PROLOG

17 4 5
                                    


Satu hari setelah aku dinyatakan meninggal, aku bisa melihat bagaimana orang-orang mulai berduka dan menangisi kepergianku. Kematian, adalah sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku selalu memikirkan bagaimana masa depan terbentuk di depan mata, dengan senyuman dan ruang-ruang bahagia yang diciptakan bersama orang-orang yang aku cintai. Tapi pada kenyataannya, kehidupan adalah sesuatu yang semu. Jiwaku tak lagi menetap pada raga yang dibanggakan itu. Tak ada artinya suara yang bergema, tak ada artinya tubuh yang berdiri tegap di hadapan teman-teman mahasiswa, kala diriku berorasi dengan lantangnya. Jas almamater yang aku banggakan hanya berakhir menjadi kain lusuh yang terinjak-injak di jalanan. Sepatu yang dibelikan ayah di hari ulangtahunku, ikut terbakar bersama ban mobil hingga asap hitam membubung tak karuan, memadati ibu kota yang tak pernah damai.

Pada akhirnya, kalimat 'Hidup Mahasiswa!', hanya menjadi semarak yang memadati gendang telinga sebelum kematianku datang.

Dulu, aku selalu melihat bagaimana kumbang bisa terdiam di sudut jendela tanpa suara. Ia seolah memperhatikan kehidupan yang bergerak, orang-orang lalu lalang di luar sana. Pun aktivitas mereka di dalam ruangan. Kini, aku menyadari; bagaimana rasanya menjadi kumbang kecil yang hinggap di sudut jendela. Aku bisa melihat bagaimana ayah dan ibuku berduka. Bagaimana keluargaku larut dalam tangisan, menangisi jasad kaku yang hilang semalaman dan ditemukan dengan kondisi mengenaskan. Bagaimana Embun menjerit hingga tak sadarkan diri, menyadari kekasihnya telah berpulang tanpa mengucapkan apapun.

Pada hari ketiga setelah aku dimakamkan. Aku mendengar ayah berbicara sembari memandangi foto yang terpajang di ruang tamu. Di dalam foto itu, ada diriku yang dengan gagahnya berdiri di tengah gedung universitas yang aku banggakan. Butuh perjuangan untuk menjadi mahasiswa di tempat itu. Tapi, aku mati lebih cepat daripada kelulusanku. Tidak ada gelar apapun yang tersemat di batu nisan milikku.

"Ayah sempat merasa takut apabila Ayah gagal dalam mendidikmu. Tapi di sisi lain Ayah bangga, bahwa ada mimpi yang ingin Abang raih. Bahwa jagoan kecil yang dulu menangis saat jatuh dari sepeda kini sudah menjadi orang yang memperjuangkan hak dan keadilan bagi orang lain."

Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan ayah. Kilas balik tiba-tiba saja hadir begitu saja, mengantarkan ratusan ingatan yang berhamburan, menjadi ledakan tak terduga yang terus menerus hadir di dalam kepala. Pasti ada banyak kata seharusnya dan seandainya yang ingin ayah katakan. Sama seperti ibu, yang hanya mengucapkan terima kasih sejak jasadku mulai dikuburkan.

"Nak, terima kasih karena sudah lahir dari rahim ibu. Terima kasih sudah menjadi anak ibu. Tapi sebelum itu, Ibu sangat bahagia karena pernah memelukmu, mendekapmu begitu hangat sebelum kamu kembali pada keabadian. Pada rengkuhan sang Ilahi."

Dan Embun kekasihku, aku bisa melihat bagaimana dirinya menangis dan mengatakan, "Alka, apa pelukanku kurang hangat sehingga kamu lebih memilih kembali ke pelukan-Nya?"

Embun, asal kau tahu sampai akhir hayatku pun aku masih bisa merasakan jantungku berdebar untukmu. Ada banyak perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan, bahkan di saat-saat terakhir kita bersama aku tidak sempat memberikanmu pelukan terbaikku. Embun, maafkan aku yang tidak mendengarkan permintaanmu saat memintaku untuk tidak mengikuti aksi.

Aku dan Embun kini telah menjadi kenangan, seperti lelehan salju di atas ranting bunga saat musim semi tiba, dan guguran daun saat musim dingin menyapa. Aku percaya, ada jarak dari setiap detak yang menggertak. Ada satu pustaka yang terbagi dua halaman di atas jejak-jejak ikatan yang retak. Aku masih mencintainya meski tidak lagi berada di dalam kisah dan buku yang sama.

Dia adalah pemeran utama dalam cerita, sementara aku adalah tokoh yang mati di tengah cerita.

Mereka yang masih hidup akan menjalankan kehidupannya, mereka yang berduka hanya mampu mengingat kenangan-kenangan singkat yang pada akhirnya akan mengabur seiring berjalannya waktu. Sementara aku, hanya menjadi kumbang kecil di jendela yang memperhatikan mereka terus hidup dengan kisahnya masing-masing.

Aku menyadari, bahwa segala sesuatu bukanlah hanya tentang terang dan petang, gelap dan lelap, atau bising dan nyaring. Ini tentang kehidupan dan kematian, sejajar dengan gaibnya kenyataan dan ketiadaan.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumbang di Sudut JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang