Prolog

28 2 0
                                    

"Tidak ada dunia yang mengharapkan malam bagiku. Semua terasa sia-sia. Setiap embusan napas itu, terasa seperti menyakitiku, memintaku untuk kembali. 'Menebus dosa', katanya. Akan tetapi, entah dosa apa yang dimaksud."

***
Tiga anak muda berdiri melingkar, menatap masing-masing dari mereka dengan tatapan tidak percaya dan penuh dengan tanda tanya. Malam kian menjulang, menciptakan mimpi buruk yang belum pernah tercipta sebelumnya.

Hanya embusan napas yang terdengar bersama dengan asap yang keluar dari hidung mereka. Dingin terasa menembus kulit, seperti penderitaan akhir yang terus berulang kali terjadi.

"Kalian semua bisa saja berbohong tentang sebelas Oktober, tapi anggaplah aku kelinci bodoh yang mudah diperdaya," ucap salah seorang lelaki, menggosokkan kedua tangannya, berusaha menciptakan kehangatan.

"Aku sudah mati empat puluh lima kali dan hari ini tiba-tiba bangun kembali tanpa mati. Jadi, kau anggap itu hanya bualan?" Seorang gadis menyahut, menatap mata kedua lelaki di hadapannya dengan tatapan tidak suka.

"Ayolah, bahkan kita tidak saling mengenal, tapi terus kembali ke waktu yang sama!" Lelaki berpakaian kasual menimpali, menciptakan tanda tanya besar di hati mereka masing-masing.

"Kita bukan tidak saling mengenal! Kita ada di saat yang sama, saat bus itu menabrak pohon sampai terbakar. Jangan lupakan teriakan mereka pada saat itu!" Andreas—lelaki yang berbicara di awal itu menyahut.

Mata sang gadis langsung membulat, batinnya menerka, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Kecelakaan? Bus? Rasa-rasanya, dia belum pernah mengalami hal itu sebelumnya.

Angin di sekitar mereka langsung berubah kencang. Suhu seolah-olah turun secara drastis, menciptakan dingin yang begitu menyiksa. Pepohonan di sekeliling mereka berguncang hebat, menimbulkan pertanyaan besar di hati mereka.

"Lari! Setidaknya jangan mati di tangan monster itu!" Lelaki berpakaian kasual berteriak, mereka berdua melangkah menjauh, meninggalkan gadis itu dalam kebingungan yang tidak pasti.

"Lari!" Teriakan kencang memperingatinya, buru-buru gadis itu berlari tanpa menoleh. Detak jantungnya begitu terasa, kalut yang pertama kali dia rasakan.

Dia merasa, kematian begitu dekat dengannya saat ini. Begitu dekat, sangat dekat. Walaupun sudah merasakannya berulang kali, tetapi rasa sakitnya masih sama. Luar biasa sakit, apalagi mengetahui monster itu telah berubah jauh dari pertama kali mereka bertemu.

"Lyora!" Saat ini yang ada di pikirannya hanya meneriakkan nama, disusul dengan yang lain, ikut memperkenalkan diri walau enggan.

"David dan Andreas!" Mereka bertiga berlari beriringan, menuju ke arah yang sebaliknya. Suatu fakta telah terungkap, mengakibatkan monster itu kembali mengejar.

Saat ini, mereka sedang menghadapi kepingan puzzle. Puzzle yang mungkin berasal dari masa lalu atau entahlah apa namanya itu.

Mereka berlari ke arah jurang, siap untuk merasakan kematian yang ke sekian kalinya. Sebelum melompat, Lyora menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, menyaksikan sosok berbentuk gumpalan yang diperkirakan tingginya sudah melebihi manusia biasa. Cukup lama dia terdiam, memandangi monster beraroma mint itu diam-diam. Matanya menatap lekat sosok tanpa wujud yang pasti itu, hanya aromanya yang menguar.

Ya, aroma yang begitu memikat itu semakin menjadi-jadi, membuatnya hendak mendekat, menghidu aroma itu lebih dalam lagi. Terbuai oleh aroma mint yang begitu memabukkan, sampai satu tarikan tangan menariknya lebih dahulu, jatuh ke dalam jurang dan meninggalkan jejak angka di sana.

#46.

Sebelas Oktober 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang