Bagian 1

10 0 0
                                    

    Pagi hari yang cerah seorang remaja yang baru memakai seragam putih biru terburu-buru mengayuh sepedanya. Jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar lima ratus meter. Dalam pikirannya, ia berpikir bagaimana sekolahnya nanti, apakah dia akan memiliki teman, apakah guru-gurunya baik. Entahlah yang jelas pagi itu ia sangat bersemangat sekali. Terlihat beberapa kali burung yang sedang bertengger di pohon berkicau menyanyi seakan-akan menyambut seorang remaja yang bernama Diovano Malik Gallant untuk pergi ke sekolah. Diovano yang sering dipanggil Dio itu melihat ke atas melirik ke arah burung-burung tadi dan tersenyum. Sebenarnya, ia tidak menyukai sekolahnya yang sekarang. Namun, karena ia sudah berjanji pada kedua orang tuanya, bahwa jika nilainya tidak memenuhi untuk masuk ke sekolah impiannya, maka opsi sekolahnya yang sekarang menjadi syarat agar ia bersekolah. Dia tidak berbohong, hal itu menekan mentalnya yang dimana sebelumnya ia tidak pernah gagal dalam hal apapun, tetapi kenyataan saat itu harus ia terima dengan lapang dada.

    Gerbang sekolahnya sudah terlihat di depan mata. Di atas gerbang itu terpampang nama sekolahnya yaitu SMP Negeri Garuda. Terlihat siswa siswi segera berdatangan memasuki sekolah dan satu orang petugas satpam menjaga di pinggir gerbang dengan wajahnya yang tegas. Dio segera masuk dan memarkirkan sepedanya. Ia membenarkan tas punggungnya. Setelah membaca informasi dari pesan yang dikirim oleh wali kelas barunya kemarin, ia tidak tersesat mencari kelas. Ia berpapasan dengan banyak orang, beberapa diantaranya dengan seorang perempuan. Maklum saja Dio memiliki wajah yang menawan dengan matanya yang berwarna hitam tajam, alisnya yang tebal, kulitnya kuning langsat, dan bulu matanya yang lentik, menjadi ciri khas yang selalu diperhatikan banyak orang. Namun, sampai detik ini Dio belum pernah menjalin hubungan apapun, bahkan ia belum tertarik pada siapapun. Ia masih polos, sepolos kertas putih yang hanya tahu bahwa dalam kehidupan ini hanya rumah dan sekolah.
Setelah melewati ruang guru dan beberapa kelas, sampailah ia di kelasnya. Dio menengadah memastikan nama kelasnya yaitu kelas VIIA. Ia masuk ke dalam kelas dan pandangannya menyusuri ruangan kelas. Dia menghitung dan memperkirakan di dalam kelasnya terdapat tiga puluh dua siswa. Semua murid yang ada di dalam kelas hanya terduduk diam dan beberapa diantaranya mengobrol ringan. Mungkin karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah selesai MPLS. Dio mulai mencari bangku yang masih kosong. Ternyata salah satunya ada di barisan kedua dari jendela urutan ketiga. Di sana ada seorang siswa terduduk sendirian dan Dio menghampirinya.

    "Hei boleh aku duduk di sini?"

    "Oh? Iya boleh." Siswa itu mempersilahkan Dio untuk duduk.
Dio melihat name tag yang ada di seragamnya yang menampilkan nama Adam Satria Wijaya.

    "Nama lo Adam? Kenalin gue Dio." Ia mengulurkan tangannya yang disambut oleh Adam.

    "Ya, gue Adam, salam kenal Dio." Adam tersenyum padanya.

    Sampai seorang guru datang ke dalam kelas Dio hanya duduk dan terdiam, karena di sekolahnya melarang semua muridnya untuk membawa hp. Jika ketahuan membawa hp, maka akan dirampas oleh guru atau pengurus OSIS. Sehingga semua murid sekarang sedang gabut terdiam. Dio melihat jam tangannya menunjukkan pukul 07.00, seorang bapak guru mulai masuk ke dalam kelas. Keren, tepat waktu sekali bapaknya, gumam Dio dalam hati.

    "Selamat pagi semuanya, hari ini adalah awal pertemuan kita. Selamat untuk kalian telah diterima di sekolah ini dan bergabung di kelas VII A bersama bapak. Oh ya, ada suatu pepatah mengatakan kalau tak kenal, maka tak sayang. Nah, kalian sudah tahu nama bapak belum?" Bapak berkacamata itu tersenyum-senyum pada muridnya.

    "Belum pak," ucap semua murid yang ada di dalam kelas.

    "Iya, nama bapak adalah Rizky, jadi panggil aja Pak Rizky ya di sini bapak mengajar mata pelajaran matematika. Nah karena sudah kenal, maka harus sayang ya, hehehe." Pak Rizky nyengir garing di depan kelas.

    "Iya pak," ucap semua murid di dalam kelas.

    "Hei Dio, kata kakak gue guru matematika itu banyak yang galaknya." Adam berbisik pelan di telinga Dio.

    "Masa?" Dio kurang percaya karena ia menyukai pelajaran matematika sejak Taman Kanak-kanak.

    "Baiklah anak-anak, karena bapak sudah berkenalan, nah sekarang giliran kalian untuk berkenalan ya, biar bapak juga bisa sayang sama kalian."
Semua murid saling lirik, bingung, siapa yang akan maju duluan.

    "Dimulai dari ujung yang paling kanan bapak ya, yang depan ini. Ayo ke depan!" Anak yang ditunjuk olehnya mulai maju ke depan.

    "Perkenalkan nama saya Andin Annisa Putri, dari SD Negeri Pelita Bangsa. Salam kenal semua!" Andin melambaikan tangan ke arah teman-temannya.

    "Baik Andin, silahkan pilih temanmu yang akan memperkenalkan diri selanjutnya." Pak Rizky tersenyum ramah pada Andin.

Andin menunjuk seorang siswi yang duduk di belakangnya dan siswi itu berdiri malu-malu.

    "Nama saya Gita Faniza Balqis dari SD Al-Azhar, salam kenal." Ia tersenyum malu dan duduk kembali.

    "Halo Gita, jangan lupa pilih salah satu temannya lagi ya," kata Pak guru mengingatkan.

    "Oh iya maaf lupa."

Gita menunjuk salah satu siswa yang ada di depan Dio.

    "Halo semua, namaku Aditya Bravasca, panggil saya Adit aja." Adit tersenyum.

    Begitulah seterusnya hingga berakhirlah ketiga puluh dua siswa memperkenalkan dirinya.

    Pak Rizky mulai berbicara lagi, "Nah, anak-anak yang membedakan SMP dengan SD adalah adanya berbagai macam ekstrakurikuler. Bapak harap kalian semua mengikuti ekskul yang ada di sekolah ini dengan baik dan sesuai dengan minat kalian ya. Jangan lupa juga minta izin pada orang tua kalian."

    "Baik pak." Kata semua murid di dalam kelas.

    "Selain itu, untuk setiap mata pelajaran punya gurunya masing-masing, kalian harus kenal semua guru agar tidak sulit mendapatkan nilai. Paham?"
Sebagian murid mengangguk. Sebagiannya lagi bergumam paham.

   "Nah, karena kalian sudah ada di SMP, bapak minta kalian untuk sekolah yang benar dan jangan bermalas-malasan. Okay?"

    "Baik pak."

     ***

    "Hei Dio, lo mau ikut ekskul apa?" Adam menyikut lengan Dio.

    "Gak tahu, kalau lo?"

   "Bingung gue, nanti aja. Yuk ke kantin, gue laper." Adam memegangi perutnya yang mulai keroncongan karena belum sarapan dan hanya dijawab anggukan saja oleh Dio.

    Dio dan Adam mulai beranjak pergi ke kantin. Banyak siswa siswi yang keluar mencari angin segar atau hanya sekedar nongkrong di luar. Seperti biasa, banyak siswi yang berkelompok duduk di depan kelas untuk mengobrol, sampai saat Dio dan Adam lewat, salah satu siswi berkata,

    "Hei kalian tahu gak?" siswi itu langsung berbisik pada teman-temannya yang lain dan mereka menyimak dengan muka serius.
Dio dan Adam terus berjalan hingga sampai di depan perpustakaan. Mereka berpapasan dengan seorang perempuan berjilbab putih yang sedang membawa buku. Ia terlihat buru-buru entah akan kemana. Setelah melewatinya, mereka berdua lanjut berjalan dan mulai memasuki kantin yang isinya dipenuhi oleh banyak manusia. Meskipun ada beberapa warung yang menjual bermacam-macam makanan, pasti ada satu warung yang paling berdesak-desakan, dan warung yang jadi anti para cewek dimana isinya tempat nongkrong bagi kaum lelaki.

    "Gue mau pesen teh manis sama nasi goreng. Lo mau pesen apa, Yo?"

    "Hmm, gue pesen roti sama air mineral saja."

    "Okay, sekalian gue pesenin."
Adam yang sangat baik hati itu berjalan mendekati salah satu warung yang ada di sana.

    "Eh ini uang nya, Dam." Dio sedikit berteriak memanggilnya.

Adam berbalik dan mengambil uang dari Dio, "Oh iya sip."

    Lalu ia kembali ke warung yang ia tuju.

    Dio menarik salah satu kursi yang ada dan mendudukinya. Ia mulai memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ada banyak kakak kelas cowok yang saling mengobrol dan tertawa, ada juga cewek-cewek yang nongkrong dengan teman-temannya. Hingga tiba-tiba datang kakak kelas cewek menghampirinya.

    "Halo pasti kamu anak kelas tujuh ya?" Cewek itu menepuk pundak Dio.
Dio menoleh dan heran kenapa ada orang asing yang memegangnya, terlebih ia tidak suka dengan pysical touch dari orang lain. Apalagi orang ini belum ia kenal sama sekali. Cewek itu berbarengan dengan salah satu temannya yang sama-sama berjilbab. Mereka tersenyum kepada Dio.

    "Iya kak," demi menjaga sopan santun kepada kakak kelas, Dio menjawab.

    Kedua cewek itu melirik name tag yang dipakai oleh Dio.

    "Salam kenal Dio, aku Popy dan ini temanku Dewi, nanti kalau ada apa-apa datang saja ke kelas VIII B ya? Sampai bertemu kembali nanti," cewek yang bernama Popy dan Dewi tadi meninggalkan Dio dengan lambaian tangan dan senyumannya.
Dio mengangkat sebelah alisnya. Ada apa dengan kakak-kakak itu, ia berkata dalam hatinya. Beberapa detik kemudian, Adam datang membawa nasi goreng dan teh manis, juga satu kresek kecil pesanan Dio.

    "Heh malah ngelamun gitu, dari tadi gue manggil lo. Huh, jadinya gue minta kresek saja." Adam duduk disampingnya dan menyodorkan pesanan Dio.

    "Eh iya makasih banyak, Adam."
Dio mengambilnya dan mulai membukanya.

    "Tadi gue lihat lo lagi ngobrol sama cewek-cewek. Siapa?"

    "Oh itu, namanya Popy dan Dewi,"
Dio mulai melahap rotinya.
Adam meneguk gelas tehnya dan berkata, "Ha? Kelas berapa?"

    "Kelas VIII B sih tadi mereka bilang."

    "Heh, berarti itu kakak kelas yang waktu itu jadi kakak pendamping di gugus gue waktu MPLS."

    Adam sedikit kaget.

    "Oh ya? Berarti kakak OSIS dong, tapi kenapa gue gak lihat dia pakai jas?"
Dio mengangkat sebelah alisnya, bingung.

    Adam mengangkat bahu sambil menyuap nasi goreng yang ia beli dan berkata,

    "Gak tahu, kayaknya pengen dibuka aja."

    Dio hanya diam dan terus melahap rotinya sampai habis.

    Setelah selesai makan, mereka kembali ke kelasnya dan bersiap-siap untuk menerima pelajaran dari guru. Sambil menunggu guru masuk, beberapa murid terlihat sedang mengobrol, sepertinya mereka mulai beradaptasi. Adam juga mengobrol dengan kawan lainnya di depan kelas. Dio hanya menghela napasnya dan melihat ke jendela kelas, ia menatap langit yang biru dan dihiasi dengan awannya yang menawan. Di pinggir Dio, seorang siswi memperhatikannya diam-diam.

    "Kenapa lo gak ikutan ngobrol sama yang lain?"

    Siswi itu melipatkan lengannya di meja sambil menatap Dio.
Dio menoleh dan berucap, "Lah lo sendiri juga sama."

    Cewek itu tertawa dan mengangguk.

    "Gue lagi malas ngomong aja sama yang lain," dia mengangkat bahunya.

    "Tapi lo ngomong, nanya ke gue."

    "Habisnya cuman lo sendiri yang gak ngobrol. Jadi penasaran, yaudah gue tanya."

    Dio hanya menghela napasnya dan tersenyum. Hal itu membuat siswi yang bernama Silvi tadi terdiam, karena tersentuh saat melihat senyumannya. Ia pun tersenyum sambil malu-malu. Sesaat kemudian terdengar bel masuk berbunyi, para siswa kembali ke kelasnya masing-masing. Begitupula dengan teman-temannya di kelas termasuk Adam yang langsung berlari menuju bangkunya dan segera duduk. Dio segera mengeluarkan buku dari tasnya dan siap mengikuti pelajaran dari guru.

***

    "Halo Bu, Dio pulang." Dio baru membuka pintu dan melepaskan sepatunya.

    "Hai anakku, nih ibu udah masak makanan kesukaanmu. Cuci tangan dulu dan ganti dulu bajunya ya!"

    "Siap Bu!" Dio segera menuju kamarnya dan mengganti baju.
Beberapa saat kemudian, Dio mengambil piring yang berisikan beberapa lauk favoritnya dan duduk di ruang keluarga. Rumah Dio memang cukup sederhana. Di dalamnya hanya ada lima ruangan. Satu ruangan untuk keluarga disatukan dengan ruangan tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur. Dio duduk bersama ibunya, karena ayahnya masih bekerja.

    Ibunya berkata, "Nak kamu sudah salat?"

    "Alhamdulillah sudah bu, tadi di sekolah." Dio tersenyum pada ibunya.

    "Syukurlah, dimanapun kamu berada dan sedang apapun itu, ingat salat itu nomor satu yang harus dilakukan ya!" Ibu Dio mengusap kepala Dio dengan lembut.

    "Siap bu!" Dio mengangguk.

    "Ibu mau lihat jemuran dulu, mungkin ada yang kering. Alhamdulillah ya Allah, hari ini cerah sekali." Ibu Dio segera berdiri dan pergi keluar rumah.

    Dio melanjutkan makannya dengan lahap. Ia sangat bersyukur, walaupun keinginannya tidak selalu bisa terpenuhi, apalagi karena keluarganya yang sederhana, Dio sangat senang memiliki ibu yang sangat perhatian padanya. Ibunya bagai malaikat yang selalu menerangi hati dan kehidupannya. Dio selalu meminta pada Yang Mahakuasa agar dapat selalu membanggakan kedua orang tuanya, yang selama ini selalu melindunginya, mendengarkannya, mengasihinya, dan juga merawatnya. Dio tersenyum saat memakan masakan yang telah dibuat oleh ibunya.

    Beberapa menit kemudian, Dio telah selesai makan. Ia pergi ke belakang untuk mencuci piring. Dia tidak pernah mengeluh untuk cuci piring, bahkan mencuci alat makan adalah salah satu hobinya. Ia selalu menikmati proses pencucian piring, karena menurutnya saat itu menggosok-gosok piring itu seperti DJ yang sedang memainkan mixpad. Setelah beres mencuci alat makan, Dio kembali ke ruang keluarga, ternyata di sana ibunya sedang membaca buku.

    "Wih ibu, lagi baca buku apa nih?"
Dio mengintip buku yang sedang dibaca oleh ibunya.

    "Eits," ibunya segera menutup buku yang ia pegang, "ayo coba tebak buku apa ini?"

    "Hmm," Dio memegang dagunya untuk berpikir, "pasti buku tentang masak, betul kan bu?"

    "Wah, gak seru nih sudah ketebak duluan. Pasti di awal sudah lihat bukunya ya." Ibunya nyengir dan menunjuk jahil pada anaknya itu.

    "Hehehe, iya tadi kelihatan sedikit gambarnya." Dio nyengir sambil memejamkan matanya.

    "Nah iya, ibu lagi baca macam-macam resep baru. Sini, Dio mau lihat?" Ibunya membuka kembali buku yang ia baca dan sedikit menyodorkannya.

    Dio duduk mendekati ibunya dan melihat isi bukunya. Ibunya tersenyum melihat ke arah anaknya.

    "Kamu harus rajin baca buku juga ya, baca apapun yang kamu sukai agar menambah ilmu," mendengar nasihat dari ibunya, Dio menoleh, "Dio suka buku apa?" Ibunya bertanya pada Dio, karena selama ini Dio belum terlalu suka untuk membaca.

    "Aku gak tahu Bu." Dio menatap kembali buku yang dipegang oleh ibunya.

    "Dio belum nemu apa yang disukai? Seperti ibu, kenapa ibu senang membaca buku ini, karena ibu suka masak." Ibu Dio mengacungkan bukunya.

    Terdiam Dio sedang berpikir sejenak, dan akhirnya berkata, "Dio suka sama langit, Bu. Dio suka bintang, bulan, awan, matahari, dan pelangi." Dio tersenyum saat menyebutkannya.
Ibunya tersenyum lebar dan berucap,
    "Nah berarti tentang itulah yang sebaiknya Dio baca."

    "Kenapa harus baca, bu? Kan langsung lihat langit juga Dio udah seneng kok." Dio sedikit cemberut. Sebenarnya Dio memang kurang suka membaca. Selama ini, Dio hanya membaca buku mata pelajaran saja, karena hal itu saja yang menurutnya harus dilakukan. Maka tidak heran nilai sekolahnya sewaktu SD selalu tinggi.

    "Dio sayang, membaca buku apapun itu sangat penting. Dio pasti akan lebih ngerti dan sangat senang kalau Dio tahu tentang apapun yang Dio lihat."
Dio bingung, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan oleh ibunya.

    Melihat hal itu, ibunya tersenyum dan berkata, "Gini, misalnya Dio lagi lihat pelangi dan kamu ngerasa seneng banget ngelihat warnanya yang bewarna-warni. Dio hanya ngerasa seneng saja, tapi gimana kalau Dio tahu kenapa bisa ada pelangi di atas langit?"

    Dio hanya diam menyimak apa yang ibunya katakan.

    "Adanya pelangi itu biasanya setelah turunnya hujan. Nah, jika hujan sudah turun, maka cahaya matahari akan mengenai butiran air hujan. Dio tahu enggak kalau sebenarnya cahaya matahari itu warnanya apa?"

    Dio menggelengkan kepalanya.

    "Cahaya matahari itu sebenarnya berwarna putih. Namun dapat diuraikan atau terpecah menjadi warna-warna yang lain. Nah, waktu cahaya matahari mengenai butiran air hujan, maka cahaya itu akan dibiaskan atau dipantulkan dan warnanya akan terpecah menjadi warna pelangi. Yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu atau yang sering disebut mejikuhibiniu."

    Dio membulatkan mulutnya.

    "Oh ternyata gitu ya bu, Dio paham bu."
    "Nah coba sekarang Dio bayangkan, gimana perasaannya setelah tahu kenapa bisa ada pelangi saat melihat pelangi nanti, dibandingkan dengan sebelum Dio tahu?"

    "Hmm, Dio pasti lebih senang bu, karena ngerti juga tentang pelangi." Dio nyengir tersenyum melihat ibunya.

    "Benar, banyak banget sebenarnya manfaat kalau Dio senang membaca. Dio juga akan tahu berbagai gugus dan nama-nama bintang di langit dan lain-lain. Terus harus lebih senang lagi, karena Dio tahu semua yang terjadi di alam ini, karena Allah Swt. telah menciptakan dan mengatur semuanya. Itulah yang disebut dengan tafakur. Yaitu memikirkan dan merenungkan apa yang telah Allah ciptakan. Enak bukan, sudah tahu tentang ilmunya, senang dengan melihatnya, lalu memuji Allah, dan mendapat pahala. Kita bisa lebih banyak menabung amal untuk masuk ke surga-Nya Allah kan?"

    "Wah, berarti banyak sekali manfaatnya ya Bu, waktu aku tahu banyak hal."

    Dio tersenyum sangat lebar sekali.

    "Betul, Dio mulai saja dari apa yang disukai, cari dan baca. Selain itu juga manfaat dari membaca adalah Dio akan tahu tentang cara melakukan sesuatu. Sama dengan ibu yang membaca buku ini," ibu Dio menunjuk bukunya, "ibu jadi tahu apa yang harus ibu siapin, dan lakukan untuk memasak makanan. Akhirnya dimakan oleh ayah juga Dio dan ibu mendapat pahala."

    "Asyik, Dio bakalan banyak baca Bu." Dio mengepalkan tangannya dan mengangkatnya.

    "Semangat Dio!"

    Ibunya tersenyum melihat anaknya yang baru beranjak remaja.
Dio jadi teringat bahwa ia belum memutuskan untuk masuk ekstrakurikuler apa di sekolah nanti.

    Maka, ia pun bertanya pada ibunya.

    ''Oh ya Bu, Dio bingung mau ikut ekskul apa di sekolah. Menurut ibu Dio masuk apa ya?"

    "Dio suka langit ya?"

    "Iya bu, Dio suka."

    Ia nyengir kepada ibunya.

    Beberapa menit setelah ibunya memberi saran dan berdiskusi dengan anaknya, maka genaplah hati Dio untuk mengikuti salah satu ekstrakurikuler yang ada di sekolahnya. Ia berencana untuk memberitahukan hal tersebut kepada temannya, Adam.

To YoungWhere stories live. Discover now