dingin seperti dia. Laki-laki yang hanya mementingkan nilai akademiknya, dia bahkan terlihat tak acuh terhadap dunia percintaannya.

Aku bertanya-tanya adakah orang yang ia suka, ia sayangi, ia kagumi bahkan orang yang ia cintai selain orangtua dan adiknya.

Seulas senyuman terukir di bibirku setiap kali aku melihatnya tertawa. Jarang sekali ia tertawa, ia hanya akan tertawa jika memang ada satu hal yang menurutnya sangat lucu.

Ia dingin, sudah kubilang. Bahkan untuk mendekatinya saja aku takut. Bahkan jika aku bertemu dengannya aku hanya akan tersenyum. Aku bicara padanya jika memang ada perlu.

Mataku mengerjap saat aku tahu manik mata coklatnya menangkap basah manik mata hitamku yang sedang menatapnya. Dengan refleks aku menatap ke arah lain.

Aku menundukan kepalaku, tersenyum sekali lagi.

"Kita kan gatau nanti jodoh kita siapa." Suara Mara menginterupsiku, aku melirik Mara yang juga melirikku jahil.

Aku hanya tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Aku tidak habis pikir, kelulusan saja belum, sudah memikirkan jodoh.

"Iya iya bener, siapa tahu nanti Nila jodohnya sama Fahri." Senyumku pudar sedetik setelah Gita mengatakan satu kalimat yang begitu membuat seluruh tubuhku bereaksi.

Tidak ada yang menyadari reaksiku yang tiba-tiba membeku, kecuali Mara. Ia menatapku lembut. Ia tahu pasti apa yang aku rasakan.

Saat aku melirik ke arah Nila, wajahnya sudah memerah, senyumnya terukir dengan indah, dan matanya melirik malu ke arah tempat duduk yang di tempati Fahri.

Aku masih diam, tidak ada senyum yang terukir di wajahku. Mataku menerawang, tawa para gadis di sekelilingku pun kembali samar.

Nila, ia cantik dan juga pintar, ia memiliki banyak prestasi dan dikenal oleh guru. Akhir-akhir ini Nila dan Fahri terlihat begitu dekat. Dan tidak mungkin jika tidak ada perasaan yang tumbuh di hati salah satu dari mereka.

Seketika hatiku tercubit, menyadari aku bukan siapa-siapa dibandingkan Nila.

"Mau sampai kapan Ren?" Aku tiba-tiba teringat pembicaraanku dengan Mara tempo hari.

Saat itu aku hanya diam.

"Udah berapa lama kamu pendam perasaan kamu?"

"Satu tahun."

"Udah satu tahun? Dan kamu diam saja? Ayolah Ren, lakukan sesuatu. Jika hanya diam kamu tidak akan mendapatkan apapun."

"Dan aku akan kehilangan banyak jika aku mengatakan dan memulainya terlebih dahulu, Mara." Aku mendesah pilu.

"Dan kamu akan tahu setidaknya satu fakta jika kamu mau memulai."

"Aku tidak mau, Mara. Bisa saja dia akan menjauhiku jika aku mengatakannya. Lebih baik aku diam. Dan itu sudah cukup, bagiku."

"Terserah Rena, terserah."

Aku tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh, aku tidak mengerti bagaimana bisa aku menyukai laki-laki dingin seperti dia.

Ada yang bilang, cinta hadir karena terbiasa bersama.

Ya, mungkin karena itu. Satu tahun aku dan dia bekerja sama dalam organisasi kelas. Kami sama-sama menjadi sekretaris kelas. Dan tidak jarang kami merembukkan masalah kelas bersama.

Tidak jarang kami mengobrol, walau bukan masalah pribadi. Namun, bukankah itu sudah menjadi kesenangan tersendiri?

Bisa mengobrol dan berdekatan dengan orang yang aku suka adalah suatu kebahagiaan yang sulit didapat, setidaknya bagiku begitu.

Sejak saat itu aku semakin dekat dengannya. Tanpa siapapun sadari rasa itu mulai ada.

Aku mengerjapkan mataku, mencoba kembali ke duniaku. Kembali mengikuti pembicaraan mereka dan tersenyum.

Aku tahu ini sakit, namun lebih sakit lagi jika dia mengetahui perasaanku padanya dan dia malah menjauhiku. Seperti yang pernah terjadi pada Mora. Dia pernah mengatakan perasaannya pada Fahri dan semuanya berubah. Menjadi lebih buruk.

Aku menyukainya dan itu sudah cukup, hanya melihatnya saja sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Dia terlalu tinggi untuk ku raih. Dia terlalu tak tampak untuk ku sentuh. Dia hanya angin musim kemarau yang terasa menyejukkan.

-TBC-

------------------

Yayayayay!! New story! Haha. Padahal yg Seberapa Pantas belum dilanjut. Gara-gara laptopku rusak dan ceritanya ada disana. :(

Hm, gapapa lah ya buat selingan. Daripada nganggur bgt.

So, kalau kalian suka, silahkan vote atau comment kalau ada yang mau dikritik. Thank you~~~~ ^^

22 Mei 15'

Just SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang