"Kau sudah yakin dengan pilihanmu?" Tanya Ayah
"Apalagi yang harus aku katakan agar Ayah bisa mengerti?"
"Ayah tidak akan pernah bisa mengerti selama kau tak mau mengerti apa yang Ayah inginkan"
"Ayah egois"
"Bisa kah kau memilih antara Ayah atau dia?" Tanya Ayah dengan mata berkaca-kaca.
Baru kali ini aku melihat Ayah begitu sedih hingga meneteskan airmata. Aku terdiam duduk dihadapan Ayah. Semua kata yang sudah rapi berjejer di pikiranku tersapu waktu. Aku melihat Ayah yang sedang melihatku dan dada ku terasa hangat. Sungguh, ini lebih dari apa yang pernah aku sebut cinta.
"Ayah mau aku berhubungan dengan lelaki yang seperti apa?"
"Ayah hanya ingin kamu bersama dengan laki-laki yang bisa menuntunmu ke surga"
"Yah..."
"Tidak bisa kah kau berhubungan dengan lelaki yang seiman?" Ayah menunduk..
Aku diam. Pikiranku membentuk wajahnya, Rio. Lelaki yang sangat aku sayang. Dia adalah temanku semasa kuliah. Kami menjalin hubungan sejak semester pertama hingga sekarang kami di semester akhir. Sejak awal kami tahu resiko besar yang akan kami hadapi ketika memutuskan untuk menjadi satu. Kami tahu kedua keluarga akan menolak tapi perasaan yang menggebu juga tak mau mengalah.
Aku berdiri dan masuk ke kamar meninggalkan Ayah di ruang tamu sendirian. Aku duduk di tepi kasur dan kilasan kenangan mulai muncul menghantuiku. Bagaimana Ayah berjuang membesarkanku sendirian sedari aku kecil, bagaimana Ayah memberiku kebebasan untuk memilih jalan hidupku, bagaimana Ayah mendukung setiap pilihan yang kulakukan dalam hidupku.
Kriiingg... Kriiingg...
Suara telepon masuk di hapeku membuatku terperanjat. Ku lihat layar hapeku, Rio. Ah, aku tidak sedang dalam kondisi yang bagus untuk mengobrol dengannya namun dering telepon tak henti bersuara. Ku putuskan untuk mengangkat. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan padanya.
"Halo? apa ini teman pemilik handphone ini?"
Deg. Suara bapak-bapak ini membuatku takut. Takut akan hal yang ada di pikiran ku menjadi nyata.
"Benar, bapak siapa?"
"Maaf mbak, temannya mengalami kecelakaan. Sekarang berada di Rumah Sakit S."
Tanpa menutup telepon aku berlari ke ruang tamu dengan bercucuran air mata.
"Ayaaah!!! Rio kecelakaan!!!! A...yaah.. An...antar aku..."
Ayah berdiri dan meraih tubuhku. Aku begitu lemas, sampai menyanggah diri ku sendiri pun terasa sangat berat.
Saat bangun, aku berada di samping Ayah di mobil. Aku berada di ambang sadar...
"Ayah, apa ini mimpi?"
"Minumlah dulu sayang" Ayah memberiku sebotol minuman yang ada diantara kami.
"Kita menuju Rumah Sakit S"
"Rumah Sakit S?" Aku terdiam sejenak.
"Rumah sakit S???" Aku mengulangi perkataanku.
"Tenanglah..."
"Rio !! Ayah, Rio !!!!
"Kita belum bisa memastikan keadaannya, makanya kita harus kesana" ucap Ayah.
Mobil berhenti, kami sedang menunggu lampu hijau di perempatan. Aku terdiam, pikiranku penuh dengan gambar-gambar terburuk dengan apa yang terjadi kepada Rio.
"Rio, aku sayang kamu... Kamu jangan tinggalin aku. Jangan seperti ini cara kita berpisah." Batin ku
BRAAAKKKK...
Sesuatu menabrak mobil kami dari belakang hingga mobilku maju ke depan menabrak truk. Sepertinya ini kecelakaan beruntun. Badanku terasa semakin lemas dan aku mengantuk. Semakin lama semakin mengantuk. Samar-samar aku mendengar suara jeritan, permintaan tolong, dan tangisan. Ah, aku tidak bisa lagi menahan rasa kantuk ini. Mungkin aku harus tidur, dan terbangun di saat senja. Aku ingin menoleh ke arah Ayah tapi tak bisa... Ku coba sekuat tenaga untuk berbicara.
"A... Ay... Ay...ah..."
Ada sesuatu yang keluar dari mulutku membasahi pipi dan dagu ku. Terasa hangat dan basah. Aku menutup mata ku. Mimpi ini terasa begitu nyata. Tuhan, terima kasih. Kau tunjukkan jalanku. Bahkan di dalam tidurku, hanya Ayah yang ada di sampingku.