"Ra, dimakan, jangan cuma dimainin," tegur Jaehan, melihat Aura hanya memotong-motong baksonya tanpa niat menyuapinya.Aura hanya menatap baksonya tanpa ekspresi.
"Dewa teh kemana? Belakangan ini kok teu keliatan," tanya Mang Agus sambil mengantarkan es teh ke meja mereka.
"Udah mati," Helga menukas ketus.
"Hel!" Mika menegur dengan nada tajam.
"Mulut lo dijaga ya," sambungnya, ekspresinya tak kalah tajam.
"Kenapa? Buat apa sih dijaga? Buat cowok brengsek bajingan nggak tahu diuntung kayak dia?" Helga mencibir, emosinya memuncak.
"Tai lo, Hel," Mika akhirnya kehilangan kesabaran. "Lama-lama gua sumpelin bakso mercon tuh mulut lo."
Mang Agus yang berdiri di dekat mereka jadi ikut canggung. "Duh, maaf ya, jadi nggak enak. Hayu dimakan atuh baksonya, mangga..."
Aura terdiam, pikirannya tak lagi di meja makan itu. Tatapannya kosong, melayang ke halaman universitas yang masih ramai dengan mahasiswa yang lalu-lalang.
Sampai akhirnya, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Dewa.
Dia berdiri di dekat motor, memasangkan helm ke kepala seorang cewek-Raline. Setelahnya, tangannya bergerak mengacak rambut Raline, dengan cara yang sama seperti dulu dia mengacak rambut Aura.
Sakit.
Sebuah tangan tiba-tiba menutupi pandangannya.
"Jangan diliatin," suara Jaehan berbisik lembut di dekatnya. "Sakit, kan?"
Aura menelan ludah.
Jaehan menarik tangannya kembali dan tersenyum kecil. "Makan, Ra. Nanti lo sakit."
Aura mengangkat wajahnya, lalu tersenyum kecil ke arah Jaehan. Ia menghela napas, mencoba menekan rasa sakit di dadanya, lalu melanjutkan makannya.
---
Malam itu, di tempat yang berbeda.
Dewa sedang berjalan menuju parkiran saat tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Eh, ketemu kita," suara Veno terdengar.
Dewa menoleh.
"Lo kenapa sih, Wa?" tanya Helga dengan nada penuh amarah. "Sakit lo? Sampe-sampe mainin Aura yang tulus sama lo?" Ia mendorong pelan bahu Dewa.
Dewa hanya tersenyum tipis.
Ekspresi Helga langsung mengeras. "Maksud lo apa, hah? Gak ada yang lucu."
Sunyi.
Sampai akhirnya-
DUGH!
Sebuah pukulan keras mendarat di pipi Dewa.
"Lo nggak tahu diuntung, sialan," umpat Helga dengan penuh kebencian. "Gak guna lo."
Mereka pergi, meninggalkan Dewa yang diam di tempatnya.
Sakit di kepalanya kembali berdenyut, bayangan-bayangan itu kembali menghantuinya. Tapi ia tetap berdiri tegak, menekan semuanya ke dalam, lalu tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
---
Sebulan berlalu.
Aura mulai bisa menjalani hari-harinya tanpa terlalu memikirkan Dewa, meskipun rasa itu masih ada, tersimpan rapi di dalam dirinya.
Hubungannya dengan Jaehan semakin dekat, mereka sedang berada di fase PDKT. Sementara itu, Helga dan Veno semakin membenci Dewa. Setiap kali mereka bertemu secara tidak sengaja, tatapan jijik selalu mereka tujukan padanya.
Dewa mengerti.
Ia sangat mengerti konsekuensi dari semua yang telah ia lakukan.
Setiap hari ia harus menahan cemburu melihat kedekatan Aura dan Jaehan.
Setiap minggu ia harus menjalani kontrol dan kemoterapi.
Setiap hari ia harus minum beberapa butir obat.
Setiap saat ia dihantui rasa pusing dan sakit kepala yang menyerang tanpa pandang waktu.
Tapi ia tetap berdiri.
---
Hingga akhirnya, Olimpiade IPA antaruniversitas tiba.
Dewa, Chintya, dan Ernes sudah siap memasuki ruang ujian. Mereka membaca ulang materi, berdiskusi, dan memastikan semuanya siap.
"1, 2, 3... Andalanesia jaya, jaya, juara!" seru mereka bersama sebelum ujian dimulai.
Dewa mengerjakan soal dengan lancar, tapi tiba-tiba...
Setetes darah jatuh di atas kertas jawabannya.
Chintya dan Ernes langsung menoleh.
"Dew, lo mimisan," tegur Ernes khawatir.
Dewa mengusap hidungnya dan melihat noda merah di jarinya. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Gapapa, ada tisu?"
Chintya buru-buru menyodorkan tisu. Dewa mengambilnya, menyumbat hidungnya, lalu kembali fokus ke soal.
Mereka berhasil menyelesaikan ujian pertama.
Kini, mereka menunggu hasil.
"Pak, jadi ini sehari doang ya?" tanya Ernes.
"Iya," jawab salah satu panitia. "Jam sepuluh hasil nilai langsung keluar. Dari puluhan universitas, cuma lima yang bisa lanjut ke babak terakhir."
Chintya menelan ludah. "Kita lolos nggak ya..."
Dewa hanya diam, kepalanya bersandar di tembok. Wajahnya semakin pucat, tangannya dingin.
Sampai akhirnya, suara seorang guru memecah ketegangan.
"GUYS!!! KITA LOLOS!!!"
Teriakan itu membuat suasana langsung pecah.
"YEEEEEESSSS!!! KITA GAK SIA-SIAA!!" seru yang lain.
Dewa hanya melempar senyum tipis.
---
Babak terakhir dimulai.
Hanya lima universitas yang tersisa.
Dewa dan timnya menjawab soal dengan benar berkali-kali, tapi skor mereka masih imbang dengan Universitas Citralestari.
Sampai akhirnya-pertanyaan terakhir.
Suatu tabung silinder AOB dengan panjang 2a berotasi dengan kecepatan sudut konstan ω relatif terhadap suatu sumbu vertikal yang melalui titik pusat silinder O. Di dalam tabung pada jarak b dari O terdapat sebuah partikel yang pada awalnya berada pada keadaan diam. Jika diasumsikan tidak ada gesekan yang bekerja, waktu yang dibutuhkan partikel agar sampai ke ujung tabung adalah...
"TIT!"
Citralestari lebih cepat menekan bel.
Tegang.
Mereka menyampaikan jawaban mereka dengan percaya diri.
"TIDAK TEPAT."
Kesempatan beralih ke Andalanesia.
Chintya dan Ernes sudah pasrah. Tapi tidak dengan Dewa.
Tangannya bergerak cepat, menghitung dalam hati.
Sampai akhirnya, ia mengangkat jawaban.
"BENAR! SELAMAT, ANDALANESIA!"
Suasana langsung pecah dalam sorakan kemenangan.
Chintya dan Ernes langsung memeluk Dewa.
Tapi...
Tubuh Dewa terasa berat.
Tangannya semakin dingin.
Dan dalam hitungan detik-
"Dewa?!"
Tubuhnya terjatuh.
"Dewa! Bangun!"

KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA & RAHASIANYA
Ficção Adolescente"Perjuanganku Sudah Sampai Titik Pasrah, Tuhan" Sadewa Reethenio, seorang lelaki manis yang tumbuh dengan berbagai tuntutan dan harapan dari sosok yang ia sebut ayah. Sejak usia enam tahun, ia kehilangan orang tua kandungnya, meninggalkan luka menda...