the mystery of a coffin

884 4 1
                                    

    Peristiwa itu berlangsung cepat dan sangat tiba-tiba.

Usai bersantap malam, Jessica beserta suaminya keluar dari kafe menuju mobil mereka yang di parkir di seberang jalan. Selagi masih di trotoar, loket kunci mobil terjatuh dan  suaminya pun membungkuk untuk memungutnya. Sementara Jessica yang tidak tahu, terus saja melangkah menyaberangi jalan.

    Pada saat itu lah sang maut datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Sebuah mobil melaju kencang dari arah utara, dengan lampu depan yang tidak menyala pula. Secara naluriah, Jessica berpaling. Namun terlambat, tubuhnya sudah terlempar kesamping, sempat terguling dua kali sebelum kepala Jessica dengan keras menghantam sisi trotoar. Setelah itu tubuhnya kemudian tergeletak, tanpa bergerak-gerak.

“Tidak, Oh Tidak…!” jerit Kevin sang suami, yang seketika lari menghampur, lantas merangkul istrinya dengan histeris.

“Bangun, Jessica! Jangan bilang kau akan meninggalkan aku. Ayo, bangunlah. Bangun!”

    Seakan melihat, Jessica membuka kelopak matanya yang dilumuri darah. Begitu pula dengan mulut, yang kemudian bergumam.

“Mengapa… Kevin?”

Lalu dengan suatu sentakan mengejut, kepala Jessica seperti mendongak sesaat, dan kemudian terkulai ke samping. Diam dan mati. Di antara ratapan putus asa sang suami, seseorang terdengar berseru marah.

“kurang ajar!”

Lalu orang tersebut lari, lantas dengan segera memacu sepeda motor itu untuk mengejar si penabrak. Mobil tanpa lampu yang sempat oleng, sempat pula menyerempet sebuah mobil lainnya di sisi jalan , lalu kabur dengan kecepatan tinggi.

“Dasar lagi sial! padahal tanganku sudah gatal untuk menghajar mereka !”

Dalam usaha pengejaran sukarelanya itu, ia sempat melihat lalu menghafal nomor mobil tersebut, dan segera ia beritahukan kepada polisi yang cepat mencatat dan kembali bertanya.

“Jenis mobilnya?”

“Kalau tak salah, Kijang!”

“Warna?”

“Hitam atau biru donker. Aduh, mestinya helmku tadi q buka!”

“sempat mengenali wajah pengemudinya?”

“Tidak, Ya, wong saya mengejar dari belakang. Bapak ini nanyanya gimana sih?”

“Selain pengemudi, ada orang lainnya didalam mobil?”

“Saya sempat bayang-bayang dua atau tiga kepala. Pendeknya lebih dari satu!”

“Sebelum hilang dari pandanganmu, ke arah mana kira-kira larinyamobil itu?”

“Kearah Timur!”

Kontak yang sibuk melalui pesawat HT dan radio mobil patroli, lalu ambulans pun tiba. Itu peristiwa pertama. Dan tentunya menjadi urusan polisi dari bagian lalu lintas. Peristiawa kedua, tetapi masih ada kaitannya dengan Jessica. Terjadi sekitar tiga jam kemudian, beberapa menit setelah lewat waktu dini hari. Peristiwa kedua yang juga berlangsung cepat dan sangat tiba-tiba. Kali ini menjadi urusan satuan serse.

Laporan yang sampai di meja komandan adalah: mayat Jessica lenyap, lengkap dengan peti matinya.

“Peti mati?” yang bertanya seraya mengernyitkan dahi itu adalah Ajun Komisaris Polisi. Dan setelah mendengar gambaran kasar dari kasusnya, sang kapten pun duduk terenyak.

“Sepertinya…” Ia bergumam jengkel.

“Aku bukan sedang berada di Ciribon ini, melainkan di Sibolangit sana!”

Kota kelahiran sang Ajun Komisaris, di salah satu sudut Sumatra Utara. Sebuah kota kecamatan kecil di kaki bukit dengan nama yang sama. Berhawa sejuk serta nyaman. Dimana sosok mayat yang bangkit dari kubur untuk berkeliaran mencari benda milik kesayangannya dirumah penduduk sekitar. Sudah di anggap pemandangan biasa!

Setelah divisum, dibersihkan sebisa mungkin lalu dikain-kafani, jenazah Jessica pun diangkat dari meja bedah lalu dimasukkan ke peti mati yang sudah lebih dulu tersedia. Sebuah peti mati yang terbuat dari  bahan kayu jati kelas satu, dan jelas hasil buatan tangan yang ahli. Sambungan papannya nyaris tak terlihat, peliturnya halus serta mengilap pula. Dengan bagian dalam, termasuk  penutup  diberi busa empuk berpenutup kain satin halus warna hijau lumut. Warna yang konon akan membuat jenazah yang  rebah di dalamnya akan merasa tenang dan nyaman.

    Kemudian, terjadilah peristiwa itu.

Begitu baut-baut pada sisi penutup peti mati yang tak diengsel selesai dipasangkan. Peti berisi jenazah tersebut tahu-tahu tampak bergetar dan terus bergetar semakin kuat. Lantas, selagi mereka yang hadir di kamar bedah, termasuk suami almarhumah dibuat terpekik dan melompat mundur saking kagetnya, peti itu tampak bergerak maju ke depan. Bagai ada tangan-tangan tak terlihat yang seakan menyeretnya.

    Di tengah ketakutan mereka, para penyaksi kemudian melihat bagaimana sang peti mati yang bergerak maju sendiri itu tiba-tiba terhenti. Bagai ada yang menahan. Lantas, seraya terus bergetar semakin hebat, sang peti kembali bergerak. Kali nie gerak mundur. Dan terus mundur melewati tempatnya semula berada sambil menimbulkan suara gesekan tajam yang menyakitkan telinga. Gesekan kayu yang beradu keras dengan lantai ubin tempatnya bergerak.

    Setelah mundur beberapa saat, peti mati kembali berhenti bagai tertahan. Dan selagi para penyaksi hanya bisa tegak terkesima, bagian depan peti nampak terangkat seinci demi seinci. Seolah-olah yang terangkat itu memiliki bobot berton-ton. Bersamaan dengan itu, getarn peti mati perlahan-lahan tampak melemah lantas mereda. Dan ketika para penyaksi sudah berharap akan mendengar bunyi empasan keras peti mati ke permukaan lantai, benda persegi panjang yang setengah terangkat itu justru naik keseluruhannnya ke atas.

    Lalu setelah naik sampai sebatas ketinggian dada orang dewasa, sang peti mati tampak bergoyang sesaat. Goyangan gemulai, namun seakan bagai mengejek. Untuk seterusnya melesat dengan cepat keluar pintu lebar kamar bedah yang terbuka menganga. Dan dalam tempo beberapa kejab mata saja, peti terbang itu pun lenyaplah sudah. Ditelan gelapnya malam yang menghitam.

                                                                                   ***

the mystery of a coffinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang