Pencet dulu bintangnya!
Terimakasih! Happy reading guys!Pagi itu, keluarga Erland Juro sedang melakukan rutinitas pagi mereka, yaitu sarapan bersama. Baru ada Erland dan Jihan yang duduk di meja makan, Aruna masih sibuk membangunkan si bungsu yang masih molor.
Sembari menunggu kedatangan Aruna dan si bungsu Jafin—karena sarapan terlebih dahulu tanpa menunggu keluarganya lengkap tidak diperbolehkan Erland, terkecuali jika ada kepentingan di luar— Jihan memainkan sendok dan garpu yang ada di depannya.
"Ayah? Semisal kalo Jihan bawa motor sendiri boleh nggak?" Tanya Jihan, memutar-mutar sendoknya di atas piring kosong.
"Nggak, nggak, nggak. Ayah masih belum tega, jalan masih rame, sayang." Setelah menyeruput kopinya, Erland menggeleng.
"Ayah ih... Namanya juga jalan ya rame, jalan yang sepi ya nggak ada lah. Kalau nggak di bolehin terus kapan aku bisanya? Masa harus anter jemput mulu sih? Aku kan pengen bebas bawa motor sendiri gitu kayak anak lain."
Bukannya dia tidak mau diantar jemput, tapikan Jihan juga ingin merasakannya secara langsung, berangkat dan pulang sendiri.
"Kamu kan diantar jemput supir, Nak."
"Tapi kan tetep aja, kasian Pak Wisnu. Habis ngater aku, pulang, ngater Ayah ke kantor sekalian ngater Bunda ke butik."
Aruna yang mendengar keributan di bawah segera turun bersama si botot Jafin, masih dengan wajah bantalnya.
"Ada apa sih, Yah?" Aruna memundurkan kursi di sebelah Jihan, di tempati oleh Jafin. Anak laki-laki beda 2 tahun darinya itu memang duduk di sebelahnya, tapi tak berselang lama dia kembali melanjutkan tidurnya dengan memggolekkan kepala di atas meja.
"Itu, Jihan katanya pengen bawa motor sendiri. Ya Ayah nggak bolehin lah." Kata Erland, terus terang.
Seolah-olah Jihan baru saja melakukan suatu kesalahan yang fatal, Aruna langsung berkacak pinggang. "Kamu tuh belum tahu huru hara jalan! Kalau kenapa-napa gimana? Ngerem aja masih suka gelagapan, gayanya mau bawa motor sendiri. Nggak boleh! Kelas 12 baru Bunda bolehin. Ya, Yah?" Aruna bersungut-sungut.
Dan yang lebih parahnya Erland menyetujui perkataan Aruna. Seharusnya Erland itu mendukungnya, bukan malah berpihak pada Aruna.
Huh, ternyata Aruna hebat dalam hal memprovokasi ayahnya.
"Emang kenapa sih? Biasanya bareng Jeno. Kalian berantem?" Tanya Erland, heran tiba-tiba Jihan ingin membawa motor di luar perjanjian mereka dulu.
"E-enggak! Aku sama Jeno baik-baik aja. Tadi malam katanya mau berangkat agak siangan, sementara sekarang aku ada piket, tau!"
Erland sedikit curiga dengan gelagat Jihan, apalagi pandangan anak sulungnya berlarian ke segala arah. Tapi biarkan saja, namanya juga anak muda marahan pasti wajar, pikir Erland seperti itu. Tapi kalau jangka waktunya panjang ya harus dipertanyakan.
"Kayak biasanya, kamu nanti diantar Pak Wisnu, ya." Kata Erland.
"Ya udah deh, aku ngikut aja." Gadis itu mengangguk pasrah.
»»——⍟——««
Hari ini Jihan tidak langsung pergi ke kelas, dia melipir ke lokernya dulu untuk mengambil beberapa buku paket tebal untuk mata pelajaran hari ini. Tapi ketika dia membuka lokernya dan menemukan secarik kertas beserta susu kotak rasa vanila, Jihan sudah bisa menebak siapa yang meletakkan ini di lokernya.
Selamat pagi cantiknya Jeno ><
Kamu masih marah? Aku minta maaf soal percakapan kita kemarin. Bukannya aku nggak ngebolehin kamu pulang bareng Mark, cuma aku kan belum kenal dia seratus persen. Tapi kalau kamu percaya sama dia, aku yakin Mark pasti orang baik.
Jangan marah ya? Aku minta maaf:(
Nanti aku antar pulang, janji kok:))