Tiga Hari Sebelum UjianDewa dan Aura duduk berdampingan di perpustakaan, membolak-balik buku pelajaran yang kemungkinan akan muncul dalam ujian nanti.
"Kak?" panggil Aura pelan.
"Iya, kenapa, sayang?" jawab Dewa tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
"Ih, apaan sih, Kak," gumam Aura geli.
Dewa tersenyum tipis. "Kita ini pacaran, kan?"
Aura terdiam sejenak sebelum menatap Dewa lekat. "Iya… pacaran."
"Ya udah," jawab Dewa santai, lalu kembali fokus pada bukunya.
Aura menggigit bibirnya ragu sebelum kembali berbicara. "Aku mau… kita jangan kasih tahu siapa-siapa dulu soal ini, ya, Kak?"
Dewa menghentikan bacaannya dan menatap Aura dengan ekspresi berbeda. "Kenapa?"
"Gapapa, sementara ini aja. Biar nggak ada rumor-rumor. Biar fokus ujian."
Dewa menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Kalau itu maumu, aku nggak bisa nolak," ucapnya sambil mengacak rambut Aura pelan.
Mereka memang selalu terlihat dekat, hampir seperti perangko. Tak banyak yang sadar kalau kini mereka bukan sekadar teman lagi.
---
Di Rumah Dewa
Dewa pulang ke rumah, melepas sepatu dengan lelah. "Dewa pulang," sapanya.
Di meja makan, ayah dan bundanya sudah menunggu.
"Eh, anak Bunda udah pulang. Cuci tangan, cuci kaki dulu, kita makan siang," kata Bundanya lembut.
Namun, sebelum Dewa bisa menjawab, suara berat ayahnya, Vito, terdengar. "Nggak! Dewa harus belajar. Ayah udah beliin beberapa buku latihan soal matematika, kimia, sama fisika. Kerjain semuanya."
"Yah, biarin Dewa makan dulu," pinta Bundanya, Diana, dengan suara lembut.
"Aku bilang nggak ya nggak! Dewa baru boleh makan kalau semua itu udah selesai!" bentak Vito lebih keras.
Bunda ingin membalas, tapi Dewa langsung menyela, "Dewa belajar."
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bergegas ke kamarnya. Di meja belajarnya, setumpuk buku latihan soal menunggu. Dewa mengganti bajunya dengan pakaian santai, lalu mulai mengerjakan soal satu per satu.
Di sampingnya, notes kecil tertempel di dinding. Tulisan di bagian teratas membuatnya terdiam sejenak.
"Ranking satu paralel untuk terakhir kalinya."
Dewa mengembuskan napas panjang. "Semangat, Dewa," gumamnya pelan.
Satu jam berlalu. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Dua buku tebal berhasil ia selesaikan. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Setelah minum air, ia kembali duduk di meja belajarnya, menyelesaikan sisanya.
Lapar. Dewa hanya makan mie di sekolah tadi. Tapi ia tak ingin turun, takut bundanya terkena imbas kemarahan ayahnya lagi.
Bundanya mengetuk pintu berkali-kali, membujuknya untuk makan. Tapi Dewa tetap menolak.
Hidungnya mulai berdarah. Ia menyumpal tisu ke hidungnya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Tempat sampah di samping mejanya kini penuh dengan tisu berlumuran darah. Dua jam berlalu lagi, hingga akhirnya, pukul delapan malam, semua tugasnya selesai.
Dewa turun ke bawah dengan langkah sempoyongan, menyerahkan buku latihan kepada ayahnya. Vito tak menoleh sedikit pun ke arah Dewa, hanya sibuk mengecek jawaban di dalam buku.
Tanpa berkata apa-apa, Dewa memutuskan kembali ke kamar.
Kepalanya pusing. Tubuhnya lemas. Ia berbaring di kasurnya, menutup mata, entah tertidur atau kehilangan kesadaran.
---
Pukul 10 Malam
Suara keras membangunkannya.
BRAK!
Pintu kamarnya didobrak dengan kasar.
Dewa bangkit dengan mata setengah terpejam. Saat ia membuka pintu, buku tebal melayang dan menghantam wajahnya. Tubuhnya yang sudah lemah pun langsung jatuh ke lantai.
"DASAR NGGAK GUNA!" bentak ayahnya. "JAWABAN KAMU NGELANTUR SEMUA!"
Dewa berusaha duduk, tapi tubuhnya terlalu lemas. "Yah… Dewa capek…"
"CAPEK APA KAMU, HAH? DISURU BELAJAR CAPEK? AYAH KERJA SETIAP HARI NGGAK NGELUH CAPEK!"
Ayahnya menampar wajah Dewa dengan keras.
Dewa mengerjap, menahan perih di pipinya. "Yah… Dewa bener-bener cape…"
DUG!
Tendangan keras mendarat di perutnya.
"CAPEK KAMU BILANG? AYAH LEBIH CAPEK NGURUSIN KAMU YANG NGGAK ADA GUNANYA!"
Dewa ingin berbicara, tapi sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya. Pandangannya gelap.
Kesadarannya menghilang.
---
Aura
Aura menatap layar ponselnya, menunggu balasan Dewa yang tak kunjung datang.
"Kenapa Kak Dewa nggak bales chat gue sih?" gumamnya. "Apa gue samperin aja ya?"
Akhirnya, ia mengambil jaket dan buku pelajarannya, lalu berjalan keluar rumah.
Saat tiba di depan rumah Dewa, gerbangnya terbuka. Aura memanggil namanya beberapa kali, tapi tak ada jawaban.
Akhirnya, ia masuk ke dalam. Ia sudah biasa keluar masuk rumah Dewa sejak kecil.
Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu kamar Dewa.
"Kak? Kak Dewa? Yuhuuu…"
Tak ada jawaban.
Pelan-pelan, ia mendorong pintunya yang ternyata tak terkunci.
Saat pintu terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.
"Dewa?!"
Dewa tergeletak di lantai, wajahnya pucat, hidung berdarah, dan ada lebam di ujung bibirnya. Di sampingnya, tempat sampah penuh dengan tisu berlumuran darah.
Aura segera berlari mendekat, mengguncang bahu Dewa. "Kak! Kak Dewa! Bangun!"
Tidak ada respons.
Panik, Aura menarik tubuh Dewa, membantunya bersandar di sisi ranjang. Tubuhnya dingin.
Dengan tangan gemetar, Aura merapikan rambut Dewa yang berantakan, berusaha menenangkan diri. "Kak Dewa, tolong, jangan gini…"
Tiba-tiba, Dewa mengerang pelan. Kelopak matanya terbuka sedikit.
Tangannya bergerak, membalas genggaman tangan Aura.
"Jangan lepas, Ra," ucapnya lemah.
Aura menggigit bibir, lalu memeluk Dewa erat. "Gue nggak bakal lepasin lo, Kak," bisiknya.
Tak lama kemudian, Bunda Dewa datang.
"Astaga, Dewa! Kamu kenapa?" serunya khawatir.
Dewa memaksakan senyum. "Dewa gapapa, Bun."
Namun, saat mata Diana menangkap tempat sampah berisi tisu berdarah, wajahnya langsung berubah tegang.
"Dewa, ayo makan dulu, ya? Dari pagi kamu belum makan."
Aura menoleh tajam ke arah Dewa.
"Kak Dewa, lo maksa diri lagi, kan?" desisnya pelan.
Dewa hanya tersenyum kecil, tanpa membantah.
Akhirnya, malam itu, Aura menyuapi Dewa makan.
Sampai-sampai, ia lupa alasan awalnya datang ke rumah Dewa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA & RAHASIANYA
Dla nastolatków"Perjuanganku Sudah Sampai Titik Pasrah, Tuhan" Sadewa Reethenio, seorang lelaki manis yang tumbuh dengan berbagai tuntutan dan harapan dari sosok yang ia sebut ayah. Sejak usia enam tahun, ia kehilangan orang tua kandungnya, meninggalkan luka menda...