Terkadang semesta tak mau tahu akibat keputusan yang ditakdirkan manusia, menyerahkan semua tanggung jawab tanpa tanda tanya mengiringi jalan cerita.
Langkah demi langkah menyerat ruang derita, menjadi beban ujian yang tak dikira. Satu persatu kerikil tajam ujian semesta menjadi batu sandu tanpa dijeda. Membiarkan langkah itu diseret paksa, jikapun jatuh di tengah terjangan luka, hanya tangan yang mampu menggerakkan kaki untuk berdiri kembali melangkah.
Tak akan ada yang bisa membantu selain diri sendiri, dan Candra berusaha tegak kembali setelah gagal mewujudkan harapan orang tuanya.
Buku-buku tebal berjajar rapi di rak buku tinggi dan memanjang di kamarnya. Buku berbagai bidang ilmu memenuhi ruang rak tanpa sisa. Jangan harap menemukan buku cerita, ataupun poster idola yang biasa di koleksi remaja sekarang, melainkan hanya buku berhubungan dengan akademik yang terpajang di sana.
Mungkin remaja pada umumnya berpikir, sangat membosankan membaca buku pelajaran, tapi bagi Candra membaca buku-buku itu adalah temannya dikala sepi.
Detik jam berlalu meninggalkan masa lalu, memperingati kehidupan baru memulai takdir yang akan diterima.
Tumpukan buku di atas meja belajar menandakan telah dibaca oleh pemiliknya.Tinggal satu buku di tangan Candra yang masih setia di pegangannya, membuka lembaran baru untuk mengetahui isi di dalamnya.
Candra berhenti membaca ketika kerongkangannya kering ingin dibasahi air, melirik nakas yang terdapat botol minum di sana.
Mengambilnya, menghela napas mengetahui kosong di dalamnya. Mau tidak mau Candra harus turun ke bawah.
Candra keluar dari kamar, berjalan perlahan, menyusuri tangga sambil melihat ke bawah yang sepi tanpa tanda kehidupan.
Candra sudah terbiasa ditinggal tanpa ada yang menemaninya, memang Candra harus tahu diri kenapa ditinggalkan. Tapi di lain sisi, Candra tidak suka kesendirian, biarlah keluarganya acuh tak acuh akan kehadirannya, asalkan mereka tetap ada di dekatnya.
Sesampainya di dapur, Candra langsung membuka kulkas, mengambil air dingin, lalu meminumnya sampai lega. Setelah itu, Candra memutuskan pergi ke depan, ingin menghirup udara segar di luar.
Namun langkahnya terhenti, saat mata nya melihat sebuah lukisan di ruang keluarga. Matanya berbinar, melihatnya. Di dalam lukisan itu, menggambarkan sebuah pantai indah di depan matahari yang akan tenggelam.
Candra jadi ingat janji kakak Bagaskara kemarin, tapi mereka tidak jadi pergi karena mama dan papa mengajaknya liburan. Kalau ditanya iri, pasti iri, tapi Candra tidak mempunyai hak untuk membuktikan dia pantas mendapatkan apa yang dimiliki Kakak Bagaskara.
Nilainya saja mengecewakan mama dan papa, tidak pantas rasanya meminta haknya disamakan dengan Kakak Bagaskara.
Tiba-tiba ide muncul dibenaknya, menatap lukisan pantai itu dengan semangat, tersenyum ceria dengan rencananya.
Candra memutar tujuan ke kamar, masuk ke dalam mengganti pakaian, memasukkan hand phone dan dompetnya ke dalam tas sandangnya, setelah dirasa telah lengkap, ia pergi keluar rumah, menunggu taksi yang akan mengantarkannya ke tempat yang ingin dia kunjungi.
Tak lama setelah itu, taksi yang ditunggu datang, Candra masuk ke dalam. “Pak antar saya ke pantai, ya?” pintanya.
Pak supir paruh baya di depan melihat bangku penumpang, membalas senyuman Candra. “Pantai yang di mana, Dek?”
Candra mengkerutkan keningnya, lupa kalau dia tidak pernah ke luar rumah selain ke sekolah. “Saya nggak tau, Pak. Hmmm, kalau Bapak tau nggak pantai yang nggak jauh dari dareh sini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...