dipagi hari ini Dinda bangun dengan perasaan yang tidak baik, dia mengusap wajahnya dengan kasar sebelum duduk di pinggir ranjang, kepalanya tertunduk dengan kedua tangannya yang menopang pada pinggiran kasur.
telapak tangan kanannya terangkat menyentuh dadanya, jantungnya berdegup sangat kencang sampai kakinya ikut bergetar ketakutan.
"kenapa harus mimpi itu lagi?" Dinda langsung menangkup wajahnya dan menangis detik itu juga, perasaan takut dan trauma di hatinya selalu muncul lewat mimpinya, itu benar benar bukan pertanda baik.
ketukan di pintu kamarnya membuat Dinda terperanjat, dia segera mengusap air matanya dan berlari untuk membuka pintu, sebelumnya dia berkaca terlebih dahulu agar tidak terlihat seperti habis menangis.
"ngapain sih Vi, masih pagi loh"
Via masuk kedalam kamar adiknya kemudian menyimpan nampan di atas meja tanpa memperdulikan kata kata adiknya, matamu masih pagi.
Dinda meregangkan ototnya sebelum duduk di sofa dan meraih roti buatan kakaknya kemudian menyeruput sedikit susu nya yang masih panas. Via malah duduk di pinggir ranjang, melihat ke sekeliling kamar adiknya yang sangat berantakan.
"aku tadi denger kamu nangis, ada apa?" tanya Via secara tiba tiba
Dinda tersedak mendengar lontaran pertanyaan kakaknya, dia menggeleng sekilas tanpa berniat menjawab, kenapa sih kamarnya tidak di desain kedap suara dia jadi tidak bebas untuk menangis dengan sekncang kencangnya, selalu saja kakaknya mendengar isakan tangisnya.
"kak Via ngapain sih selama ini bantu orang orang yang aku bully, harusnya kakak itu dukung aku."
"aku justru sedang mendukung kamu, lakukan apa yang kamu senangi sampai kamu puas melihat orang lain menderita, entah sampai kapan. kepuasan kamu tidak akan pernah terwujud, karena yang mau kamu lihat menderita itu dia." Via bangkit dari duduknya, dia pergi begitu saja tanpa menunggu balasan dari Dinda yang kini terdiam.
"aku puas melihat mereka tersiksa." Dinda tersenyum miring, namun setelahnya dia meringis sakit di tenggorokan nya karena tadi tersedak, dia cepat cepat meminum susunya, detik berikutnya matanya membulat sempurna.
"anjing, panas!"
°°°
"bunda." panggilan pelan dari Dinda mengalihkan pandangan wanita cantik yang tengah memotong bawang, dia tersenyum menatap putrinya yang masih dengan muka bantalnya.
"kamu kok tidur lagi sih tadi pas dibangunin kakak kamu, ini udah siang banget loh." ucapnya dengan lembut dan penuh kesabaran jika orang tua Dinda bukan lah dia mungkin sudah di cereweti habis habisan.
Dinda melihat irisan bawang tersebut sebelum menatap Wati, sang ibunda. "ini kan hari libur bunda, aku mau tidur seharian." setelahnya dia duduk di kursi pantry menyaksikan bagaimana ibunya mantan chef itu memasak.
Wati hanya menggeleng gelengkan kepalanya, "bantu bunda dong masa liatin doang."
"aaa bundaa."
"manja banget sih lo! bukannya bantu durhaka banget." seorang pria tinggi muncul dengan pakaian casis nya, terlihat dari keringatnya yang bercucuran dia pasti baru selesai berolahraga.
"apasih bang, dateng dateng" Dinda memutar bola matanya dengan malas, dan kembali menatap bagaimana ibunya yang masih mengiris sebuah bawang, kenapa bisa gerakannya cepat sekali.
"sudah sudah, kamu bantu bunda aja."
"abang baru selesai lari bunda, keringetan mau mandi dulu." Dimas, anak tertua dari keluarga pratama itu mencium pipi kiri Wati sebelum lari menuju kamarnya.