Ketika kedua manikku melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kanan, jarum pendeknya sudah terpaku pada angka delapan sementara jarum panjang sedang berusaha mengejar. Lampu jalanan menjadi objek tunggal yang menghibur ketika langit sudah mulai hitam pekat. Pancaran temaram milik rembulanpun tak dapat terlihat akibat gumpalan awan keabuan sedang bertandang.
"Bisa kau kecilkan suhu pendinginnya?" Bibir yang mulai membeku akhirnya berucap kepada salah satu teman yang duduk disampingku.
"Oh, baiklah." Ia menyahut dan dengan senang hati mengecilkan suhu pendinginnya. Kelihatannya ia juga sama kedinginannya denganku. "Kau baik-baik saja?"
Aku hanya menjawabnya dengan senyum tipisku. Karena keadaanku sekarang memang sedang tidak baik-baik saja. Aku kedinginan. Hanya sebatas kaus putih polos yang dilapisi jaket dan celana basket selutut yang membalut tubuhku sekarang.
Sekolahku menyelenggarakan acara yang rutin diadakan setiap tahunnya. Hanya sekedar pergi bersama dengan teman satu angkatan. Kali ini kami berlibur ke sebuah pulau menggunakan bus dan nantinya kita juga akan naik kapal laut untuk mencapai pulau tersebut.
Pada awalnya aku sempat gelisah untuk sekedar memikirkan teman yang akan duduk disampingku nantinya. Pun juga teman satu kamar hotel saat kita menginap. Namun kenyataannya dewi fortuna tengah menyertaiku sekarang.
Walau harus menerima pergi menyegarkan otak dengan sekumpulan laki-laki yang bau keringat dan tidak berhenti mengunyah keripik kentang mereka. Aku masih bersyukur karena bisa duduk berdampingan dengan teman perempuanku. Temanku dari tahun pertama dan kami sangat dekat, sampai sekarang sudah tahun terakhir kami bersekolah.
Di dalam bus ini pula terdapat dirinya. Lelaki bertubuh tegap dan jakung. Ia duduk satu bangku dibelakangku. Walau aku tidak bisa dengan leluasa memperhatikannya, tetapi dengan merasakan kehadirannya saja sudah cukup.
Saat kurasa sebuah jari telunjuk menusuk pipiku, aku tersadar dan meninggalkan lamunanku. "Melamun lagi huh?" Ujarnya kesal yang hanya kusambut dengan kekehan ringan. "Kau tidak lupa membawa selai cokelat bukan?" Ia bertanya lagi dengan penuh selidik.
"Tenanglah selainya sudah kubawakan, aku juga membawa beberapa mangkuk manisan." Sahutku cepat menenangkannya.
"Baguslah kita akan simpan untuk tengah malam nanti." Seketika aku memalingkan kepalaku. Kami bertatapan, lalu tertawa bersama dua detik kemudian.
Saat tepukan tangan terdengar seluruh isi bus seketika tenang, berhenti bicara. "Kita sudah sampai pada perhentian selanjutnya, silahkan makan malam terlebih dahulu setelah itu baru kalian membersihkan badan. Dan dimohon keluar bus dari pintu belakang dengan disiplin. Terimakasih atas perhatiannya."
Sedetik setelah pemimpin tur kami usai memberi pengarahan, seluruh siswa berbondong-bondong keluar dari bus. Semua dari mereka hanya memiliki satu tujuan; mengisi perut sampai kenyang. Namun aku masih bergelut dengan isi tasku, mencari satu buah <em>earphone</em> yang nyatanya terselip ditengah tumpukan baju. Menyumpalkan <em>earphone</em> di kedua telingaku dan mulai mendengarkan lagu dari i-pod.
Selepas itu aku bangkit dari tempatku duduk. Dan menyadari bahwa seisi bus sudah nihil. Berjalan melewati beberapa tempat duduk sebelum mencapai pintu belakang.
Aku terlonjak, jantungku hampir mencelos ketika mendapati seseorang tengah tertidur dengan damai pada salah satu bangku bus. Kepalanya menumpu pada kaca jendela yang basah berembun. Kedua tangannya terlipat rapi didepan dada. Sesekali kepulan asap keluar dari sudut bibirnya menandakan hawa dingin tengah meliputinya. Dia adalah lelaki itu.
"Bodoh." Gumamku dengan suara lirih, tak berharap ada orang yang mendengar.
Aku mendekatkan badanku kearahnya. Melepas jaketku dan perlahan menyampirkan ke tubuhnya. Sudut bibirku tertarik membuat lengkungan sabit manis terlihat dari pantulan kaca jendela.
Keluar dari bus aku menghirup udara segar banyak-banyak. Membiarkan sneakers yang beberapa bulan lalu kubeli menginjak batako basah akibat sisa hujan. Sunggingan senyum belum mau meninggalkan wajahku. Tak lupa mencatat pada otakku untuk mengambil kembali jaket dari tempat dia duduk sebelum yang lain naik ke dalam bus.
-fin-
KAMU SEDANG MEMBACA
Existence
Romance"It's enough for me to be sure that you and I exist at this moment." - Gabriel García Márquez (One Hundred Years of Solitude)