Bab 17: Delusional

81 11 0
                                    

Rafiq P.o.V

           Tatapan yang tertuju langsung pada sosok lelaki itu, membuat rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tatapan yang tertuju langsung pada sosok lelaki itu, membuat rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu. "Numpang duduk, bisa kan?" tidak seorang pun, bersuara semua orang seakan terpukau dengannya. Bagaimana tidak, lihat saja baju sleeveless yang dipakainya, mempamerkan biceps dan triceps yang masih kencang. Mungkin dia baru sahaja selesai melakukan aktiviti fizikal. Lalu, seluar yang dipakainya pun tak kalah seksi, hanya separas paha. Dapat aku cam itu adalah seluar gym, kerana bentuknya terlihat lebih ketat daripada seluar pada umumnya. Lelaki yang memapah beg sukan berwarna biru pada pundak kanannya itu sekadar membuat muka dan menunggu jawapan daripada kami. "Ahh, iya silakan. Mumpung masih ada satu kursi yang masih kosong. Gapapa kan?" Agus akhirnya memecah keheningan, lalu melontarkan soal tanya pada kami yang masih membisu. Anggukkan kami berikan bersama suara yang entah apalah itu, walau agak ragu juga sebenarnya.

"Orang Indonesia juga ya bro?" seketika lelaki itu, bertanyakan soalan pada Agus setelah tubuhnya menyentuh permukaan kerusi. Mereka duduk secara berdekatan, membuatkan perbualan menjadi lebih mudah. "Iyo, wong Indonesia aku mas." Bahasanya kali ini lebih membuatkan mataku seakan ingin terbang ke langit. Tidak aku faham sepatah pun. "Wih, orang jawa mana bro? Aku uga iso yo ngomong boso jowo sethithik." Makin aku mendengarkan pembicaraan mereka semakin pening otak aku. "Wong jatim aku mas, boso jowomu apik yo," muka Shah aku pandang, Shah juga memandang pada mukaku. Dia seakan faham maksud dari ekspresiku, Shah perlahan menggelengkan kepalanya menandakan yang dia pun sama tidak mengerti. "Ohh, orang jatim. Tapi serius logat medok lu gak kedengeran loh pas lu ngomong pake bahasa Indonesia." Agus menggaru belakang lehernya yang tidak gatal, aku perasan juga matanya sesekali seakan menatapku secara pantas. Entah apa yang dimaksudnya dengan gaya pandangan itu. "Enggak, dari kecil udah kebiasa tinggal di Jakarta jadi pas pindah ke jawa timur itu cara ngomongnya tetep sama, walau udah tinggal di persekitaran orang-orang jawa." Pemuda dengan paras rupa yang seakan kurang dari dua puluh itu cuma tersenyum sembari mengangguk tanda faham. Sesaat ia tersenyum dadaku langsung lebur. Senyumannya, jika aku deskripsikan itu benar-benar seumpama hadiah dari syurga, manis sungguh, dan sepertinya Shah juga merasakan hal yang serupa.

Dia menoleh memandang kami, "Ahh maaf, keasikan ngobrol." Lantas dia tertawa, sekaligus berucap lagi. "Nama gua Anton kalo kalian mau manggil gua, panggil aja kokoh atau koh Anton," walau tanda tanya pada mindaku belum terbalas sepenuhnya, aku mengangguk sahaja. "Kau, cina?" Shah yang sekian lama membisu berbicara, dan pertanyaannya pun langsung ditanggapi oleh Anton. "Tepat sekali, lebih tepatnya cindo. Cina Indo," Shah kelihatan sungguh bingung, aku juga sebenarnya. Manakan tidak, Anton walau dia cina tapi bahasa Indonesianya sangat lancar tanpa sebarang pelat. "Macam mana kau fasih bahasa Indonesia?" Memang layak pertanyaan itu timbul, sebab kebanyakan orang cina yang aku jumpa pun memang akan memiliki pelat dan biasanya akan dicampur dengan bahasa Inggeris sedikit. Namun melihat Anton yang tidak memiliki loghat, malah terdengar seakan pembicara fasih agak membuatku kagum justeru tertanya-tanya.

Jadi Kekasihku SajaWhere stories live. Discover now