WASIAT BAPAK IBU
Dipertengahan bulan Ramadhan kala itu,, mentari kian tenggelam membiarkan senja memamerkan meganya. Kami sekeluarga melepas penat setelah menghadiri rangkainan acara haflah disebuah masjid dekat pesantren dan dilangsungkan sholat ashar, bahkan rencananya . Silvi sepupuku, anak dari Paman yang juga adik dari Ibuku, ia bangkit dari singgahsananya dengan menunjuk sunset dan memamerkannya.
"Bu De, lihatlah sunsetnya indah sekali, mari semua kita berfoto sekali lagi" begitu katanya pada Ibuku. "Untuk apa lagi" omel Paman. "lihatlah Ayah, Ayah terlihat sangat gemuk di foto tadi" ia berusaha membujuk paman dengan memberikan hasil jepretan tadi siang.
Paman pun penasaran, dia ingin tampil tampan difoto keluarga, "Benarkah?" aku tertawa tipis melihat tingkah keduanya.
"Tidakkah Bu De ingin berfoto dengan sunset seindah ini?" Ia kembali merayu Ibu. "Ayolah Kak" dan berakhir padaku. "Baiklah" ucap ibu, aku menghela nafas setelah terbebas oleh rengekkan nya.
Foto berhasil diambil dalam sekali jepretan dan hasilnya pun memuaskan seperti yang diharapkan Silvi.
"Wah Zidni, sekarang pasti Bapakmu sangat bangga denganmu" Bu Lek membuka suara, aku hanya bisa menjawab dengan do'a semoga Bu Lek benar. Aku menggenggam jemari ibu, dan tersenyum tulus.
Aku pun mendatangi Paman, "Paman bolehkah aku mengajak ibuk mengelilingi pesantren sembari menunggu adzan maghrib berkumandang?". Paman terdiam kemudian menoleh kearahku, menatap mataku dalam seakan memberitahuku tentang masa depan. "Aku ingin ibu melihat dimana aku selama ini mengayomi ilmu, bagaimana aku selama ini menikmati ilmu" lanjutku.
Paman menarik nafas cukup dalam "Baiklah, hati-hati, jangan lama-lama, jangan pula jauh-jauh, lihatlah petang semakin menggelap" Paman pun menyerahkan tasbih padaku untuk Ibu agar tak pernah luput dari kalimah thoyyibah. "Baik paman" dengan pose horamat.
Lalu, aku menghampiri ibu dan bertanya kepadanya bersediakah beliau untuk menempuh jalan-jalan pada sore hari ini. "Jalan-jalan?" koreksi Ibu. "Iya Ibu, kalau istilah anak zaman sekarang 'ngabuburit' Bu". Alis Ibu mengernyit "Tapi, bolehkah pada pamanmu? Bukankah dia itu overprotective?"
Aku tertawa sebentar, sebelum akhirnya meneruskan pembicaraan, ternyata ibuk juga tau bahasa itu.
"aku sudah izin pada Paman, tapi Ibu benar, dia overprotective, beliau menitipkan tasbih untuk Ibu" Ibu tersenyum hangat.
Aku pun mulai mendorong kursi roda Ibu, karena Ibu sudah kesulitan untuk berjalansetidaknya harus ada penyangga untuknya dan kursi roda ini adalah hadiah dari Paman, aku belum bisa memberikan Ibu apa-apa.
"Benar, begitulah Pamanmu" aku merasakan kasih sayang saudara yang begitu besar. "Karena Paman sayang Ibu" Terikatan yang begitu nyata. "Iya" jawab Ibu.
"Tapi ibu, aku teringat perkataan Bu Lek" aku membuka topik baru."Aku jadi penasaran bagaimana sosok Bapak" terusku
"Kenapa kamu penasaran, kamu hanya cukup bercermin maka kamu seperti melihat sosok ayahmu" kata Ibu.
"Bercermin?" Tanyaku.
"Iya, jika kamu bertanya bagaimana sosok ayahmu, kepribadiannya, sikap dan sifatnya, bahkan paras rupawannya, mirip sekali denganmu, Nak"
"Tak adakah sesuatu yang bisa untuk mengenang Bapak?" Pertanyaanku sendiri menghujam nafasku.
"Tidak ada, semua sudah terbakar bersama Bapakmu waktu itu, maafkan Ibu" rasanya pembicaraan petang ini cukup berat.
"Kecuali satu" suara Ibu semakin parau, aku takut ibu akan menangis.
"Kamu dan namamu 'Zidni 'Ilma Annafi' ' putraku" aku bersikeras menahan tangis yang telah berada dipelupuk mata.
"Bapak ingin kamu menjadi orang yang berguna dan memanfaatkan ilmu yang telah kamu dapatkan, jagalah hafalan al-qur'anmu seperti sebuah hadist 'sebaik-baik nya orang adalah yang belajar dan mengajarkannya' Nak" Lanjut Ibu. Rahangku menggeram dan sesekali mendongak berharap angin dan mentari dapat mengeringkan sisa air mataku.
"Nak, mari kita membeli kurma untuk buka puasa, itu sunnah Nabi" Ibu menunjuk toko yanga tak jauh dari nya.
Aku pun berhenti, lantas bersikeras memikirkan cara agar ibuk juga bisa memilih sendiri kurma setelah melihat pintu masuk tokonya yang terlalu sempit untuk kursi roda Ibu.
Tak mungkin aku meninggalkan Ibu.
Aku tak ingin.
"Cepatlah Nak, Ibu tak apa disini sendiri, lingkup pesantren tak ada orang jahat" seakan bisa membaca pikiranku, aku pun memeluk Ibu sebelum masuk ke toko kurma.
"Baiklah Zidni hanya sebentar, Ibuk hati-hati dan tetap waspada ya"
'Kau seperti Pamanmu"
"Kata Ibu tadi aku seperti Bapak" aku berusaha bergurau untuk memecahkan hawa sesak ini. Ibu pun teratawa pelan.Aku pun berjalan dengan sedikit berlari, untungnya toko itu menggunakan kaca untuk bagian depan, jadi aku bisa langsung melihat Ibu.
Setelah memesan kurma, aku menoleh ke arah Ibu, berusaha memastikan keamanan sembari menunggu pesanan kurmaku.
Anehnya Ibu seperti bercakap-cakap dengan seseorang dan sesekali tersenyum padahal tak ada orang didepannya sama sekali.
Aku cemas, ibu tak pernah seperti itu sebelumnya, atau karena bertambahnya usia?
Setelah membayar aku langsung berlari kearah Ibu.
Namun setibanya aku hanya mendengar Ibu membalas salam seraya tersenyum 'wa'alaikum salam'.
"Ibu, baik-baik saja?"
"Tentu, memang Ibu kenapa?" Medengar suara rapuh yang sesekali terbatuk itu seakan melemahkan jiwaku, nafasku memburu, alisku berkerut, aku benar-benar cemas.
"Ayo kembali nak, sudah waktunya" aku meng-liyakan nya dan memutar balik kursi rodanya berharap hanya ada sesuatu yang baik kedepannya, tapi 'sudah waktunya'?.
"Lihat lah nak, senja nya sangat cantik, sudah waktunya" Ibu mengucapkan 'sudah waktunya' lagi, kali ini aku kelewat khawatir.
Aku menggit bibirku berusaha menahan emosi, aku ingin marah meminta Ibu untuk jangan mengulangi kalimat itu lagi, tapi bagaimana aku bisa marah, membayangakannya aku pun tak kuasa.
"Nak, ibuk mengantuk, jikalau tertidur, bangunkanlah jika sudah waktunya".
Lagi, kata itu tersebut untuk yang ketiga kalinya, "Iya, Ibu istirahat saja".Aku menghela nafas cukup panjang, dan berharap khawatirku takkan berbuah petaka, bahkan krikil pun kujauhi deminya.
Tepat setelah tiba, azan mahgrib berkumandang, Paman sekeluarga menyambut kami dengan senyum hangat.
Aku berhenti dan berjongkok di depan ibu untuk membangunkannya, kerut halusnya seakan membuatku ingin menangis, hatiku was-was.
"Ibu, mari berbuka" Ibu tak berkutik sama sekali.
"Ibu, mari bangun" Ibu tak menjawab.
"Ibu" seraya menggenggam tangannya, namun tangan halus nan rapuhnya mendingin.
Jantungku berdegup tak beraturan. Paman menghampiriku, seakan tau sesuatu.
Aku memeriksa nadi ibu dan menangis. Paman menyentuh bahuku, seperti memberi kekuatan.
Bibi dan sekar pun menghampiri, setelah mereka melihatku menangis, mereka langsung tahu, mereka pun ikut menangis.
Senja pun tenggelam.