Tidak Untuk Tahun Ini

38 2 0
                                    




Dengan dipublishnya tulisan ini, gue memutuskan untuk menyerah dalam hal percintaan di tahun 2023 ini.

Pada suatu hari di Februari 2023, gue yang baru saja cabut dari konsultan arsitek pertama tempat gue bekerja, memutuskan untuk melakukan perjalanan ke kampung halaman nyokap gue di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Setelah beberapa bulan bekerja rodi tanpa cuti, akhirnya gue resign, dan menemukan hari dimana gue bisa melakukan perjalanan ke luar kota dengan tenang.

Ah, dan mungkin sekalian healing sejenak sebelum kembali bekerja. Fyi, gue juga baru lolos interview dan siap bergabung dengan Sinarmas Land di minggu yang akan datang. Ada beberapa tower kami yang tersebar di seluruh penjuru Jakarta raya ini, dan kebetulan gue ditempatkan di kantor pusatnya di Thamrin.

Gue memesan satu tiket kereta untuk diri sendiri. Bisa dibilang gue adalah orang yang cukup jago survive di tempat umum, dan gue juga sudah terbiasa commute by train di kehidupan sehari-hari untuk berangkat kerja. Tapi, entah kenapa di malam itu gue bingung setengah mati. Gue berdiri layaknya orang tolol didepan boarding area, sambil terbengong menatap dua papan penunjuk kereta Bogowonto dan Purwojaya yang sama-sama mengarah ke peron 2.

Dengan tingkat kesotoyan luar biasa, gue duduk di salah satu ruang tunggu sambil menimang-nimang tiket yang baru saja gue cetak. Benarkah ruang tunggu gue disini? Akan sangat tidak lucu kalau jam 12 malam buta ini gue salah menaiki kereta dan diturunkan di suatu stasiun antah berantah di Cirebon.

Akhirnya gue menelfon Kak Daffa, seorang eks rekan kerja yang cukup dekat dengan gue. Kebetulan di malam yang sama, dia akan pulang ke Jogja untuk menghadiri pernikahan temannya.

"Kak, kereta yang lu naik jam berapa sih?" tanya gue.

"Jam setengah satu malam, kenapa?"

Gue jelaskan dengan kemampuan verbal yang selevel ikan cere ini, bahwa ruang tunggu kereta ternyata digabung.

"Oh, serius? Gue gak tahu, ini aja baru mau otw."

Sial. Kututup telfonnya. Ternyata Daffa berangkat setengah jam lebih lama dari gue. Kami tidak akan bertemu. Akhirnya dengan pasrah gue duduk di suatu kursi panjang seperti orang hilang.

Dan disaat itulah gue bertemu dengan seorang cowok tinggi berjaket putih yang duduk tak jauh di sebelah gue. Demi menghindari jadi headline berita orang hilang dalam pencarian, gue memutuskan untuk bertanya pada cowok tersebut.

"Mas, peron ini bener buat kereta Purwojaya?"

Oh snap! Pada momen dia membuka maskernya, gue sedikit terpana oleh ketampanannya. Batin gue dalam hati: Yes! Ngobrol sama cowok cakep!

"Oh, bener mbak." Cowok itu tersenyum manis. Dan gue yang memang terbiasa berwajah jutek ini hanya mengangguk tak acuh sembari mengucapkan terima kasih.

Tapi tak disangka, percakapan mengalir. Gue hanya menjawab seadanya, sementara cowok itu malah excited berbicara dan bertanya berbagai macam hal, dari A sampai B. Cowok itu tahu berapa lama gue bakal stay di kota itu, kapan gue lulus, jurusan apa yang gue ambil, sampai kantor baru tempat gue bekerja.

Lebih tepatnya karena dikejar waktu, gue belum sempat bertanya banyak seputar dirinya. Kereta sudah hampir sampai, sementara informasi personal yang gue dapatkan dari dirinya hanyalah nama inisial dan universitas tempatnya berkuliah. Ada alasan gue tidak memberikan inisial huruf pada cowok yang kali ini, dan mari kita sebut saja dengan cowok tanpa nama.

Mendeskripsikan cowok tanpa nama ini cukup mudah, karena wajahnya cukup unik, dan postur tingginya mudah terlihat di keramaian. Matanya sipit, dan rambutnya cepak ala tentara. Ya, ternyata dia bersekolah di sebuah ikatan dinas terkenal di daerah Magelang, Jawa Tengah. Suatu kebetulan, bahwa kami sama-sama warga jabodetabek yang memiliki kampung halaman di daerah yang sama juga.

To All the Boys I've Loved BeforeWhere stories live. Discover now