Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Terkadang aku lelah jika harus terus-menerus menjawab pertanyaan mereka, pertanyaan yang sama saat kau berdiri disini."
✨
Siapa yang tidak kenal dengan Hanlim High School atau SMA Hanlim? Sekola menengah atas yang terkenal dengan siswa-siswi mereka yang pintar. Sekolah terkenal kedua setelah SOPA, di kota Seoul itu.
Park Jisung, didaftarkan ke sekolah ini oleh Renjun sebagai hadiah atas pencapaiannya di tingkat akhir masa sekolah menengah pertama dahulu. Prestasinya melejit tinggi, membuat Renjun tercengang dan memeluk tubuh Jisung bangga. Namun entah defenisi bangga yang bagaimana, Renjun tak yakin.
Sisi baiknya, Jisung bisa memanfaatkan fasilitas pendidikan ini dengan sebaik mungkin. Ia mencetak prestasi akademik terbaik ditahun pertama ia menginjakkan kakinya di sekolah Hanlim. Diusia enam belas tahun, Jisung sudah bisa meraih lima buah medali emas hasil olimpiade dan satu piala kejuaraan sepak bola yang ditandingkan antar sekolah.
Dan semua hasil prestasi itu, dengan senang hati dipajang oleh Renjun di ruang keluarga rumah keluarga Huang. Bersanding dengan beberapa medali emas dan perak milik Renjun dahulu, yang juga pernah memenangkan olimpiade dan perlombaan melukis terbaik.
Setiap Jisung berhasil atas pencapaiannya, Renjun akan menepuk-nepuk kepalanya sayang. Memeluknya sepanjang malam hingga membelikan apapun yang Jisung sukai. Dan ketika Jisung gagal ditengah perjuangan, Renjun akan berkata tidak apa-apa dan cobalah lagi.
Renjun tidak pernah memaksa Jisung untuk pintar, belajar, dan meraih semua prestasi itu. Pemuda Park itu sadar akan materi dan fasilitas yang sudah Renjun habiskan dan berikan padanya. Ia hanya ingin membalas budi pria yang dulu membawanya pergi dari jalanan. Walau itu takkan cukup, Jisung hanya ingin satu-satunya orang yang ia sayangi bangga akan dirinya.
Dan perlu dicatat, Jisung sama sekali tidak ingin mengecewakan keluarga nya yang sekarang.
..
Seperti biasa, dengan pakaian sekolah nya. Jisung berjalan dilorong sekolah dengan menggantungkan almamaternya pada lengan kirinya. Disekolah, Jisung cukup terkenal dikalangan seangkatan nya, guru-guru juga adik kelas.
Kini Jisung sudah menduduki tingkat akhir sekolah menengah atas, sekitar empat Minggu atau sebulan lagi ia akan segera lulus dari gedung dimana ia mencetak prestasi gemilangnya. Dan ingin masuk kedalam universitas terkenal di Seoul, entah itu Hanyang ataupun universitas Nasional Seoul.
"Oi, Park Jisung!!" Teriakkan melengking menyapa.
Membuat Jisung berbalik dengan malas, temannya yang satu ini terkadang tak bisa menjaga image coolnya selama disekolah. Selalu saja membuat malu, terlebih ketika ia bertingkah seperti anak kecil. Oh, jika saat itu terjadi Jisung ingin sekali menendang pemuda China bernama Zhong Chenle itu ke planet mars.
"Apa?!" Sahut Jisung ketus.
"Eyy, santai bung. Aku hanya ingin menyapa. Ayo, berjalan bersama ke kelas. Aku ingin menebar pesona ku pada mereka gadis-gadis penggemar ku."
Ya, inilah yang kurang Jisung sukai dari Chenle. Narsis. Sebuah kegiatan yang tak boleh tak dilakukan dalam keseharian seorang Zhong Chenle.
"Bisa tidak hari-hari mu diisi dengan hal-hal yang baik saja? Jangan narsis tolong, aku tidak ingin ikut lari lagi karena ulah mu seperti hari itu." Mendadak curhat, Jisung hanya mengeluarkan isi hatinya.
Chenle itu kadang terlalu tebar pesona hingga gadis-gadis itu mendadak menjadi zombie yang haus ketampanan mereka-bukan, hanya Chenle-lantas mengejar mereka hingga lantai dua gedung kelas.
"Tentunya tidak bisa, Park Jisung. Aku hidup untuk terkenal oke? Biarkan gadis-gadis itu menggila karena diriku,"
Jisung mengerling, "Terserah. Aku ingin menemui Yedam saja," katanya lalu berlalu dengan cepat.
Menyisakan Chenle yang pada akhirnya tak jadi menebarkan pesonanya pada gadis-gadis di lorong. Dan memilih pergi menyusul Jisung, ia merinding juga melihat senyuman para gadis-gadis itu.
"Err, mereka menyeramkan juga ternyata." Gumamnya.
✨
Renjun menduduki kursi kerjanya. Menghela nafas sejenak sebelum menepuk pipinya, memberi semangat pada diri sendiri. Entah mengapa, pernyataan Jisung beberapa lalu sangat menghantuinya.
"Apa aku begitu buruk dalam membagi waktu ya?" Monolog lelaki itu.
Tok!
Tok!
Tok!
"Tuan Huang, anda didalam?" Seseorang memanggil dari luar ruangan.
"Masuk." Suruh Renjun.
Na Jaemin, sekretaris pribadi Renjun sekaligus teman dekat pemuda Huang itu saat masa kuliah dahulu. Ia datang membawa beberapa berkas ditangannya. Dan Renjun tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Kau punya beberapa berkas yang harus ditandatangani dan meeting hari ini setelah makan siang." Jaemin tidak takut ketika tengah berbicara berdua begini. Karena Renjun sendiri yang meminta untuk berbicara biasa saja padanya.
"Huh, baiklah. Apa rapatnya begitu penting hari ini?" Tanya Renjun tanpa sadar.
Jaemin mengernyitkan dahi, "Tumben kau bertanya begitu? Biasanya juga gila kerja sampai larut malam kau baru pulang kan?"
"Iya sih, tapi--argh..."
"Tenanglah kawan, cerita pelan-pelan. Apa ada hubungannya dengan putra mu itu?"
Renjun mendelik, "Dia adikku ya, bukan anakku."
"Heh, entah sampai kapan kau akan menolak fakta itu. Jisung juga perlu kejelasan tentang statusnya dalam keluarga Huang." Jaemin menggeleng heran. Entah mengapa Renjun begitu sensi dengan embel-embel ayah ataupun papa.
Padahal pada kenyataannya, usia mereka terpaut jauh. Sangat tidak cocok untuk dipanggil dengan pasangan kakak beradik.
"Ah, sudahlah. Katakan saja apa rapat ini begitu penting? Kalau tidak cancel saja, aku harus ke sekolah Jisung siang ini untuk pertemuan wali murid."
"Sebagai papa nya?" Jaemin bertanya polos, membuat Renjun kesal setengah mati.
"NA JAEMIN!!"
✨
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.