1. Hutan Lebat

29 2 3
                                    

Akhirnya suara bell yang menandakan jam pelajaran sekolah usai, terdengar menggema di setiap sudut sekolah. Aku pun segera merapikan buku dan peralatan tulis ku, untuk ku simpan kembali ke dalam tas sekolah. Rasa jenuh mengikuti kelas Pak Ditto, guru matematika kami, membuat Aku tersiksa sepanjang pelajarannya. Pasalnya Pak Ditto, merupakan guru yang membosankan saat mengajar. Ia akan bertanya pada kami, tentang pelajaran yang diajarkannya pada kami. Namun, pertanyaan itu, dia juga yang menjawabnya sendiri. 

"Mampir makan gorengan dulu, yok, Na," ajak Gina, teman sebangku ku. 

Aku dan Gina, sudah menjadi teman sebangku sejak kami duduk di kelas satu hingga sekarang. Kami berdua menjadi dekat, karena memiliki tanggal ulang tahun yang berbeda satu hari. 

Aku hanya bisa tersenyum tipis, menjawab ajakan sahabatku itu. Sebab, uang saku yang diberikan ibuku setiap hari, hanya sebanyak seribu rupiah dan tak pernah lebih. Aku pernah protes dan menangis, saat meminta uang saku ku untuk di naikan. Karena selama hampir tiga tahun aku menjadi siswi SMP, uang saku itu tak kunjung naik. Namun, bukannya mendapatkan apa yang aku inginkan, aku malah mendapat hadiah gagang sapu melayang ke tubuhku beberapa kali. 

Ibuku, seorang janda yang bekerja serabutan. Penghasilannya yang jauh dari kata cukup, harus benar-benar ia hemat untuk menghidupi aku dan kedua adikku yang masih kecil. Sering menunggak uang SPP, aku selalu langganan nyinyiran oleh wali kelas yang berkata, "Kalau, tidak sanggup sekolah disini, jangan sok-sokan sekolah disini!" Begitulah kata-kata yang sering diucapkan di depan semua teman sekelasku. 

"Na, kita jadi kerumah, Dian?" tegur Sissy, sahabatku. 

Disekolah ini, aku memiliki anggota geng yang berjumlah tujuh orang. Namun, yang aku anggap benar-benar teman baikku, hanya Gina dan Sissy. Sebab hanya mereka berdua saja yang tampak tulus berteman dengan diriku. Tidak seperti keempat teman ku yang lain, mereka seakan terpaksa menerimaku kehadiranku. 

"Iyah, jadi," jawabku tersenyum sumringah. Sebab aku jadi punya alasan, untuk menolak ajakan Gina. 

"Tapi kita makan gorengan dulu ya, Na," rengek Gina menggandeng tanganku. 

Malu, itu yang aku rasakan. Aku sulit menjawab ajakan Gina, sebab tak memiliki lagi sisa uang jajan. Uang seribu yang ku miliki, sudah habis ku belikan keripik lidi di kantin saat jam istirahat tadi. 

Aku berharap Sissy menyelamatkanku di waktu seperti ini. Sayangnya, Sissy yang memiliki wajah manis, memiliki kelemahan, yaitu lemot. Jadi, mau kode apapun yang aku sampaikan padanya tak pernah sampai pada dirinya. 

"Makan gorengan? Ikuuut …," ujar Sissy dengan manja. Sesuai dugaanku, anak itu tak mengerti akan kode gelengan kepala yang ku berikan. 

Aku terjebak diantara dua sahabatku ini. Bahkan empat teman gank kami, ikut untuk bergabung untuk menikmati jajanan tersebut. 


Sesampainya di warung gorengan, para siswa lain sudah mulai memenuhi warung kecil tersebut. Ke enam temanku pun mulai menyebutkan pesanan mereka pada Gina, agar ia pesan. 

"Na, pesan apa?" tanya Gina menatap ke arahku. 

Menahan malu, aku memberanikan diri berbisik di kuping Gina, "Aku gak ada uang jajan lagi, Gin." 

Gina yang antusias, mendadak mematung. Aku mulai menjauhkan diri dari Gina. Namun, betapa terkejutnya aku akan kehadiran Sissy yang ikut menguping bisikanku.

"Ya, udah nanti kita kongsi aja, ya," tawar Gina tersenyum ramah padaku. 

"Gak usah! Udah pesan aja, Na. Aku yang bayar," kata Sissy yang mengetahui masalahku. 

Mendengar Sissy mentraktirku. Senyum sumringah terbit di bibirku. Entah mengapa, setiap Sissy menawarkan sesuatu padaku, aku tak memiliki rasa malu sedikitpun. Tak hanya soal jajan, Sissy bahkan sering membelikanku aksesoris yang sama persis dengan miliknya. Sama seperti saat ini, gelang, anting, cincin, kalung, bahkan sampai pin yang melekat di baju dan tasku, merupakan pemberian dari Sissy semua. Sissy bahkan rela mengikuti potongan rambutku, agar kami semakin terlihat seperti anak kembar sungguhan. 


Selesai makan gorengan yang digunting dan diberi saus berwarna coklat yang rasanya gurih dan pedas. Kami pun memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Kecuali aku dan Sissy, kami berdua akan main ke rumah, Dian. 

Di rumah, aku dan Sissy mempunyai geng lain, yang beranggotakan lima orang. Jika di sekolah aku hanya merasa di anggap oleh Gina dan Sissy saja, berbeda dengan geng kami yang ada di rumah. Kelima sahabatku ini, sudah aku anggap seperti kakak dan adikku sendiri. Padahal jarak rumah kami satu sama lain, tidak saling berdekatan. Melainkan terpisah beberapa gang yang lumayan buat kaki pegel jika kau mengunjungi satu sama lain. 

Rumah bercat putih yang memiliki empat tingkat, menjadi akhir perjalanan kami di siang yang panas itu. Beruntung saat kami datang, tantenya Dian sedang ingin keluar rumah. Jadi kami tak perlu repot-repot memanggil gadis yang bertubuh tinggi itu. Aku dan Sissy, langsung naik ke lantai tiga, menuju kamar Dian berada. 

Sesampainya di kamar Dian, kami berdua tak menemukan sosok gadis jangkung tersebut.  Namun, dari dalam kamar mandi kami mendengarkan suara Dian yang tengah menyanyi. Merasa lelah karena panas-panasan menuju kemari, aku pun merebahkan diri ke ranjang milik Dian sambil membaca komik. Sedangkan Sissy sibuk merapikan meja rias Dian yang berantakan. 


"Ngapain Sih, Jon? Rajin amat," ujarku menegur Sissy, memanggil nama ayahnya. 

"Ini, sakit mataku lihat kamar Dian, berserakan. Anak gadis kok begini." Jawab Sissy menggerutu, tapi tetap merapikan benda-benda yang berserakan. 

"Udah biarin aja. Biar ada kerjaan si Dian di rumah. Sini ikut rebahan enak," tawarku pada Sissy. 

Sissy tak menjawab, ia tetap sibuk merapikan meja rias Dian yang berantakan. 

Suara pintu kamar mandi terbuka, Dian melangkah menuju meja rias. Seakan tak menyadari keberadaan kami, Dian masih menari-nari di depan cermin yang cukup besar. Sissy yang tengah berjongkok di samping meja rias, menahan tawa karena tingkah laku konyol Dian. Begitu juga diriku, yang sudah tak fokus lagi akan, komik yang kubaca. 

Puas menari-nari sendiri, tiba-tiba Dian membuka handuknya tepat di hadapan Sissy. Sissy yang masih berjongkok di depan Dian, lantas menjerit. Pasalnya wajah Sissy tepat berhadapan langsung pada bagian intim Dian. Dengan mata telanjang, Sissy di hadiahkan pemandangan hutan hitam yang sangat lebat milik Dian. 

"ASTAGFIRULLAHALADZIM!" 

"Tuhan Yesus!" 

Teriak Sissy dan Dian bersamaan. 







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang