Tujuh✨

4 0 0
                                    

Bel pulang sudah berbunyi dengan nyaring, satu hari ful seluruh siswa/siswi SMA Merpati Putih tidak ada kegiatan belajar mengajar. Saat yang lain berlomba-lomba ke parkiran untuk segera pulang beda halnya dengan dua remaja yang kini duduk di gazebo sambil menatap jengah para pasukan paskibraka yang tidak lelah berlatih sejak tadi.

"Ya, pergi bilangin gih ke Adi buruan capek gue nunggu," keluh Una yang mulai cemberut. Adi memang keterlaluan sejak pagi para anggotanya di suruh berlatih dan hanya istirahat saat jam solat dan makan saja.

"Lo aja yang ngomong sana, gue gak mau di lempar ama tuh kayu," jawab Arya yang menatap mengeri kayu yang ada di tangan Adi.

Adi Prastyo Nugroho adalah orang yang sangat tegas jika sudah latihan, salah sedikit maka kayu yang ada di tangannya di pastikan akan menghantam betis. Itulah mengapa Una dan Arya tidak akan mau masuk mejadi anggota paskibraka walaupun telah dekat dengan sang ketua. Adi itu menegur menggunakan tangan bukan mulut.

"Ck, kasian gue liat mereka semua," ucap Una lagi. Dirinya juga anak organisasi hanya saja jika di jemur sejak pagi hingga sekarang jam sudah menunjukan pukul 14:30, maka di pastikan dirinya akan tumbang.

"Salah sendiri sih menurut gue, siapa suruh masuk padahal udah tau kalau ketuanya tuh galak," jawab Arya yang masih memandangi segerombolan siswa/siswi yang masih setia berdiri di tengah lapangan.

Hening, keduanya diam dan hanya memandangi sahabat mereka yang paling irit bicara sedari tadi menghantam satu persatu betis anggotanya, sungguh malang nasib mereka hingga tiba-tiba Una berteriak.

"ADI!" teriak Una dengan lantang hingga membuat beberapa orang menoleh ke arahnya begitupun dengan cowok yang berseragam olaragah dengan kayu di tangannya tersebut.

Adi menatap ke arah gadis yang memanggilnya lalu mengangkat satu alisnya, sebagai tanda 'kenapa?'

"Buruan gue lapar," ucap Una lagi yang sedikit meninggikan suaranya karena jarak gazebo dan lapangan cukup jauh.

Sedangkan Adi hanya mengangguk mengiyakan setelah itu kembali fokus pada anggotanya. Ia rasa sudah cukup latihan yang melelahkan hari ini, di saat semua sedang bersorak gembira karena tidak belajar seharian maka beda halnya dengan anggota paskibraka. Adi segera menutup latihan dengan doa dan membubarkan barisan setelah itu melangkah ke arah gazebo yang di mana ada kedua sahabatnya.

"Lama banget sih lo Di, katanya biar gak pulang sore. Ini udah sore," omel Una yang cemberut.

Adi hanya diam tidak berniat menjawab.

"Lo terlalu banget tau gak sih Di, masa lo mukul pake kayu gitu kalah-kalah latihan militer lo," tambah Una lagi, "Gimana kalau dari mereka ada yang biru betisnya, lo mau tanggung jawab apa?"

Adi menghela nafas pelan lalu menjawab, "Itu konsekuensinya."

"Serah lo deh, yaudah ayo balik. Gue lapar," ucap Una yang langsung bangkit dan meraih tasnya.

Ketiga remaja tersebut kini melangkah beriringan menuju parkiran mobil karena Arya dan Una sama-sama tidak membawa kendaraan maka dari itu mereka menunggu Adi untuk nebeng di mobil sang kulkas berjalan tersebut.

***

Sesuai kesepakatan Adi membelikan lima batang coklat untuk Una tetapi bukan hanya itu, Adi datang dengan berbagai macam bahan makanan. Ketiga remaja tersebut memang memutuskan untuk berkumpul di rumah Una kali ini karena malam nanti ketiganya akan menonton konser.

"Ceritanya lo nyogok gue pake coklat lima batang buat jadi babu lo lagi?" tanya Una yang kini menatap Adi dengan tatapan mematikan.

"Bukan babu, lo cukup masak," koreksi Adi dengan santai yang meletakan kantong plastik besar berisi bahan makanan itu di dekat kaki Una yang sedang duduk di sofa.

"Apa bedanya sih Di, sama aja." Una memutar bola matanya malas, entah kenapa tapi hari ini Adi sungguh menyebalkan di matanya.

"Gue lapar Una," jawab Adi yang langsung duduk di samping Una, "Nanti gue tambah coklat lo."

Una lagi-lagi memutar bola matanya malas, bukan kali pertama Adi meminta ia untuk memasak padahal masakannya tidak begitu enak hanya standar tetapi Adi sangat senang menyuruhnya melakukan pekerjaan dapur tersebut.

"Pesan aja elah Di," timpa Arya yang duduk di karpet sambil asik menonton kartun kesayangannya si spons kuning.

"Nah benar tuh kata Arya, kalau lo lapar mending kita pesan di. Dari pada gue masak lama," setujuh Una.

"Gue bantu biar cepat," kekeh Adi yang tidak ingin kalah.

Una menghela nafas pelan, selain kulkas berjalan seorang Adi juga batu. Jika ia mengatakan A maka A tidak bisa di ganggu gugat dengan mudah.

"Oky gue masakin, tapi lo berdua bantuin gue gak mau masak sendiri," ucap Una mengalah, toh percuma juga berdebat dengan Adi.

"Kok gue keseret juga?" tanya Arya yang kini menoleh ke arah Una dan Adi.

"Emang lo gak mau makan? Mau kan, yaudah bantuin gue," jawab Una dengan nada sedikit ngegas.

Ketiga remaja tersebut tersebut kini berakhir di dapur besar rumah Una, untungnya mama Una tidak berada di rumah jadi mereka bebas untuk mengobrak-abrik dapur tersebut. Setelah berunding sedikit, mereka memutuskan untuk membuat nasi goreng dan ayam goreng.

Una membagi tugas untuk kedua sahabatnya, Arya mengupas bawang dan menyiapkan bahan-bahan sedangkan Adi membantunya menggoreng ayam.

"Oh iya Na, mama Rati kapan pulang?" tanya Arya yang kini duduk di meja pantry sambil mengupas bawang, walaupun Arya itu pemalas tetapi ia cukup pandai jika hanya untuk mengupas bawang karena sering membantu Tiara.

"Gak tau, tapi katanya sih minggu depan," jawab Una yang sibuk membuat adonan ayam.

"Ini di mana?" tanya Adi yang baru saja selesai menyendok nasi dari rice cooker.

"Taro di situ aja dulu Di, terus ambil bumbu di kulkas," jawab Una mengarahkan hingga tiba-tiba ikat rambut Una terlepas begitu saja dan membuat rambut sepinggang gadis itu terurai.

"Ck, ngerepotin banget sih nih rambut," keluh Una yang mulai kesusahan karena rambutnya.

"Arya tolongin gue," ucap Una memanggil.

Cowok yang masih sibuk dengan pisau dan bawang tersebut menoleh, "Kenapa Na?"

"Sini buruan," panggil Una yang membuat Arya segera bangkit dan langsung melangkah mendekat ke arah gadis tersebut.

"Ambil ikat rambut gue tuh," ucap Una yang melirik ke arah ikat rambut berwarna hitam yang tergeletak di lantai dan Arya kembali hanya menurut saja.

"Nih," ucap Arya ingin memberikannya kepada Una.

"Lo gak liat tangan gue penuh tepung. Ikat rambut gue, Ya."

"Gue gak pintar ngikat rambut Na," tolak Arya.

"Udah ikat aja sesuka lo, buruan ikat." Una memaksa karena jika ia harus mencuci tangan dan mengikat sendiri itu terlalu merepotkan. Akhirnya Arya mulai mengingat rambut panjang Una dengan asal.

"Oky selesai," gumam Arya yang melihat rambut Una kini telah terikat dengan baik menurutnya.

25/Februari/2023
Dunia Fiksi🙈









Adi, Una dan Arya (Komplotan Pejuang Nilai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang