Hari demi hari berlalu, waktu dengan cepat berputar. Tanpa disadari, hari itupun tiba. Hari perpisahan, di mana ucapan 'selamat' dan kata 'lulus' menjadi kesenangan semua murid. Namun tidak bagiku, hari ini mungkin akan jadi buruk.
Sekolahku memang berbeda dari sekolah-sekolah lain. Di mana seharusnya kelas XII tidak banyak ikut andil dalam acara perpisahan. Cukup datang, duduk, menyaksikan dan bersorak.
Lain lagi jika sudah berhubungan dengan sekolahku, justru kelas XII lah yang harus banyak ikut andil. Tidak hanya datang, duduk, menyaksikan dan bersorak. Tapi juga ikut berkreasi.
'Kapan lagi. Nanti kan sudah tidak bisa begini lagi.' Itu yang selalu diucapkan oleh guru-guru di sekolahku setiap kami bertanya dan membandingkan dengan sekolah lain.
Aku berdiri di depan kaca besar dekat pintu utama. Melihat sekali lagi pakaian dan penampilanku. Gaun berwarna putih di atas lutut, high heels yang tidak terlalu tinggi dengan warna yang senada dengan gaunku, rambut yang dicepol sesederhana mungkin, dan make up natural.
Aku melirik ke arah pintu utama, melihat beberapa orang sudah memasuki ruangan. Dress code kali ini yaitu hitam putih. Pria diwajibkan memakai jas berwarna hitam dan perempuan memakai dress berwarna putih.
Dengan gugup aku melangkah memasuki ballroom sebuah restoran besar yang selalu dijadikan tempat perpisahan setiap tahunnya oleh sekolahku. Bisa dibilang, sudah langganan.
"Ka maaf, undangannya?" Aku menoleh ke arah kanan. Seorang murid kelas XI, aku cukup mengenalnya. Dia anggota OSIS, siapa yang tidak tahu siapa saja yg ada di OSIS. Nama dan foto mereka terpampang di mading sekolah.
"Ka?" Aku tergagap saat ia mengibaskan tangannya di depan wajahku.
"Ah i-iya. Sebentar." Dengan cepat aku membuka resleting tasku. Sebuah tas pesta berwarna putih.
Setelah aku memberikan undangan berbentuk persegi panjang berwarna silver itu, aku bergegas mencari tempat duduk.
Tempat duduk yang disediakan ditata dan dibuat dua barisan bagi setiap kelas. Kursi yang berada di tengah barisan menjadi pilihanku. Aku melangkahkan kakiku menuju kursi tersebut. Tanpa aku sadari ada orang lain yang ternyata juga mengincar kursi tersebut.
Pertama kali yang aku lihat adalah sebuah sepatu pantopel khas pria, berwarna hitam mengkilat. Aku mendongak, rasanya pandanganku tidak mau berpaling saat mata kami bertemu.
"Fahri." Lirihku.
"Hei Ren. Gue kira kursinya kosong. Tapi kayanya udah ada penghuninya." Dia terkekeh.
"Em, gapapa. Kamu di sini aja. Aku cari kursi lain."
"Gapapa, silahkan duduk." Dia tersenyum, kakinya mulai melangkah menjauh.
Aku memperhatikan Fahri yang kini sudah duduk di dua kursi di belakangku. Aku mendesah pelan, entah apa yang aku rasakan.
"Oke, aku duduk di sini." Ucapku pelan, mungkin lebih tepat seperti berbicara pada diri sendiri.
"Cantik, bengong aja." Entah dari mana dan sejak kapan, Mara kini sudah duduk di kursi yang ada di sampingku.
Aku hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Mara terlihat acuh terhadap jawabanku, mungkin karena dia sudah hapal dengan tabiatku.
Mataku memperhatikan Mara yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ada yang berbeda darinya hari ini. Gaun putih selutut dengan beberapa hiasan di bagian pinggangnya, make up yang-setahuku-sangat asing bagi wajah Mara.
"Aku baru lihat loh, Mara versi cewek." Ledekku. Mara menatapku, dan tertawa.
"Aku kan pengen tampil beda juga, Ren. Kapan lagi kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Silent
RandomIni sebuah cerita klise. Cerita cinta yang aku alami. Di mana semuanya diawali dengan perasaan yang dipendam dan hanya diam. Ya, dalam diam aku mencintainya. Dalam diam aku mengaguminya. Dalam diam aku berdoa untuknya. Bahkan dalam dia aku sakit ka...