Bab 30

58 6 1
                                    

Tertidur hanya membuatmu semakin jauh dari rumah, nyawa bisa berlarian ke mana saja mengikuti pikiran. Maka kamu harus terus hidup, walau dalam sebuah kotak.

SUCI
~~~

Samantha menggeliat lepas terganggu akan sesuatu yang menyentuh kakinya. Kedua matanya mengerjap sesekali seperti hendak terbangun, dan terjadilah. Punggung tangannya menyeka sedikit keringat di pelipis. "Nelli?"

Menunggu sesaat tak kunjung disahut. Niat hati menyalakan lampu tidur di atas nakas, lalu justru ditemukan ibunya berdiri di sudut ruangan. "Mamah? Itu dirimu?"

"Hei, Nak!"

Benar saja, jelas sekali itu ibunya. Dan senyumnya mengembang. Kedua tangannya terentang menunggu dekapan. Terwujud juga harapan itu, karenanya sosok tersebut melakukan.

"Kau merindukanku, Sam?"

"Tentu, Mah! Mamah sudah membaik?"

"Ya, jauh lebih baik." Senyuman Kerry tersirat dalam-dalam, "kenapa menangis?" tanyanya.

Bahkan Samantha tidak menyadari bahwa dirinya menangis. "Maaf, Mah. Aku sangat senang bisa memelukmu lagi," jawabnya dengan menengadah pada posisi masih memeluk.

"Jangan khawatir, aku akan selalu menemanimu, Sam. Kita akan pergi bersama-sama."

"Pergi? Aku mengantuk, bisakah kau temani aku tidur? Sekarang aku ingin dibacakan cerita dongeng."

"Tidak, Sam. Tidak ada dongeng."

"Kenapa?"

"Cerita dongeng hanya ditunjukkan pada akhir yang bahagia, untuk anak-anak. Kamu bukan lagi anak-anak, jadi tidak butuh itu."

"Tapi, aku selalu suka saat mamah melakukannya.*

"Melakukannya? Seperti menceritakan dongeng saat kau hendak tidur?"

"Ya. Tentu saja! Kenapa tidak?"

"Tidak, Sam. Begitu bukan caranya." Dekapan Samantha dilepasnya, beralih pada mencengkram tangan tuk mengajak bangkit. "tertidur hanya membuatmu semakin jauh dari rumah, nyawa bisa berlarian ke mana saja mengikuti pikiran. Maka kamu harus terus hidup, walau dalam sebuah kotak."

Samantha mengernyit. "Aku tidak mengerti, Mah."

"Biar ku tunjukkan."

Dalam satu kedipan mata, Samantha ditarik berpindah dari tempat semula ialah kamarnya menjadi ke dalam sudut sempit. Bentuknya persegi sempurna, tanpa lubang. Tubuhnya mesti meringkuk agar masuk. Dan ia terkejut, tanpa aba-aba sudah berada di dalamnya.

"Mamah? Ada apa ini? Kenapa aku berada di sini?!" Dihantam kotak persegi berlapis kayu itu dengan kaki dan tangannya sebisa mungkin. "MAMAH?! TOLONG AKU!"

Teriakannya sia-sia sebab keberadaannya adalah ketidaksadaran jiwanya. Sejenak tampak membaik, sampai air berwarna pekat membuat paniknya menjadi. "TOLONG! MAMAH? KAU DI LUAR SANA? NELLI! TOLONG AKU!"

Ketinggian dari air yang terkumpul tidak lama lagi menenggelamkannya. Jika benar-benar tidak ada seseorang yang menolong, habislah riwayatnya sudah. Dan itu adalah gambaran paling menyeramkan dalam pikirannya.

Walau hening dapat ditangkap sayup-sayup seruan dari sumber buta. "Aku sangat mencintai anak-anak. Mereka adalah penerus keturunan, dan pantas berkembang. Seperti dirimu ... Maka akan ku buat kau merasakannya juga!"

ΩΩΩ

"Maafkan Ibumu ini, Nak. Mengandung mu sudah cukup membuatku menderita. Dan aku tidak sanggup bila harus membesarkan mu juga," kata wanita perawakan kotor tak terurus pada bayi di tangannya.

"Dunia bukan tempatmu hidup. Maka lebih baik kembalilah ke surga.

Cukup, Nak. Bagaimana bisa kau menjalani kehidupan bila sesaat keluar dari perutku saja sudah menangis?

Astaga! Berhentilah menangis!" Frustasi akan tangisan bayinya sendiri, semula digendong satu tangan berpindah menjadi direntangkan kedua tangan ke atas. Lalu diayunkan asal di awang-awang seraya meracau. "seperti ini, ya? Sekarang kau akan berhenti menangis?"

Bayi yang baru saja dikeluarkan oleh Ibunya sendiri beberapa jam lalu, tampaknya terlahir tidak beruntung. Darah-darah masih menempel di seluruh tubuh bayi tersebut, juga dengan tali pusarnya. Dan tidak seperti yang dibayangkan Ibunya, justru bayinya semakin menjadi. Meraung keras di tengah malam pada sebuah gubuk bambu.

"JESUS!" tulahnya seraya melempar tubuh bayinya sembarang sampai menyentuh bumi cukup keras.

Lantas dirinya merajam rambut kuat-kuat dan menangis. Sesekali berteriak mengeluarkan sumpah serapah tanpa mengkhawatirkan pendengar. Tubuh kurus kering berlumuran darah dan kotor tak dipedulikan. Hidup yang membuatnya demikian. Sampai kenikmatan akan kematian sekelibat dibayangkan.

Dilihatnya bayinya yang masih menangis di sudut sana. Langsung saja potongan memori akan asal-usul kenyataan kini, kembali dihadirkan. Sebab ia bisa mengandung dari keteledorannya sendiri menjaga diri tanpa tahu sesiapa pelakunya, hingga bagaimana perjalanan hidup dijalani selama perutnya membesar. Olok-olokan mereka telah dikonsumsi secara rutin. Berpindah-pindah tempat pun rasanya sekejap mata. Baginya ia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk merasakan neraka lebih dulu.

Kemudian ia merangkak hendak menghampiri bayinya, diambil lagi satu tangan sang bayi dan diangkat ke atas. Lidahnya menjulur menjilati sebagian tubuh bayinya, mengisap noktah darah yang tersisa. "Sebelum mengembalikan mu, aku akan membersihkannya dulu," katanya rendah. Tak hanya itu, ia pun menenggelamkannya pada bak mandi dari bambu yang terisi air penuh, sampai tangisan bayi tak menggelegar lagi. Sambil ia berkata, "Selamat jalan, Sayangku. Kamu terbebaskan." lalu menyeringai puas.

Setelah kembali hening, hanya detak jantungnya sendiri yang berbunyi, keningnya mengerut heran. Matanya nanap pada jasad bayi tersebut. Seakan beton bertulang jatuh di atas kepalanya, kewarasannya kembali. Jerit tak terbendung sebab menyadari bahwa ia baru saja membunuh keturunan darahnya sendiri. Satu-satunya bagian keluarga walau diundang tak sengaja. Penyesalan merobek raganya habis-habis.

"Anakku ... Bangunlah!

Hei, Nak. Kau dengar Ibu?

Bernapas, Nak. Bernapas!" Memukul-mukul dada bayinya sebagai upaya tak membuahkan hasil.

"ANAKKU!!!"

TO BE CONTINUE!

© Copyright : 13 April 2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang