capture 2

506 6 4
                                    

Garis besar peristiwa yang mendebarkan jantung itu didengarkan komisaris Bursok dari mulut Brigadir Polisi Diana. Sambil mengawasi lantai ubin di depan kakinya. Terlihat ada tanda silang besar dari kapur warna merah, untuk membuat tanda itu tampak jelas dan kontras dengan warna ubin yang putih bersinar-sinar dalam jilatan lampu-lampu kamar bedah yang seluruhnya dinyalakan.

    Tanda silang itu diberi nomor angka 2. sementara angka 3 dituliskan pada sisi luar buah garis memanjang sejajar, yang jarak antara kedua garis tersebut diperkirakan sekitar 60 cm. masih ada garis sejajar lainnya diluar garis sejajar pertama, dan diberi angka 4. Lalu titik-titik garis yang diperkirakan sebagai tempat terakhir peti mati diperkirakan terhenti untuk kedua kalinya. Titik-titik tersebut telah diberi angka 5.

“ketika peti mati bergerak ke arah pintu,”

sang Brigadir mengakhiri garis besar cerita pendeknya,

“suami korban sudah melompat untuk menahannya. Namun tetap saja terlambat!”

“Hem…” dengus Komisaris Bursok seraya berpikir-pikir.

    Ia kemudian berpaling. Mengawasi sesaat kepermukaan meja bedah di sampingnya. Pada lapis perak meja bedah yang disana-sini masih terlihat noda darah yang samara-samar, ada lingkaran besar garis kapur merah. Di tengah lingkaran tersebut diberi petunjuk angka bernomor 1.

    Komisaris Bursok terus menyapukan pandang pada kesibukan beberapa orang anak buahnya yang tengah mengidentifikasi maupun mewawancarai wajah-wajah yang tak satu pun dikenalinya. Wajah-wajah yang sebagian di antaranya tampak masih pucat.

“Yang mana Brigadir?” Tanya Komisaris Bursok, mendengus.

Masih tak senang, karena ia sudah bersiap-siap untuk pulang ke pangkuan istrinya yang menunggu di rumah ketika tadi telepon di meja kerjanya berdering.

    Sang Polwan dengan potongan serta model rambut ala almarhum Putri Diana yang dikagumi manusia sejagat itu, tampak mengerutkan dahi.

“Yang mana apanya, Komandan?”

“si suami pemberani itu!” jawab komisaris Bursok datar.

“Oh ada di ruang doker piket!”

“Bersama pak tua, kuharap!”

“memang , ya!” Diana mengangguk heran.

“dari mana komandan tahu?”

    Tanpa menjawab dan juga tanpa memperlihatkan emosi apa-apa di wajahnya, Bursok berlalu dari ruang bedah. Kaluar dari garis kuning polisi yang menapal-batasi koridor luar, tanpa  menoleh kiri-kanan Bursok bergerak dengan langkah langkah panjang. Makin tak senang saja. Sudah nanti di rumah diomeli oleh Miranda, kini ia dihadapkan pula dengan kasus yang bisa membuat kepala pecah.

    Peti terbang, pikirnya. Peti mati pula. Menghibur diri dengan lamunan itu, Bursok pun tiba dan menerobos masuk ke ruangan yang dituju. Ia langsung disambut oleh sapaan menyindir dari Dokter tua Faisal, sahabatnya yang pakar forensik dan tak kunjung pensiun itu.

“Masuk sajalah. Tak usah sungkan_sungkan!”

Malah Bursok sudah duduk di debuah kursi kosong yang ia seret ke hadapan kursi lainnya, yang diduduki oleh seorang lelaki berpenampilan perlente, namun rambutnya maupun wajahnya tampak kusut masai. Bursok membalas sindiran yang diterimanya:

“Terima kasih untuk minumnya, Dokter!”

“Sialan!” sang Dokter bersungut , namun disertai seringai lebar di bibir tuanya.

“Minuman dingin atau kopi?”

“Kepalang tak bisa tidur!” sahut Burok tanpa menoleh kepada yang bertanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2011 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the mystery of a coffinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang