"Saya ingin memiliki anak."
Theroz bergeming memandang retina tajam Isalynne. Penuturan tegas sarat makna tuntutan dari Isalynne sedikit membuat Theroz terkejut. Ini adalah kali pertama istrinya mengatakan sesuatu untuk ia lakukan.
Theroz menghela...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
≿━━━━༺❀༻━━━━≾
Theroz menghela napas dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamarnya. Matanya tampak sayu dengan pusat pikiran yang telah beradu.
Logika dan hatinya tengah bergejolak sesaat ia terbangun dari tidur singkatnya. Dilihat dari sudut pandangnya ke arah jendela kamar, matahari masih berada di langit meski aroma udara yang tampak menghantarkan semerbak senja.
Ia menghabiskan waktu saat matahari belum terbenam dengan Isalynne. Menikmati gejolak rasa yang terpendam. Meski tak kunjung mendapatkan balasan dari pengakuannya, tetapi Theroz merasa terbebas dari belenggunya.
Theroz memandang pada Isalynne yang tampak meringkuk tidur tenang di sampingnya. Wajah lelah dengan napas yang tenang dari istri cantiknya. Membuatnya tersenyum dengan perasaan campur aduk.
Kemudian, ia bangkit dan menoleh pada pintu kamarnya.
"Apa ada orang di luar?"
"Ya, Your Grace."
Suara sahutan Henry di luar kamarnya. Theroz mengangguk, ia mengusap lembut surai Isalynne sebelum membalutkan selimut dan memberikan kecupan. Lantas bangkit dari tempatnya dan mengambil jubah tidurnya.
"Makan malam akan segera siap, Your Grace."
"Siapkan kereta, Henry," sahut Theroz. Matanya sekali lagi memandang pada sosok istrinya. Ia mengeratkan jubah tidur itu untuk menutupi tubuh polosnya, dan berjalan menuju ruang pakaian.
"Katakan pada Jake untuk bersiap."
"Kemana Anda ingin pergi?" sahut Henry dengan suara sedikit lantang dari balik pintu.
Daging kalkun yang tampak menggiurkan sebagai hidangan utama telah disajikan. Deritan pisau yang beradu di atas piring memecahkan keheningan. Kadang kala terdengar dentingan atas beradunya garpu dengan piring, atau suara gemercik air yang dituangkan pada gelas.
Mereka yang sedang menikmati makan malam tak pernah sedikitpun mengeluarkan suara dari mulut mereka. Bahkan terlihat tenang dengan mata yang penuh kekosongan. Bak tak memiliki kehidupan.
David melirik pada kedua orang tuanya. Meski disibukkan dengan kelas penerus, ia tetap dapat mengetahui situasi sebenarnya di rumahnya. Diam-diam ia menghela napas berat, menyantap makanannya dengan tak selera.
Semua berawal dari kakak perempuannya, yang meninggalkan rumah tanpa meninggalkan jejak apapun. Hal tersebut membuat situasi di rumah terus dipenuhi kegelapan. Ayah dan ibunya terus berkelahi, akibat reputasi yang diujung tanduk.