BAB 6

782 129 4
                                    

Tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia pulang bersama Hinata. Gadis itu bilang, dia akan membantu Naruto, sebelum akhirnya pergi ke kantor, karena ada pekerjaan mendesak siang ini. Meskipun Naruto sudah menyarankan sebaiknya Hinata mengambil libur atau cuti.

Begitu masuk, Naruto dikejutkan oleh kehadiran ibunya di depan pintu. “Kau dari mana saja semalaman tidak pulang dan bau alkohol?” suara wanita itu keras, bukan hanya membuat gendang telinga itu sakit, tetapi jantungnya nyaris copot. “Kau minum semalam? Tidak kerja sekarang?”

Hinata yang tidak menyangka ada ibu Naruto, tiba-tiba mundur, lalu membungkuk untuk memberi salam. “Selamat pagi,” dia meneliti wanita di depannya yang termenung, mungkin terkejut putranya pulang dengan seorang wanita. “Saya sekretaris Pak Uzumaki, nama saya Hinata Hyuuga.”

“Oh, Ms. Hyuuga,” Kushina melewati Naruto, malah mengajak Hinata masuk ke dalam. “Kemari, kemari, aku sudah mendengar tentangmu banyak sekali dari seseorang,” Hinata melirik Naruto takut, berpikir pasti ada yang salah—apakah Naruto menceritakannya kepada sang ibu. “Kau mau minum teh? Astaga, kau berantakan sekali. Apakah kalian bersama semalaman?”

“Tidak, karena Pak Uzumaki—”

“Hinata!” tiba-tiba saja Naruto berteriak, menarik Hinata, untuk diajaknya keluar sebentar. Saking terkejutnya, Hinata tidak melanjutkan untuk bercerita. “Sebentar, sebentar, aku pinjam dia sebentar.”

Begitu sampai di luar, Hinata bertanya, “Terjadi sesuatu?”

“Jangan katakan apa pun soal mabuk sampai masuk rumah sakit,” kata Naruto, dia terlihat sangat ketakutan. “Ibu, tidak suka kalau lihat aku mabuk berat. Dia pasti akan menangis, dan mulai melarang ini-itu. Jika hal itu sampai terjadi, aku mungkin tidak bisa minum lagi.”

“Bukankah itu bagus?”

“Apa?”

“Iya, agar kau tidak membuat ulah. Kau hampir menewaskan dirimu sendiri karena minuman keras. Kalau aku jadi ibumu, aku juga bakal melarangmu untuk minum. Sebaiknya, aku memang harus memberitahunya, ‘kan?” muka Naruto memerah, membayangkan betapa senangnya Hinata mengkhawatirkannya—bukankah melarang terkadang terlihat seperti kepedulian yang samar. “Kau kenapa? Apa demam lagi?”

“Tidak,” Naruto menunduk, persis seperti anak kecil yang kelewat senang. “Aku hanya senang karena kau peduli padaku.”

Kushina tiba-tiba berdeham. “Kalian sudah selesai berbicara?”

“Ah, saya akan pamit pulang,” Hinata membungkuk tiba-tiba. “Karena sudah mengantarkan Pak Uzumaki, saya akan siap-siap untuk pergi ke kantor, karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.”

Setelah Hinata pergi, Kushina menarik Naruto masuk ke dalam, dan tidak dibiarkannya anak itu pergi mandi, karena ada sesuatu yang harus dia katakan.

“Aku sudah mendengarnya.”

“Mendengar apa?”

Kushina tidak menutupi bahwa dia sangat kecewa dan marah. “Kau sudah melakukan seks dengannya, ‘kan?” Naruto terperangah, dia tidak dapat menutupi keterkejutannya. “Aku sudah tahu semuanya, dari seseorang, bahkan tidak aku beritahu kau pasti sudah tahu siapa dia. Aku tidak bisa percaya mengapa kau harus bersikap kurang ajar seperti itu. Apa kau pikir gadis itu pantas dipermainkan? Bayangkan jika kau memiliki seorang anak perempuan, apakah kau akan rela-rela saja putrimu diperlakukan tidak pantas?” dia langsung menunduk, merasa bersalah. “Ibu, bahkan malu untuk bertemu dengannya. Kalau saja ibu dapat meminta maaf—kalau saja ibu tidak memikirkan betapa penting privasi di antara kalian, aku bahkan rela bersujud agar dia mengampunimu.”

Naruto tidak berbicara, dan semakin takut untuk sekadar bernapas.

“Ibu tidak pernah mengajarimu bersikap licik,” suara ibunya bergetar, dan itu semakin membuat emosi Naruto teraduk. Dia hanya remaja labil pada saat itu, tidak tahu bagaimana cara mengendalikan ledakan yang menyulitkan hatinya. Ia tidak yakin apakah perasaannya sekadar kagum atau jatuh cinta.

“Pada saat itu, aku punya banyak teman kencan,” Naruto masih menunduk menjelaskan kehidupan yang mungkin tidak pernah dia ceritakan kepada orangtuanya. “Hinata mungkin saja seperti gadis-gadis yang datang padaku dengan sukarela. Aku tidak pernah membayangkan kalau aku bakal dicampakkan oleh Hinata. Aku tidak bermaksud menjadi berengsek, hanya aku ingin melihat dia takut kehilanganku. Kelihatan sekali kalau Hinata tidak pernah mencintaiku. Kalau aku menyatakan cinta seperti biasa, aku akan ditolak, Bu.”

Selama ini, Naruto terlihat sebagai anak yang tidak mudah takut pada apa pun, dan tidak sekalipun sebagai seorang anak Naruto sering mengaduh hanya karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Kenyataannya, Naruto memiliki sisi yang rapuh dan takut kehilangan persis seperti anak-anak di luar sana. Tanpa mendapatkan arahan yang sepantasnya, anak itu berperilaku yang kurang bisa diterima.

“Sebagai seorang ibu aku dapat melihatnya,” Naruto mencermati ibunya yang tersenyum, tidak seperti tadi yang wajahnya terlihat sangat kecewa. “Gadis itu tidak akan pernah menolakmu. Dia justru sangat menyukaimu.”

.

.

.

Tbc

Note:
Chapter depan ending

Last Game (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang