Tap..... Tap.... Tap....
Suara langkah kaki terdengar, jantung Attasia berdebar kencang menahan rasa takutnya. Ia meringkuk di dalam lemari pakaiannya sembari berdoa di dalam hati.
Di luar, ibu tirinya yang bernama Laras tengah mencari keberadaannya bersama Dion, adik tirinya.
Air matanya sudah bercucuran deras, Attasia sangat ketakutan dan juga kebingungan. Bagaimana cara agar ia bisa kabur dari rumah ini sebelum ibu tirinya itu membunuhnya?
Dengan tangannya yang gemetaran, Attasia menyalakan ponselnya dan menelepon nomor darurat. Ia akan meminta bantuan agar ada yang bisa menyelamatkannya.
Drttttt.......
"Halo, dengan 112 disini, apa keadaan daruratmu?"
Attasia mendekatkan mulutnya ke speaker ponselnya.
"Tolong aku. Mereka akan membunuhku. Aku berada di dalam lemari di kamarku. Jl. Xxx no. 09A, rumah dua lantai warna putih. Aku mohon cepatlah, mereka benar-benar akan membunuhku!!" ucap Attasia berbisik.
"Baiklah, saya mohon jangan tutup telfonnya, tetap sambungkan panggilan! Sebutkan nama dan umurmu! Saya sudah meminta pasukan kepolisian agar segera ke rumahmu." ucap seseorang di panggilan telepon.
Attasia membekap mulutnya, ia berusaha agar suara isak tangisnya tidak terdengar keras.
Drapp..... Drappp.....
Sekarang, suara langkah kaki itu terdengar sangat keras. Attasia merasa sepertinya Laras dan Dion hampir mendekati kamarnya.
Jantung Attasia berdebar semakin kencang. Tubuh Attasia sudah bergetar hebat. Ia sudah tidak bisa lagi menahan isak tangisnya.
"Hikss..., aku mohon cepatlah. Mereka sudah menemukanku. Hikss, aku, aku tidak ingin mati."
"Siapa yang ingin membunuhmu? Berapa orang pelakunya? Apakah kamarmu berada di lantai dua?"
"Hikss, mereka ibu dan adik tiriku. Kamarku di lantai dua," ucap Attasia sebisa mungkin memelankan suaranya.
"Baik. Apa kamu bisa keluar dari kamarmu? Bagaimana jika melewati jendela? Pasukan kepolisian akan segera sampai!"
"A-apa? Hikss aku tidak yakin bisa melompat lewat jendela."
"Berusahalah! Ini satu-satunya cara agar kamu bisa tetap hidup!" ucap orang tersebut menyemangati.
Dengan ragu Attasia membuka lemari tempatnya bersembunyi. Ia melihat sekeliling kamarnya, kemudian melangkah keluar. Attasia membuka jendela kamarnya dan menatap ke bawah. Cukup tinggi untuknya melompat, dan tidak ada tempat pendaratan yang aman untuknya.
Attasia memutar otak, lalu ia segera mengambil beberapa selimut kemudian mengikatnya hingga bisa untuknya jadikan pegangan untuk turun.
Brakkk....
Pintu kamarnya didobrak paksa dari luar. Terlihat Laras menyeringai menatapnya. Di belakangnya ada Dion yang sedang memegang sebuah pistol dan juga secangkir air yang entah apa isinya.
"Sia, kenapa kamu ketakutan? Mari, kita duduk sembari berbincang. Ibu membawakan minuman untukmu. Hmm, Dion, apa yang ibu campurkan ke dalam minuman ini tadi?"
Dion tersenyum lebar. Lelaki yang berjarak usia satu tahun dari Attasia itu memaksanya agar duduk di atas kasur bersama Laras.
"Teh manis, dengan campuran arsenik dan juga sianida dengan dosis tinggi ibu," jawab Dion bersemangat.
Attasia tidak menghiraukan air matanya yang sudah mengalir deras. Bahkan baju yang dikenakannya sudah basah oleh keringat dan air mata.
"Sia mohon, ibu. Jangan bunuh Sia. Sia janji akan tutup mulut."
Perlahan senyuman di wajah Laras mulai memudar. Keningnya berkerut dan ia mulai menunjukkan ekspresi marah dan geram.
"APA MAKSUDMU, HUH? AKU TIDAK MEMBUNUH AYAHMU YANG BODOH ITU!" bentaknya.
"Sia, anakku yang cantik. Aku hanya mencoba membuat ayahmu tidak menderita akibat penyakitnya itu. Bukankah seharusnya kamu berterimakasih kepadaku? Aku membuat ayahmu bisa beristirahat dengan tenang di atas sana," sambung Laras dengan suara yang lembut.
Attasia menggeleng kuat.
"Kakak, aku akan memberimu dua pilihan. Apa kamu ingin mati dengan meminum teh ini? Atau aku membantumu dengan menembak kepalamu itu?" ujar Dion mengelus pistol ditangannya.
Cangkir teh beralih ke tangan Laras. Ia mengarahkan cangkir teh tersebut ke mulut Attasia, bersamaan dengan itu Dion menodongkan pistol digenggamannya tepat ke kepala Attasia.
"Waktumu hanya sepuluh detik Sia!" sahut Dion. Raut wajahnya terlihat sangat bahagia, seakan-akan hal yang diperbuatnya hari ini adalah hal yang menyenangkan.
"Serahkan semua hak waris dari ayahmu, atau kamu akan mati ditangan kami!"
"PERSIS SEPERTI AYAHMU," lanjut Laras memberikan penekanan di akhir kalimatnya.
Namun Attasia tetap diam membisu. Ia sudah tidak peduli seberapa lama ia menangis, atau bahkan sesakit apa batin dan fisiknya. Attasia hanya berharap Tuhan berbaik hati kepadanya dan bantuan segera datang.
Namun, tanpa sadar ia sudah meminum teh beracun tersebut. Nalurinya untuk bertahan hidup tergoyahkan akibat rasa putus asanya yang kian menguat.
Dalam hitungan detik, tenggorokan Attasia terasa memanas. Jantungnya memompa dengan cepat, dan nafasnya tercekat. Mulutnya mengeluarkan busa, disusul dengan darah yang ikut keluar.
Suara letusan dari pistol yang ditembakkan Dion tepat menembus kepalanya berdenging disekitar telinga Attasia. Pandangannya mengabur.
Untuk terakhir kalinya, Attasia menatap wajah Laras dan Dion. Ekspresi wajah mereka terlihat senang dan juga kesal.
"Tuhan, untuk terakhir kalinya aku berharap. Jika aku diberi kesempatan untuk hidup kembali, aku akan mengubah nasib sialku. Akan aku buat mereka yang menyakiti aku dan ayahku menanggung akibat yang sama seperti yang mereka lakukan kepadaku." batin Attasia sebelum padangannya mulai menghitam, dan ia mati di tangan ibu dan tirinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tweede Leven
Teen Fiction"Tuhan, untuk terakhir kalinya aku berharap. Jika aku diberi kesempatan untuk hidup kembali, aku akan mengubah nasib sialku ini. Akanku buat mereka yang menyakitku dan ayahku, menanggung akibat yang sama seperti yang mereka lakukan kepadaku." -Attas...