Bocah itu terpental menerima serangan dari Dodi. Pipinya sudah membengkak, air matanya perlahan mengalir, dan darah berceceran di wajahnya.
"Fuhh, pemandangan sehari-hari bersama bocah petarung. Sia-sia rasanya membenci kekerasan."
"Seperti sudah menjadi jodohku saja," aku memikirkan keadaanku yang seringkali terlibat dalam kekerasan.
"Cukup, Dod!"
Dia tidak akan berhenti kalau didiamkan.
Dodi mendesis dan menurunkan tinjunya.
Menghela napas. "Sudah petang, bukankah waktunya pulang?"
"Ya," jawab Dodi.
Dia pergi, meninggalkan bocah yang dihajarnya begitu saja.
"Sudahlah, Jaka," ucapku pada bocah tak berdaya itu. "Sedih liat lu dibantai begitu."
Dia tak suka.
Dodi sangat sensitif terhadap sesuatu yang berkaitan dengan neneknya. Semua pemulung di Oak tahu tentang hal itu. Namun, bocah yang babak belur tadi, selalu bilang 'Nenekmu sudah mati! Terima saja!' dan itu sudah terjadi puluhan kali.
Aku belum banyak tahu tentang neneknya. Namun, yang bisa kusimpulkan adalah bahwa neneknya adalah segalanya bagi Dodi.
Kami berada di pinggiran Oak yang bercoklatan bak tinja yang berceceran. Ada banyak gunung yang sebenarnya bukan gunung, hanya tumpukan sampah orang-orang di kota sekitar. Ya, kami adalah pemulung, termasuk bocah yang babak belur tadi.
Aku pernah menawari Dodi untuk menjadi pengemis atau pencuri saja, tapi dia menolak. Katanya, itu dosa dan tidak baik. Neneknya tidak akan menyukainya.
"Jar, lihat," kata Dodi tiba-tiba, sambil memungut selembaran kertas.
"Menerima siswa baru tahun ajaran ..."
"Kupikir sudah saatnya," lanjut Dodi dengan semangat.
"Masuk sekolah?" tanyaku.
Dodi mengangguk penuh semangat.
"Oke, besok kita ke sana," kataku.
Aku baru ingat sekarang bahwa sudah bulan Juni, artinya sudah saatnya masuk semester baru.
"Yuhuu!" teriak Dodi sambil menari girang, lalu kembali menuju jalan pulang.
Kami telah saling berjanji untuk masuk sekolah. Aku sih, memang tidak keberatan, tapi aku kaget karena Dodi mau sekolah. Setelah mendengar alasannya, aku mengerti.
"Nenek dulu bilang harus ikut sekolah, makanya sekarang dia lagi cari uang."
'Dulu' yang dimaksud Dodi sekitar delapan tahun yang lalu, ketika dia berumur sekitar delapan tahun. Neneknya menghilang sejak insiden Hukuman Langit kala itu. Banyak anak yang kehilangan orang tua pada saat itu, hal yang sangat menyeramkan.
Puluhan malaikat atau iblis berkekuatan tidak logis turun dari langit. Menyerang siapa pun yang mereka lihat. Fisik mereka manusia, tapi tatapan, gaya berjalan, hingga berbicara sangat berbeda. Penuh wibawa bak malaikat. Tapi sadis seperti iblis. Aku tidak yakin mereka apa.
Kota Oak hancur, pada saat itu aku yang selamat bertemu dengan bocah pemulung ini. Pertemuan yang menuntunku menjadi sahabatnya hingga detik ini.
Aku tertegun menatap lembaran lain pada tanah. Bukan penerimaan murid baru.
"Penerimaan peserta baru Brawler?"
Kompetisi itu? Aku menelan ludah. Kompetisi semacam ini membuka peserta secara terang-terangan, apa-apaan ...
Kompetisi yang hanya ada satu aturan di mana pemenangnya ditentukan dari siapa yang masih bernapas paling akhir.
"Hadiah lima ratus ribu Koin."
Lima ratus ribu ... tapi nyawa taruhannya. Orang bodoh mana--selain Dodi pun paham itu bunuh diri.
Sebaiknya Dodi si penggila gelut itu tidak tau. Kurobek cepat-cepat lalu kususul Dodi pulang.
---
"
Se-seratus ribu Koin?" Aku menahan rasa terkejut.
"Iya, mohon maaf adik apabila terkesan memberatkan, tapi itu sudah menjadi biaya registrasi yang kami tetapkan," balas guru yang mirip preman di pasar itu sambil tersenyum.
Dodi terdiam, menahan rasa kecewanya. Tabungan yang kami sisihkan dari hasil memulung selama ini hanya dapat sepuluh ribu Koin. Itu pun memakan waktu tujuh tahun.
Ingin rasa kuprotes dan membakar sekolah ini, tapi aku sadar diri. Sekolah ini memang favorit--bisa dikata nomor satu di Oak. Kalau bukan karena Dodi yang memilih, ingin rasanya bersekolah bersama Pak Kumis saja.
"Bagaimana Jar?"
Aku diam sejenak.
"Kita pikirkan di rumah," jawabku.
Di depan gerbang Bantaran terlihat mobil mewah parkir.
Pejabat.
Blusukan ke TPS buat apa?
Seorang bocah pemulung menghampiri kami.
"Dod, orang kaya itu nyariin lu!" Dia menunjuk seseorang dengan setelan jas rapih. Aku tak tau namanya.
Dodi segera berlari ke sana. Aku menyusul.
Apa yang Dodi perbuat? Aku bersamanya sepanjang hari dan tidak ada yang dia lakukan selain menghajar orang. Apa jangan-jangan sekarang meninju orang sudah dilarang setelah mengkritik?!
"Aku Dodi!" teriak bocah petarung itu.
Pejabat paruh baya itu menoleh.
"Kamu Dodi si Tangguh dari Bantaran?"
"Ya, kenapa?!"
"Ini," jawabnya sambil memberi selembar poster. "Kudengar kamu yang paling kuat di antara pemulung Kota Oak."
Mampus, aku tau poster itu!
"DOD!"
Jangan baca! Itu Brawler!
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali: Street Fighting For A Dream
ActionFajar, seorang pemulung berumur 15 tahun yang idealis dan cerdas, memiliki teman satu jiwanya, Dodi. Mereka hidup di Kota Oak, sebuah kota pinggiran di mana kebanyakan penduduknya adalah pemulung. Setiap 6 bulan sekali, di kota tersebut diselenggara...