Second

6 2 0
                                    

B A B  D U A
Second

Lyora mengerjapkan mata. Terik. Satu kata yang mewakilkan apa yang dirasakannya saat ini. Gadis itu terbangun, menyadari dirinya masih berada di tempat yang sama, saat dia menjatuhkan diri dari lantai enam.

Tergesa, gadis itu meraba wajahnya. "Apa aku sudah berada di dunia nyata? Tapi, kenapa aku tidak mati?" batinnya bertanya-tanya.

Gadis itu menoleh, melihat wajahnya yang terpampang di cermin sebuah toko.

"Tidak ada yang berubah. Mustahil. Bukankah seharusnya aku sudah menjadi ayam geprek jika terjatuh dari lantai enam?"

Syok. Feelingnya benar. Ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang berubah. Anehnya, dia menyadari, semakin banyak detail kecil yang berubah. Rumah tetangganya—Frans—cat rumahnya yang semula berwarna biru sudah berubah menjadi warna putih.

Gadis itu perlahan bangkit, menyadari darahnya perlahan memudar setelah bangkit dari sana, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ya, sesuatu. Bahwa seorang gadis menjatuhkan diri sendiri dari lantai enam hanya karena takut melihat wajah orang tuanya.

Gadis itu melangkah perlahan. Saat mengangkat kedua tangan, dia baru menyadari bahwa pakaiannya berubah. Setelah mati puluhan kali, baru kali ini pakaiannya dapat berubah.

Gadis itu menyeka keringatnya. Dingin begitu menusuk. Dia berhenti di perempatan jalan, melihat petunjuk jalan dan bergumam, "New Opportunity?"

Gadis itu menyingkirkan gundahnya. Dia terkejut menyadari banyak hal yang berubah di sana, seolah-olah menyambutnya untuk kembali mengenal tentang dirinya juga sekitar.

Langkah kakinya terhenti di sebuah toko. Dia mengembuskan napas dengan mata yang memicing, mencoba melihat ke arah toko dengan lebih jelas.

Ajaib! Satu kata yang kembali mewakilkan hatinya ketika melihat secarik kertas terbang melayang di dekat sana dengan cahaya berwarna biru yang mengelilinginya.

"Ke mana saja aku? Apa di seluruh dunia ini juga tersebar kertas-kertas begini?" katanya sambil melangkah mendekat, menghampiri secarik kertas dan berada dalam lingkaran biru yang mengelilinginya.

Perasaan baru serasa mengisi lubuk hatinya. Singkirkan jauh-jauh mengenai time loop yang menyebalkan. Seolah-olah sedang bermain game, beberapa layar muncul di hadapannya.

"Sering kali manusia dihadapkan pada dua pilihan antara memilih maju atau diam di tempat setelah semua perjuangan yang telah dilaluinya. Keputusan tetap ada di tangannya."

Usai membaca kalimat itu, Lyora melangkah mundur satu langkah sebelum sebuah pena muncul secara tiba-tiba entah dari mana.

Lyora mengambilnya, menatap pena di tangannya lekat dan mulai menggarisbawahi tiga kata. "Diam di tempat." Entah apa yang ada di kepalanya sampai memakai pena itu untuk menggarisbawahi. Secara tiba-tiba, seolah-olah pikirannya tahu harus berbuat apa.

Usai menggarisbawahi, lingkaran itu perlahan memudar, menjatuhkan secarik kertas yang sebelumnya mengudara bebas.

Lyora mengambil kertas itu dan mengamatinya lebih jauh. Ajaib! Perlahan tulisan di secarik kertas itu memudar, berganti dengan gambar tiga orang yang sedang berbincang di sebuah halte bus. Lyora membalikkan kertas itu, menyadari namanya tertulis di sana.

-Lyora.

Belum hilang rasa terkejutnya, tepat di tempatnya berdiri diam, tubuhnya tiba-tiba jatuh, serasa ditarik masuk ke dalam bumi, menyisakan dirinya yang sesak napas sebelum kemudian benar-benar tidak sadarkan diri.

Kertas yang ada di genggamannya berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang mengudara, sebelum pada akhirnya, entah bagaimana kembali menjadi utuh dan berada di tempat yang sama.

Secercah cahaya kuning mengelilingi kertas yang semula dikelilingi cahaya berwarna biru. Tubuh Lyora perlahan memudar begitu juga dengan timbunan tanah yang menguburnya.

***

Seorang gadis kembali terbangun dengan napas yang terengah-engah. Dia menatap sekeliling setelah menghirup napas sebanyak-banyaknya, seolah-olah oksigen di sekelilingnya akan habis dalam sekejap.

Gadis itu melihat badan, pakaiannya kembali berubah seperti sedia kala. Gadis itu mengaduh, merasakan kematian dengan cara yang berbeda. Setelah sekian lama selalu mati dengan cara dicabik atau dimakan hidup-hidup, kali ini dia merasakan rasanya mati tertimbun tanah dan kehabisan napas.

Gadis itu bangkit dari ranjangnya. Jam selalu saja menunjukkan pukul yang sama setiap kali dia terbangun. Rasa-rasanya, dia rindu bangun di siang hari ataupun menjelang sore.

Tidak mendengar ketukan di pintu seperti biasanya, dia melangkah keluar, menyadari rumah yang begitu sepi tanpa kehadiran mamanya. Buru-buru, dia mengecek tanggalan.

"Masih sama, sebelas Oktober," batinnya berkata sebelum mengambil sepotong roti yang terletak di meja makan. Anehnya, roti di tangannya berisi daging, tidak lagi selai kacang favoritnya yang biasa dimakannya setiap bersiap menghadapi "kematian".

Matanya mengedar ke sekeliling. "Apa mereka mati lagi hari ini? Terasa banyak sekali perubahannya." Gadis itu berkata pelan tatkala melihat lemari yang berisi pajangan foto berubah isinya, termasuk sang adik lelaki yang berubah menjadi anak perempuan.

Gadis itu merogoh kantong, sedikit tersedak karena melihat foto sang mama berada di kantongnya. "Bodoh!"

Gadis itu memaki dirinya sendiri, mengetahui sebab sang mama tidak mengetuk pintunya ialah, dia menghilang. Gadis itu tergelak, menyadari sosok yang memasak di dapur tidak lain adik lelakinya yang menjelma menjadi anak perempuan.

Tepat di suapan terakhir, seperti dimasukkan oleh buku kenangan, otaknya mencerna dengan begitu cepat. Memori yang benar-benar membuatnya gamang antara ada dan tiada.

Mata gadis itu berkedip, menyadari ada sosok yang memegang pisau tengah menghampiri sosok di dapur. Gadis itu berjalan mendekat. Tidak, opininya salah, adik lelakinya masih ada di sana, melihat ibu mereka ditusuk menggunakan pisau dengan begitu sadis disusul dengan bunyi tembakan sebanyak tiga kali.

Gadis itu kian berjalan mendekat, melihat tubuh berlumuran darah dengan begitu syok. Dia pernah melihatnya sebelum ini. Pernah, bahkan kejadian ini terasa begitu nyata!

Gadis itu tidak menangis. Tidak, air matanya tidak ingin keluar dari tempatnya. Dia tertahan, seperti bulir bening yang tidak mampu keluar untuk dipaksakan ke sekian kalinya.

Saat berjalan mundur karena keterkejutan luar biasa yang dialaminya, gadis itu tidak sengaja menabrak seseorang, yang bahkan tidak melihat dirinya sama sekali. Dia merasa seperti roh yang baru saja melihat kilas balik kehidupan.

Sosoknya tengah berdiri di sana. Sang pembawa pisau melihat sosok di depannya hanya memandang remeh, sebelum kemudian menodongkan pistol, bersiap menembak dan kabur secara perlahan.

Sosok gadis itu hanya bisa terjatuh tanpa suara, dilihatnya sang adik yang meringkuk ketakutan dengan darah yang bersimbah menutupi tubuhnya. Gadis itu menghampiri sang mama sebelum kemudian menumpahkan air matanya begitu deras.

Sesak, itulah yang dirasakannya. Dia merengkuh tubuh wanita yang tidak lagi bernyawa itu, melumuri wajahnya sendiri dengan darah wanita yang sudah melahirkannya. Mencumbu telapak tangannya sambil menatap sang adik, lalu tersenyum.

"Maafkan Kakak," katanya, lalu mengambil pisau yang tergeletak di sana dan menusuk tubuhnya sendiri, berulang kali.

Tidak menghiraukan teriakan sang adik yang menggema, berulang kali gadis itu menusuk dirinya sendiri, terus menerus sampai dia tergeletak bersimbah darah di sana.

Sebelas Oktober 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang