Satu

247 26 3
                                    

      Nggak ada yang lebih Injun sesali kecuali saat mendengar kabar kalau Mark menghilang, benar-benar seperti ditelan bumi. Dia baru saja bangun dari koma yang lamanya sebulan itu, lalu mendengar kalau Mark gak bisa dihubungi dan kak Tirta juga enggan buka mulut soal hilangnya Mark, begitu juga dengan keluarganya. Injun jadi bengong seharian itu, memikirkan alasan Mark 'kabur' yang tidak dia temukan jawabannya.

Kecelakaan itu sudah satu tahun berlalu, Mark belum kelihatan batang hidungnya dan Dreamies memutuskan untuk hiatus dengan alasan pemulihan kesehatan mental dan fisik pasca kecelakaan. Injun sudah berkali-kali datang ke rumah Mark dan memohon pada ayah, ibu dan adik Mark untuk buka suara soal keberadaan Mark. Tapi mereka tetap tidak mau bilang apa-apa.

Injun lagi ada di gazebo taman kampusnya, menatap serius laptop di depannya, dia sesekali akan menyentuh layarnya atau memegang dagu –gaya khasnya saat berpikir keras. Itu tugas desain dia yang akan jadi nilai UAS-nya nanti, dosen memberikan waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut dan tersisa waktu tiga hari lagi, makanya Injun berusaha keras menyelesaikannya. Saat sedang asyik mikir enaknya itu desain ditambahin apalagi, ada sebuah kaleng dingin yang menyentuh pipinya, bikin Injun hampir loncat dari tempatnya duduk.

"Ngagetin lu anjir!" umpatnya pada orang iseng yang menempelkan coca cola pada pipi gembul Injun.

"Hehe, sori. Abisnya lu serius banget dah, sampe mengerut-kerut itu jidat."

"Ya namanya lagi ngerjain UAS, bre. Pasti serius lah."

"Basecamp kuy! Udah lama gak ngumpul, hubungin anak lain gih."

"Nanti aja pas beres UAS, Jen."

Jujur saja Jeno kangen ngumpul di basecamp pulang sekolah dan main PS terus tanding PES, nanti yang kalah traktir mekdi atau nasi padang. Sekarang Dreamies sudah sibuk masing-masing dan susah buat kumpul kayak begitu lagi. Jadi, karena Injun gak mau diajak santuy di basecamp, Jeno duduk di samping Injun dan nonton cowok mungil itu beresin desainnya sambil minum coca cola yang tadi dia beli di kantin fakultasnya.

Injun dan Jeno yang masuk ke kampus yang sama itu sebenernya memang sudah rencana dari dulu. Berangkat dari mereka yang sama-sama ingin ngebanggain papanya, Injun sama Jeno akhirnya milih ITB sebagai kampus impian yang syukurnya mereka masuk lewat nilai rapor. Kalian boleh tanya Echan atau Nana tentang kepintaran Injun dan Jeno, mereka pasti bakal kompak menjawab kalau Injun dan Jeno adalah duo genius. Vokalis dan bassist Dreamies ini selalu dapat rangking tiga besar, jadi gak heran kenapa mereka bisa masuk ke salah satu kampus top di Bandung ini.

Habis desainnya kelar, injun baru bangkit dari duduknya buat cari makan siang karena perutnya sudah keroncongan, Jeno yang dari tadi Cuma nungguin sambil ngelamun ikut bangkit dan ngintilin Injun dari belakang.

"Maneh ngikutin urang mulu anjir."

"Urang gak punya temen lagi," kata Jeno sambil cemberut.

Yang lebih tua malah menatapnya dengan sinis. Lalu meninggalkan Jeno beberapa langkah di depan.

"Injun, tungguin!" teriaknya.

"Sudah berapa kali urang bilang, it's Juna, not Injun!" Injun balik teriak.

"Tapi kan Injun petnames dari Dreamies buat lo."

"Terserah."

Injun sudah malas berdebat karena dia benar-benar lapar sekarang, dia butuh tenaga untuk berdebat dan bertengkar dengan Jeno lagi.

***

      Echan hari ini memutuskan buat pergi ke BungsuNa biar dapet makan gratisan dari Nana. Adiknya Jean itu memang beberapa kali ngasih diskon –bahkan gratisan ke member Dreamies karena menurutnya itu bentuk rasa terima kasihnya atas bantuan mereka selama ini yang sebenernya gak bisa dihitung pakai rumus matematika mana pun. Ada yang berbeda dengan hari-hari biasanya waktu Echan jalan ke meja yang sering dia dudukin.

"Weits, bro. Ke mana saja?" Echan buru-buru mendekati cowok yang sedang memakan salad itu.

"Aa kali yang ke mana saja, aku mah ada saja di rumah –sama di kampus sih."

"Ya kan kampus kita beda, Le. Kita sudah jarang ketemu, apalagi di basecamp, semoga dah tuh rumah gak runtuh."

"Gak akan atuh, A."

"Iya sih, udah lanjut makannya."

Mereka kemudian makan dengan khidmat, tanpa suara obrolan heboh yang biasa Echan keluarkan seperti biasanya. Lele sesekali mengecek ipad-nya, sepertinya dia sedang mengerjakan tugas di sana. Sementara mereka makan dengan tenang, Nana datang ke meja pojokan itu dengan celemek khas BungsuNa yang melekat di tubuhnya. Tadi Rossa –kasir BungsuNa yang bekerja siang ini bilang kalau ada dua temannya yang berkunjung.

"Oi!" seru Nana sambil menggebrak meja dengan pelan, tapi cukup buat bikin Echan yang lagi makan kwetiau goreng itu kaget.

"Anjir gue kaget ya, Nana," protes Echan.

"Lagian lo itu kalau ke sini bayar kek, mau bikin bangkrut gue hah?"

"Ih kan harga teman."

"Kagak begitu konsepnya anjir."

Tiba-tiba Lele menyodorkan kartu kreditnya, terus bilang, "Satuin saja sama punya aku, A."

"Anjir Le! Gue gak semiskin itu anjir, urang mau bayar kok. Tapi kalau dibayarin lebih bagus sih." Vokalis Dreamies itu malah nyengir dan lanjut makan kwetiau gorengnya, sementara Nana tepok jidat.

"Gak papa ini Le?"

"Ya gak papa atuh, A. Kan Aa bikin usaha buat ngehasilin uang, kalau nggak nanti bangkrut."

"Yeu, malah ngebalikin kata-kata urang lu."

Lele Cuma bisa nyengir, sementara echan dengan watados-nya malah lanjut makan.

***

      Mari kita lihat apa yang dilakukan si bungsu. Jindra sekarang lagi sibuk jualan online, sayur di kebun belakang rumahnya tubuh subur, jadi Jindra bilang ke bundanya kalau dia punya ide buat dijual saja sebagian. Lumayan buat tambah uang jajan, katanya. Karena bunda memberikan semua uang hasil jualan itu ke Jindra.

"Bunda, bayamnya ada yang beli dua ikat, nanti ada yang ngambil ke sini. Kankungnya lima ikat, nanti ada yang ngambil juga. Aku mau berangkat, kayaknya pulang malem jadi jangan tungguin aku pulang ya," kata Jindra panjang lebar, diakhiri dengan mencium pipi bundanya.

Jindra memang pinter karena bisa loncat kelas waktu smp, ternyata keberuntungan itu terulang dan bisa membawanya ke kampus negeri bergengsi di Bandung walaupun lewat jalur tes. Jindra inget banget waktu dia buka pengumuman, dia nangis sampe harus dipeluk bunda.

Berbeda kampus dengan kakak-kakaknya di Dreamies bikin Jindra harus mulai lagi membuat jaringan pertemanan. Sebenarnya hal ini cukup melelahkan buat Jindra yang introvert, tapi dia senang bisa masuk ke jurusan yang dari dulu dia impikan dan bisa banggain bunda.

"Siang, Jin," sapa salah satu teman sekelasnya yang perempuan.

"Udah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku jin karena aku bukan jin."

"Oh, come on, it's cute, tahu."

"Terserah ya, bule."

Teman perempuannya yang satu itu memang punya darah turunan Amerika dan bikin dia menggemparkan seisi tekpang waktu hari pertama resmi jadi mahasiswa. Padahal Jindra juga bikin gempar karena jadi mahasiswa termuda di jurusan mereka.

"Jangan bilang tugas lo dari pak Gandri belum?"

"Dih, enak saja. Aku sudah ngumpulin dari dua hari yang lalu tahu."

"Well, as expected from 'loncat kelas' student. Tapi bagus sih, berarti lo free dan bisa bantuin gue bikin tugas pak Gandri kan? Great. Nanti gue traktir mie tekpang."

Belum juga Jindra menjawab, Santya sudah seret cowok jangkung itu ke kelas mereka yang baru saja ada 3 murid yang dateng kepagian.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang