PROLOG.

19 4 7
                                    

Aku mengayuh langkah sedikit lebih cepat ditengah hujan salju yang turun dengan lebat. Ini pertengahan bulan November; ketika salju akan berguguran hingga pada Desember saat Natal.

Ku perbaiki letak kaca mata dan syal tebal untuk menutupi sebagian wajahku, tak lupa topi hitam yang membuat rupaku semakin tak terlihat dan dikenali, tentu saja. Hari itu hampir menjelang sore, kami sengaja memilih waktu itu agar suasana tak terlalu ramai, berharap tak satupun orang akan mengenaliku saat kita bertemu.

Walau saat ini orang yang ingin aku temui bukan wanita, tapi sahabat lamaku sejak kecil, yang sudah seperti saudara. Tetap saja aku tidak nyaman untuk mengekspose diri didepan umum. Dengan identitas selebriti.

Aku mengetuk pintu kaca mobil sebelum masuk kedalam cafe klasik yang selalu kami kunjungi saat masa SMA hingga saat ini cafe ini masih menjadi tempat favorit kami untuk bertemu. “Kak, tunggu 30 menit gak papa 'kan?”

Wanita muda didalam mobil itu mendengus. “Vante itu kelamaan. Kamu mau bikin aku membeku disini?”

Dia adalah manajerku kak Stella. Aku tersenyum manis untuk sedikit membujuknya agar menambah waktu setidaknya 20 menit untuk bertemu Saul. Dilihat dari chatnya padaku semalam, lalu akhirnya meminta bertemu aku yakin; kami akan membahas banyak hal.

Dan itu termasuk kehidupan pribadinya.

“Kak, nanti aku belikan espresso dengan whipcream susu—ya...”

Kak Stella berdecak sekali lagi. Walau dia sedikit cerewet, tapi sebenarnya sangat baik. “Selalu aja. Tambahkan Roti telur yang hangat, dan sedikit mayonaise.”

Aku tersenyum menyambut responnya seperti biasa. “Siappp!”

Setelah melakukan beberapa penawaran dengan kak Stella, aku berjalan santai meninggalkan area parkir dan masuk kedai yang masih sepi. Sesekali celingukan mencari keberadaan Saul, dan ternyata dia sedang duduk dipojok dengan spot pemandangan luar, dimana salju sedang berguguran. Sepertinya Saul sengaja memilih duduk disana. Ku panggil dia, “Saull!”

Saul tidak menoleh, malah dengan tenang menopang dagunya dengan satu tangan dan terlihat melamun. Saat aku memanggil, dia bahkan tidak repot menyahut. Aku mampir dimeja resepsionis. “Pesan machiato dengan sedikit tambahan espresso. Juga bungkus satu roti telur dengan sedikit mayonaise dan espresso dengan whipcream susu, tolong antar ke temanku. Dia menunggu di mobil didepan sana.”

“Mobil Audi itu ya?”

“Iya.”

Setelah selesai memesan, aku melihat lagi kearah Saul, dia masih diam. Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan?

Tak ambil pusing. Aku datang menghampirinya, lalu menepuk pundak Saul dari depan. Dia terlonjak, saat bahunya sedikit terangkat dan terjungkat kebelakang.

“Eh, Van. Lo udah datang?” Saul tersenyum tipis.

“Lo, mikirin apa?” Aku tarik kursi kebelakang lalu duduk didepannya.

“Nggak. Nggak mikirin apa-apa.”

“Arumi?” Tanpa sadar sebelah alisku menukik keatas.

Saul menghela napas, lalu menarik pundaknya mundur bersandar pada tungku sofa. Sudut bibirnya sedikit terangkat. “Kayaknya gak ada yang perlu gue sembunyiin, karena lo udah bisa nebak.”

“Jadi gimana? Apa masalahnya?”

Saul terlihat berpikir keras sembari menyeruput latte dingin dari sedotan. Alisku sedikit berkerut melihatnya meminum latte dingin di cuaca yang bersalju.

Namun aku hanya diam, tidak ingin bertanya sebelum dia bercerita sendiri apa yang sedang terjadi. Kami bersahabat cukup lama, dan aku tau seperti apa tempramen Saul. Melihatnya diam dengan pribadinya yang ceria, itu merupakan pemandangan yang aneh, sekaligus mengkhawatirkan.

Love Affair Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang