He Like Her More Than He Wants to Admit

35 6 1
                                    

Brian mengumpati Vanessa di dalam hati karena membuatnya berada dalam situasi tak terduga ini. Semalam, setelah menyelesaikan perbincangannya dengan Vanessa, Brian memutuskan untuk menginap. Tidak, jangan pikirkan ia tidur di kasur yang sama dengan Vanessa. Vanessa punya sleeping bag, dan setiap kali Brian menginap, ia biasanya akan menggunakan sleeping bag tersebut dan tidur di lantai. Jadi ya, tidak ada adegan aneh-aneh antara ia dan Vanessa. Lagipula untuk sekedar memikirkannya saja ia merinding geli sendiri.

Pagi ini, ia terjaga dalam keadaan lapar. Setelah mengecek kulkas Vanessa yang berujung sia-sia, karena gadis itu nyatanya belum mengisi kulkasnya lagi dengan bahan makanan, ia harus puas dengan secangkir air putih dan sebungkus malkist abon yang ia temukan dari dalam kulkas. Vanessa bangun tak lama setelahnya, mengomel kala tau bungkusan terakhir malkist abon miliknya dihabiskan Brian. Setengah mendorong tubuh Brian keluar dari kamar kosnya, ia menyuruh pria itu membeli dua porsi bubur ayam untuk sarapan mereka, yang mau tak mau dikerjakan Brian karena dirinya nyatanya toh masih lapar. Sekeping malkist abon tidak serta merta membuatnya kenyang, tentu saja.

Sekembalinya dari membeli sarapan, Brian mendapati Vanessa mengunci pintu kamarnya. Pria itu beberapa kali mengetuk, tak ada sahutan. Gadis itu barangkali sedang di kamar mandi dan tak mendengarnya, atau ia kembali tidur. Tadinya itulah dugaan yang ia pikirkan sampai ia akhirnya menyadari sebuah post-it yang tertempel di pintu.

  Tadinya itulah dugaan yang ia pikirkan sampai ia akhirnya menyadari sebuah post-it yang tertempel di pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sial. Sial. Sial. Brian bercermin pada pantulan jendela kamar milik Vanessa yang gelap. Penampilannya jauh dari kata layak untuk menemui Izzy sekarang. Baju kaos pinjaman yang lusuh, celana boxer selutut dan penampilan baru bangun tidur miliknya jelas enggak banget kalau buat menemui Izzy sepagi ini. Buru-buru dirapikannya rambut berantakan bangun tidurnya. Tepat saat ia selesai berkaca, pintu kamar Izzy terbuka. Brian menoleh, mendapati Izzy yang sudah rapi keluar dari kamarnya. Langkah gadis itu terhenti saat menyadari kehadiran Brian. Tangan Brian meraih tengkuknya sendiri, terlihat canggung. Mulutnya terbuka, terkatup, terbuka, terkatup lagi. Ingin mengatakan sesuatu tapi tak yakin harus mengatakan apa. Sementara Izzy setelah berhasil menguasai dirinya sendiri mencoba bersikap tidak terjadi apa-apa dan melangkah melewati Brian.

"Maaf!" He blurted out the word. Takut kalau Izzy akan pergi begitu saja tanpa ia sempat mengatakan sesuatu. Izzy menghentikan langkah, tapi enggan membalikkan tubuh untuk berhadapan dengan Brian. Brian mejilat bibir bawahnya yang entah kenapa justru tiba-tiba terasa kering. Berdeham sebelum melanjutkan, "Buat yang kemarin, maaf."

"Gue tau lo mungkin ga bisa maafin gue. Ga ada penjelasan yang tepat untuk apa yang lo lihat dan temukan. It is what it is. Tapi sumpah, gue ga jadi tidur sama nyokap lo." Kata-kata berhamburan dengan cepat seolah waktunya untuk bicara terbatas. Kalimat terakhir diucapkannya sepelan mungkin, namun masih dalam kadar yang dapat didengar Izzy. Brian tidak tahu kalau Izzy menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menghindari dirinya untuk marah atau menangis. Ia lelah. Menangis semalaman menguras tenaganya, dan ia tak ingin membuat matanya tambah sembab sebelum kelas dimulai. Teman-temannya akan bertanya nanti dan ia bahkan belum memikirkan alasan bohong apa yang akan ia berikan. Ditambah, sejujurnya ia belum siap berhadapan dengan Brian. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana dan perasaannya sendiri tidak menentu.

Izzy tahu ibunya orang seperti apa. Brian hanya satu dari banyaknya laki-laki yang pernah menjadi selingkuhan ibunya. Izzy tahu sasaran kemarahan dan kekecewaannya yang sebenarnya adalah ibunya. Brian hanya sedang sial terjebak di tengah-tengah masalah keluarganya yang berantakan. Tapi sayangnya, walau akal sehatnya mengerti hal itu, hatinya tidak sepenuhnya bisa mengikuti perintah kepalanya untuk tidak meluapkan amarah.

"Dia bayar kamu berapa?" Izzy akhirnya buka suara.

"Ya?" Izzy menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya kasar sebelum tubuhnya berbalik menghadap Brian. Sekali lagi Brian melihat wajah Izzy, matanya bengkak dan sembab. Amarah penuh menguasai perempuan itu, siap tumpah kapan saja. Perasaan bersalah merayap di dirinya.

"Kamu dibayar berapa buat tidur sama dia?"

"Sumpah, gue ga jadi ngelakuin--"

"Berapa, Brian?"

"Gue ga terima uangnya."

"Berapa?!" Izzy membentak, dan Brian merapatkan bibirnya, diam. Izzy masih menunggu, tampaknya tidak berniat melepaskan Brian dari pertanyaannya, sementara sang laki-laki bergerak-gerak gelisah di tempat.

"Jawab! Berapa harga yang kamu terima untuk menghancurkan sebuah pernikahan." Izzy mengatakannya dengan tenang walau hatinya sendiri teriris-iris dan ia merasa miris. Ditatapnya Brian dengan pandangan menilai. For God's sake! Apa yang sebenarnya ada di pikiran ibunya? Meniduri laki-laki yang seumurun dengan anaknya? Membayangkannya saja membuat Izzy jijik setengah mati.

Tak kunjung dapat jawaban, Izzy akhirnya mengeluarkan dompet dari dalam tas, menarik lembaran seratus ribuan yang bisa ia temuka di dompetnya sendiri dan mendorongkannya ke dada Brian.

"Segini cukup? Atau justru kurang? Aku bisa ngasih kamu lebih banyak lagi."

Brian terbelalak, menatap tak percaya pada Izzy dan tangannya yang menyongsorkan lembaran ratusan ribu ke dadanya. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuh, mencoba menahan amarah dan kekecewaan yang tiba-tiba dirasakan. Mulutnya terkatup rapat dengan rahang yang mengeras. Dirinya berusaha keras membungkam kata-kata yang akan menyakiti Izzy bila ia membiarkan mulutnya berbicara.

Digelengkannya kepalanya. Izzy bahkan tidak menunggu sebelum Brian melakukan atau mengatakan sesuatu. Gadis itu buru-buru beranjak pergi, tidak mau terlambat menghadiri kelas paginya dan selain itu ia tidak yakin masih bisa bersikap tenang dan tidak lebih meledak dan mengumpati Brian lebih daripada sekarang.

"Gue ga butuh, Zy." Brian yang sudah lebih menguasai diri mencoba mengejar Izzy. "Ambil lagi uang lo" lembaran seratus ribu yang sempat jatuh beberapa lembar ke tanah itu dikumpulkannya dan dikejarnya Izzy yang berjalan cepat setengha berlari untuk mengembalikan uang-uang tersebut. "Gue cuman mau minta maaf soal kemarin."

"Jangan ikutin aku! Kalau kamu ga butuh, kamu ga akan ngelakuin pekerjaan itu. Kamu ga akan menghancurkan keluargaku demi uang itu. Jadi ambil aja. Masih kurang? Aku bakal kirim lagi. Kamu ga usah nemuin aku, I'll ask your bank account to Vanessa later. Dan berhenti muncul di hadapanku." Semua perkataan Izzy adalah buah dari amarah dan emosi yang kacau. Gadis itu sendiri tau, ia tidak benar-benar membenci Brian untuk masalah keluarganya. Ibunya memang bermasalah sudah sejak lama. Dan Brian hanya sial saja menjadi sumbu terakhir kesabaran Izzy untuk akhirnya bertindak menyelamatkan keluarganya yang sudah hancur lebur karena prilaku ibunya. Hanya saja sekarang ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada sosok yang jadi sumber masalah, dan Brian-lah yang jadi sasaran seluruh emosinya yang sudah menggunung akhir-akhir ini.

Brian bungkam. Menyerah meyakinkan Izzy. Takut bila ia mencoba keras kepala dan tetap menekan Izzy, gadis itu akan bertindak lebih ekstrem lagi mungkin. Ia berhenti mengejar. Dan Izzy berlari sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu mobil miliknya dan mobil tersebut juga berlalu dalam hitungan detik dari pandangan Brian.

Lama ia menatap ke arah tikungan yang menelan sosok kendaraan Izzy dari pandangannya. Ada yang jatuh di dalam dirinya. Ada yang luka dan berdarah di dalam sana, menguarkan rasa kecewa pada diri sendiri.

Ia tak sadar sejak kapan Vanessa sudah berada di sampingnya. Ia baru menyadari kehadiran wanita itu saat merasakan sebuah tangan yang lebih kurus menyentuh pundaknya pelan. Brian menoleh, menatap nanar pada Vanessa.

"You good?" Pertanyaan itu sederhana, tapi justru sulit sekali dijawab Brian. Padahal harusnya, jawabannya sesederhana 'Yes, I am' tapi kenapa lidahnya berat dan kelu mengutarakannya? Ditatapnya Vanessa nanar. Brian merasakan cubitan keras di hatinya dan perutnya dipelintir kuat.

"No." Ia berbisik pelan, nyaris tanpa tenaga. Ia menyadari, ia mungkin menyukai Izzy lebih besar dari perkiraannya selama ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Girl That Manwhore Secretly LovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang